Tak Tepat Bela Utang Negara dengan Indikator Debt to Total Assets Ratio

Debt to Total Asset Ratio, lebih cocok digunakan untuk menilai kemampuan leverage perusahaan terhadap total utang yang dimiliki, bukan negara.

oleh Tira Santia diperbarui 05 Nov 2021, 13:50 WIB
Mahasiswa gabungan se-Jabodetabek saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (16/7/2019). Dalam aksinya mereka mengecam pemerintah Jokowi atas hutang negara yang melonjak, politik dagang sapi, diskon pajak 300 persen, dan krisis penegakan HAM. (merdeka.com/Iqbal S. Nugro

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita, menilai bahwa langkah yang dilakukan Kementerian Keuangan yang menggunakan Debt to Total Assets Ratio untuk membela utang negara tidak pas.

"Kurang pas jika Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, menggunakan indikator Debt to Total Assets Ratio untuk membela utang negara yang jumlah dan pertumbuhannya dinilai oleh banyak pihak sudah berada pada lampu kuning," kata Ronny, Jumat (5/11/2021).

Ada dua hal yang menurut Ronny harus diperhatikan dari langkah tersebut. Pertama, nilai aset negara yang sampai tahun lalu berkisar Rp 11 triliunan bukanlah indikator yang menggambarkan kemampuan membayar bunga dan prinsipal dari total utang negara.

Sebab, aset negara yang divaluasi setiap tahun oleh direktorat kekayaan negara berbeda kategorinya dengan aset perusahaan yang berhutang. Karena itu jarang digunakan oleh lembaga internasional dalam menilai posisi utang sebuah negara.

Sementara indikator yang digunakan oleh Yustinus, Debt to Total Asset Ratio, lebih cocok digunakan untuk menilai kemampuan leverage perusahaan terhadap total utang yang dimiliki, bukan negara. Karena, aset negara tidak memiliki kapasitas produktif sebagaimana aset perusahaan yang memang dituntut untuk dimaksimalkan agar menjadi profit.

"Sehingga indikator tersebut tidak bisa ujuk-ujuk diperhadapkan dengan beban total utang dan tidak bisa juga ujuk-ujuk dipakai sebagai indikator yang mengukur batas aman atau tidak aman dari utang negara," ujarnya.

Apalagi, lebih dari setengah dari aset negara kita berupa aset tetap dalam bentuk tanah, bangunan, konstruksi, dan sejenisnya. Jika menghadapkan utang dengan aset-aset ini, seolah-olah Yustinus sedang memosisikan aset-aset tersebut sebagai agunan, yang bisa disita para peminjam di saat negara gagal membayar utang.

Kedua, menjadikan asset sebagai indikator produktif dan tidak produktifnya penggunaan utang juga kurang tepat. Nilai aset berupa tanah biasanya tiap tahun naik, terantung lokasi dan permintaan (inflasi), walaupun pemerintah tidak menambah utang. Tapi juga bisa turun menggila, seperti bubble properti di Jepang di akhir tahun 1980an dan awal tahun 1990an dan supreme mortgage crisis di AS tahun 2008.

"Dan di saat itu terjadi, justru tekanan utang menjadi bertambah kuat karena nilai aset negara turun. Jadi nilai aset negara bukanlah perbandingan yang tepat untuk mengukur apakah utang negara sudah melebihi kapasitas ekonomi atau belum," ujarnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Saran

Mahasiswa gabungan se-Jabodetabek membakar ban bekas saat unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (16/7/2019). Mereka mengecam pemerintah Jokowi atas hutang negara yang melonjak, politik dagang sapi, diskon pajak 300 persen, dan krisis penegakan HAM. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Menurutnya, lebih tepat menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi secara umum, atau pertumbuhan investasi, atau pertumbuhan belanja pemerintah pada sektor-sektor produktif yang memberi imbas kepada pertumbuhan ekonomi.

"Relasi semacam ini lebih terukur. Dan nyatanya selama ini memang tidak singkron toh. Pertumbuhan utang lebih cepat dibanding pertumbuhan ekonomi, lebih dari dua kali lipat pertumbuhan ekonomi, yang berarti bahwa utang selama ini memang kurang produktif. Jika pola ini terus begini, maka yang terjadi adalah pembesaran ratio utang terhadap PDB, yang awalnya 24 persenan di 2014 kini sudah menjadi 40 persenan," katanya.

Dia menegaskan, Pemerintah boleh berkilah bahwa aturan yang ada membolehkan sampai batas 60 persen terhadap GDP. Jika pola berutang kita masih seperti ini, maka lima tahun ke depan sudah kena batas itu, karena pertumbuhan utang lebih cepat dari pertumbuan ekonomi.

Lantas nanti ketika saat itu tiba, apakah pemerintah akan menggesernya menjadi 90 persen atau 120 persen terhadap GDP, dengan berkilah bahwa nilai aset negara juga tumbuh?

"Menurut saya, pemerintah tidak perlu reaktif menanggapi kritik publik atas utang negara, apalagi mencari-carikan alasan ini itu. Justru dengan justifikasi menggunakan indikator "Debt to Total Asset Ratio" mengesankan bahwa pemerintah telah kehabisan alasan untuk berhutang," jelas Ronny.

Nilai Defisit

Dia menyarankan, lebih baik disesuaikan saja nilai defisit anggaran dan pertumbuhan utang dengan performa ekonomi nasional. Lalu pastikan juga bahwa kenaikan pajak tidak menyakiti pertumbuhan ekonomi nasional dan tidak memperburuk taraf hidup masyarakat. Jangan sampai niat pemerintah menghadirkan UU Pajak yang baru hanya untuk menjaga agar rating surat utang tidak diturunkan, agar ke depan tetap bisa behutang lagi.

"Berhutang juga perlu, tapi sebaiknya tidak melebihi kemampuan ekonomi nasional yang mampu diciptakan pemerintah. Jika sampai melebihi, maka anggaran yang seharusnya untuk rakyat akan tersedot untuk membayar cicilan dan bunga. Sangat disayangkan toh," tegasnya.

Demikian, kritik BPK belum lama ini perlu dijadikan masukan penting bagi Kemenkeu. Rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara, rasio utang terhadap penerimaan negara, dan rasio pembayaran utang pokok dan bunga utang luar negeri (debt service ratio) terhadap penerimaan transaksi berjalan pemerintah, yang ketiganya telah melampaui rekomendasi IMF, bukanlah kritik yang ringan, tapi sangat berat dan perlu diperhatikan oleh pemerintah, ketimbang sibuk membela diri.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya