Liputan6.com, Jakarta Sejumlah politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengkritik Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 perihal pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Aturan ini dianggap membiarkan hubungan seksual di luar ikatan resmi dan juga sesama jenis.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Kerja Sama dan Humas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Anang Ristanto membantah asumsi tersebut. Anang mengatakan, beleid itu sama sekali tak ditujukan untuk mengizinkan perzinaan.
Baca Juga
Advertisement
"Dalam Permen PPKS ini tidak ada satu katapun yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan," tegas Anang saat dihubungi Liputan6.com, Minggu (7/11/2021).
Politikus PKS tersebut mengaku, Permendikbudristek itu hanya khusus mengatur kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, bukan melebar ke pasal-pasal perzinaan.
"Tidak seperti itu, Permendikbudristek 30 Tahun 2021, ini khusus mengatur tentang pencegahan dan kekerasan seksual yang fokusnya pada tindak kekerasan atau kejahatan seksual," ujar Anang.
Sebelumnya aturan ini menuai kontroversi dari sejumlah pihak. Komisi I DPR Fraksi PKS, Al Muzzammil Yusuf mempertanyakan hadirnya frasa "tanpa persetujuan korban" pada Pasal 5 Ayat 2 Huruf L dan M di aturan yang ditujukkan untuk mencegah kekerasan seksual di kampus tersebut.
"Pertanyaan saya kepada Pak Menteri @nadiemmakarim @kemdikbud.ri terkait Pasal 5 Ayat 2 Huruf L dan M Permendikbudristek 30/2021.
'Apakah jika korban setuju, maka hal tersebut diperbolehkan dalam pergaulan mahasiswa/i kampus di Indonesia??' tulis Muzzammil dalam akun Instagram pribadinya, Minggu (7/11/2021).
Tindakan yang Tergolong Kekerasan Seksual
Dalam pasal dimaksud dijelaskan sejumlah tindakan yang tergolong ke dalam kekerasan seksual. Pada huruf L yang dimaksud kekerasan seksual meliputi, "menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan korban."
Sementara pada huruf M dikatakan, "Membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban."
Sebelumnya Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah telah lebih dulu mengkritisi beleid tersebut. Ledia menilai aturan itu hampa dari norma agama.
"Ditambah dengan tidak dimasukkannya norma agama. Generasi muda kita seolah digiring pada satu konteks bahwa ‘dengan persetujuan suatu perilaku terkait seksual bisa dibenarkan’. Jelas-jelas berbahaya ini," katanya, Kamis, 4 November lalu.
Ledia kemudian memberi contoh betapa banyak terjadi hubungan seks di luar nikah yang diawali dengan persetujuan atau suka sama suka. Juga mulai bermunculannya perilaku LGBT secara terang-terangan di tengah masyarakat.
"Padahal dalam norma agama, seks di luar nikah juga perilaku LGBT bukan sesuatu yang dibenarkan," tegasnya.
Advertisement