Liputan6.com, Jakarta Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan teknologi atau Permendikbudritek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi menuai kritik dari sejumlah pihak.
Sejumlah pihak menilai, aturan yang bertujuan melindungi civitas perguruan tinggi dari tindak pelecehan seksual justru dianggap memberi celah legalisasi seks bebas di lingkungan kampus.
Advertisement
Desakan untuk mencabut peraturan itu pun muncul dari Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS Fahmy Alaydroes. Fahmy mendesak agar aturan tersebut dicabut lantaran mengakomodasi pembiaran praktik perzinaan dan hubungan seksual sesama jenis.
"Harus dicabut dan segera direvisi dan dilengkapi. Permendikbud ini harus sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945 yang menugaskan Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa," katanya dalam keterangan tulis, Selasa (9/11/2021).
Fahmy memahami bahwa maksud dan tujuan dari beleid ini ingin menghilangkan kekerasan seksual di kampus, namun sayangnya peraturan itu sama sekali tidak menjangkau atau menyentuh persoalan pelanggaran susila (asusila) yang sangat mungkin terjadi di lingkungan perguruan tinggi, termasuk praktek perzinahan dan hubungan seksual sesama jenis (LGBT).
Fahmi menyoroti frase 'tanpa persetujuan korban' dalam Permendikbud tersebut. Menurutnya, frase tersebut justru dapat melegalkan seks bebas di lingkungan kampus.
"Bila terjadi hubungan seksual suka sama suka, kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja, dan dilakukan di luar ikatan pernikahan, peraturan ini membiarkan, dan menganggap normal. Bahkan, peraturan ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk ‘legalisasi’ perbuatan asusila seksual yang dilakukan tanpa paksaan (suka sama suka) di kalangan perguruan tinggi," tegas dia.
"Pertanyaan kritisnya adalah apakah peraturan ini ingin mencegah dan melarang perzinaan dengan paksaan, tetapi mengizinkan perzinaan dengan kesepakatan?" imbuh Fahmy.
Abaikan Norma Agama dan Budaya
Aturan ini, kata Fahmy dapat ditafsirkan mengabaikan nilai-nilai agama, nilai-nilai Pancasila, dan sekaligus menabrak nilai-nilai luhur adat dan budaya bangsa yang beradab.
Padahal kata dia dalam Pasal 6 Huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi dikatakan bahwa pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dengan prinsip demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa.
"Peraturan ini hendaknya dapat dijadikan instrumen untuk membangun iklim kehidupan sosial yang beradab, bermoral, menjunjung tinggi etika dan nilai agama dan Pancasila di lingkungan Perguruan Tinggi," pungkasnya.
Advertisement