Penjelasan Kemendikbukristek soal Permendikbud yang Dituding Legalkan Seks Bebas di Kampus

Permendikbudristek PPKS merupakan jawaban atas kebutuhan perlindungan dari kekerasan seksual di perguruan tinggi. Nizam membantah aturan tersebut melegalkan seks bebas.

oleh Yopi Makdori diperbarui 09 Nov 2021, 10:39 WIB
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Anwar Makarim

Liputan6.com, Jakarta - Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Diktiristek) Nizam membantah anggapan yang mengatakan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi dapat melegalkan praktik seks bebas di kampus.

Nizam mengatakan anggapan tersebut timbul karena kesalahan persepsi atau sudut pandang. 

"Tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan. Tajuk diawal Permendikbudristek ini adalah ‘pencegahan', bukan ‘pelegalan',” tegasnya dalam keterangan tulis, Selasa (9/11/2021).

Nizam juga menggarisbawahi fokus Permendikbudristek PPKS. Di mana aturan itu hanya menyoroti pencegahan dan penindakan praktik kekerasan seksual di kampus.

"Fokus Permen PPKS adalah pencegahan dan penindakan  atas kekerasan seksual. Sehingga definisi dan pengaturan yang diatur dalam permen ini khusus untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual,” tegasnya.

Nizam mengatakan, salah satu sebab lahirnya aturan itu karena adanya  beberapa organisasi dan perwakilan mahasiswa menyampaikan keresahan dan kajian atas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi yang tidak ditindaklanjuti oleh pimpinan perguruan tinggi. 

"Kebanyakan dari mereka takut melapor dan kejadian kekerasan seksual menimbulkan trauma bagi korban. Hal ini menggambarkan betapa mendesak nya peraturan ini dikeluarkan,” ujarnya.

Kehadiran Permendikbudristek PPKS merupakan jawaban atas kebutuhan perlindungan dari kekerasan seksual di perguruan tinggi yang disampaikan langsung oleh berbagai mahasiswa, tenaga pendidik, dosen, guru besar, dan pemimpin perguruan tinggi yang disampaikan melalui berbagai kegiatan. 

Karenanya, kekerasan seksual di sektor pendidikan tinggi menjadi kewenangan Kemendikbudristek, sebagaimana ruang lingkup dan substansi yang tertuang dalam Permendikbudristek tentang PPKS ini.

Nizam menekankan Kemendikbudristek wajib memastikan setiap penyelenggara pendidikan maupun peserta didiknya dapat menjalankan fungsi tri dharma perguruan tinggi dan menempuh pendidikan tingginya dengan aman dan optimal tanpa adanya kekerasan seksual.

Lebih lanjut Nizam menjelaskan bahwa Permendikbudristek PPKS dirancang untuk membantu pimpinan perguruan tinggi dan segenap warga kampusnya dalam meningkatkan keamanan lingkungan mereka dari kekerasan seksual; menguatkan korban kekerasan seksual yang masuk dalam ruang lingkup dan sasaran Permen PPKS ini; dan mempertajam literasi masyarakat umum akan batas-batas etis berperilaku di lingkungan perguruan tinggi Indonesia, serta konsekuensi hukumnya.

"Moral dan akhlak mulia menjadi tujuan utama pendidikan kita sebagaimana tertuang dalam UUD, UU 20/2003, UU 12/2012, dan berbagai peraturan turunannya. Termasuk Permendikbud No 3/2020 ttg standar nasional pendidikan tinggi,” tutup Nizam.


Dianggap Legalkan Pelecehan Suka sama Suka

Ilustrasi pelecehan / kekerasan seksual. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya kehadarian beleid yang ditekan Mendikbudristek Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021 itu menimbulkan kontroversi.

Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Fahmy Alaydroes menyebut terbitnya Permendinbudristek ini menimbulkan keresahan dan kegaduhan di tengah publik. Sebabnya aturan yang ditujukan untuk mencegah kekerasan seksual di kampus itu justru absen dari nilai moral.

"Namun sayangnya peraturan ini sama sekali tidak menjangkau, atau menyentuh persoalan pelanggaran susila atau asusila yang sangat mungkin terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Termasuk praktik perzinaan dan hubungan seksual sesama jenis," tegasnya dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (8/11/2021).

Peraturan soal pencegahan kekerasan seksual itu, kata Fahmy hanya berlaku apabila "timbul korban akibat pemaksaan" dalam hubungan seksual. Sementara jika "suka sama suka" atau atas "persetujuan" tidak diatur.

"Peraturan ini membiarkan, mengabaikan bahkan menganggap normal bahkan peraturan ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk legalisasi 'perbuatan asusila seksual yang dilakukan tanpa paksaan' atau suka sama suka di perguruan tinggi," katanya.

Fahmy menganggap, peraturan itu dapat ditafsirkan mengabaikan nilai agama karena membiarkan parktik seks suka sama suka.

"Ini sekaligus menabrak nilai-nilai luhur, adat dan budaya kita sebagai bangsa yang beradab," tekannya.

Fahmy mendesak agar Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 agar dicabut dan segera direvisi dengan menambahkan aturan yang sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945.

"Yang menugaskan, pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa," tegas Fahmy.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya