Pria Amerika Keliling Dunia Tanpa Pesawat, Kunjungi 50 Negara Selama 3 Tahun

Pria bernama Eric Guiliani ini punya cara yang berbeda untuk berkeliling dunia..

oleh Henry diperbarui 08 Nov 2021, 17:01 WIB
Ilustrasi traveling. Sumber foto: unsplash.com/Holly Mandarich.

Liputan6.com, Jakarta - Keliling dunia naik pesawat terbang mungkin jadi hal yang umum atau biasa. Namun, lain cerita dengan apa yang dilakukan pria asal Florida, Amerika Serikat (AS) ini.

Ia justru berhasil keliling dunia, tanpa naik pesawat dengan menempuh perjalanan ratusan ribu kilometer (km). Pria bernama Eric Guiliani ini punya cara yang berbeda untuk mewujudkan mimpinya keliling dunia.

Jika kebanyakan orang keliling dunia naik pesawat terbang, Guiliani justru keliling dunia dengan menempuh jalur darat hingga 70.000 mil atau sekitar112.654 km. Dilansir dari laman Metro.co.uk, 1 November 2021, selama tiga tahun di jalanan, Eric telah melintasi tujuh benua sampai 50 negara.  Menariknya, perjalanan keliling dunianya itu dilakukan dengan menggunakan transportasi umum, mulai dari bus, kereta api, sampai kapal laut.

Guiliani mengatakan, bahwa ia hanya menggunakan pesawat saat pergi pada titik awal perjalanannya, yaitu di Kota Cape Town, Afrika Selatan. Setelah sampai di sana, ia menempuh perjalanan melalui jalur darat atau laut. "Saya memulai perjalanan di Afrika dan naik bus dari Cape Town ke Kairo (Mesir), kemudian bepergian melalui Timur Tengah, Yordania dan Israel, dan menaiki kapal kargo pertama saya dari Israel ke Yunani," ungkap Eric.

"Saya kemudian bepergian berkeliling Eropa dari London," sambungnya.  Eric mengaku ia keluar dari pekerjaan yang digelutinya demi bisa traveling keliling dunia.

"Saya tidak menyukai pekerjaan saya yang monoton dan rutinitas yang itu-itu saja," ucapnya. "Saya menyukai traveling karena itu adalah sesuatu yang unik. Saya ingin melihat banyak negara, seperti melihat atau melintasi langsung Gurun Sahara, bukan hanya terbang di atasnya," tambahnya.

Selain itu, dalam perjalanannya tersebut, Eric punya misi lain yaitu ingin mengurangi jejak karbon seminimal mungkin dengan menempuh jalur darat. Meski begitu, perjalanannya itu bukanlah tanpa hambatan. Contohya di beberapa negara di Afrika, ada beberapa daerah yang menurutnya rawan konflik.

Saat berada di Kenya, ia mengaku sempat ingin membatalkan aturannya untuk tidak naik pesawat. "Saya ada di sana selama serangan Universitas Garissa, ketika 148 orang terbunuh," kenang Eric.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Naik Bus 20 Jam dan Dehidrasi

Ilustrasi perjalanan, traveling. (Photo by Dino Reichmuth on Unsplash)

"Keesokan harinya saya harus naik bus selama 20 jam melalui wilayah teroris Al-Shabaab masih berkeliaran. Saya ingin naik pesawat untuk keluar dari sana, tapi akhirnya saya tidak melakukannya (naik pesawat)," lanjutnya. Bukan itu saja, karena terbilang panjang dan melelahkan, ia sempat mengalami dehidrasi dan tidak enak badan dalam perjalanannya tersebut.

"Beberapa rute perjalanan bus di Afrika memakan waktu 15 atau 20 jam. Saya mengalami dehidrasi parah dan sempat jatuh sakit," ungkapnya. Dari Afrika dan Eropa, Guiliani kemudian melanjutkan perjalanannya ke Asia. Perjalannya di Asia ia mulai dari Beijing, China hingga berlanjut ke Asia Tenggara.

Eric mengatakan sempat naik kapal dari Bali menuju Australia, hingga kemudian menaiki kapal kargo yang lebih besar di Sydney dan melanjutkan perjalanan melintasi Samudera Pasifik untuk kembali ke negaranya. "Ini adalah perjalanan sebulan di laut-menyenangkan untuk dua hari pertama tetapi hal itu segera hilang," tuturnya.

Karena menaiki kapal kargo, Guiliani mengatakan bahwa ia berlayar tanpa bergelimang fasilitas. Ia pun hanya disuguhkan dengan pemandangan lautan yang menghampar luas. Meski begitu, Eric mengaku sangat senang, karena ia sudah menyelesaikan hampir setengah perjalanannya itu.

Dari sana, Guiliani kemudian melintasi jalur darat menuju Amerika Utara dan Kanada dengan menaiki mobil atau bus. Ia melanjutkan perjalanan dengan menaiki kapal kargo menuju Antartika. 


Tempat Terindah

Penampakan koloni penguin Adélie yang diabadikan oleh ilmuwan. (Michael Polito/Louisiana State University)

Dari banyak benua dan negara yang dilewatinya, Eric mengaku jatuh cinta dengan keindahan Antartika. Menurutnya keindahan benua abu-abu tersebut tak ada duanya.

"Antartika adalah tempat paling mengejutkan yang saya kunjungi-keindahan alam yang begitu murni tidak terduga. Kapal saya berlayar ke teluk-teluk kecil yang indah ini, dikelilingi oleh puncak gunung dan pantai berbentuk bulan sabit," katanya. Setelah Antartika, Amerika Selatan menjadi wilayah terakhir yang ia datangi.

Di akhir perjalannya itu, Eric mengatakan ada banyak hal yang didapatkannya saat keliling dunia melalui jalur darat.  "Sangat menyenangkan bertemu orang-orang dan melihat keragaman saat Anda melakukan perjalanan dari satu negara ke negara lain. Tapi satu hal yang saya perhatikan adalah betapa miripnya kita semua," pungkasnya.

Perjalananya itu pun dituangkan Eric dalam sebuah buku yang berjudul "Sky's The Limit-One Man’s 70,000-Mile Journey Around The World". Buku karya Eric  ini diterbitkan pada Februari 2020.


Dampak Revenge Travel, Kasus Positif Covid-19 Kembali Melonjak

Dampak Revenge Travel, Kasus Positif Covid-19 Kembali Melonjak

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya