Perang di Ethiopia Picu Warga Kenya dan Sudan Selatan Ketakutan

Perang di Ethiopia telah mengakibatkan ketakutan negara tetangga yakni Kenya dan Sudan Selatan.

Oleh DW.com diperbarui 10 Nov 2021, 09:27 WIB
Pengungsi Ethiopia beristirahat di wilayah Qadarif, Sudan, Rabu (18/11/2020). Badan Pengungsi PBB mengatakan konflik yang berkembang di Ethiopia telah mengakibatkan ribuan orang melarikan diri dari wilayah Tigray ke Sudan. (AP Photo/Marwan Ali)

, Addis Ababa - Pemerintah Kenya mengumumkan pengetatan keamanan di perbatasan utara sepanjang 800 kilometer dengan Ethiopia.

Pihak kepolisian juga telah memasang blokade jalan tambahan sebagai upaya memantau pergerakan orang asing dan senjata api yang mungkin memasuki Kenya secara ilegal, DW Indonesia, Selasa (10/11/2021).

Masyarakat lokal dan pemerintah khawatir akan masuknya pengungsi Ethiopia yang mencoba keluar dari negara itu karena perang yang berkecamuk di wilayah Tigray utara dan meluas ke wilayah lain di Ethiopia. Kelompok Tigrayan dan sekutu mereka juga dilaporkan semakin dekat ke ibu kota Addis Ababa.

Kenya utara sudah menjadi rumah bagi kamp-kamp pengungsi yakni kamp Kakuma di barat laut dan Dadaab di timur laut. Kamp tersebut adalah salah satu pemukiman pengungsi terbesar di dunia.

Selama beberapa tahun terakhir, para pejabat Kenya berusaha keras agar kamp-kamp itu benar-benar ditutup pada pertengahan 2022 mendatang — sebuah rencana yang dapat dibatalkan oleh para pengungsi baru dari Ethiopia.

Layanan kepolisian Kenya pun telah memperingatkan warga untuk melaporkan kasus orang tidak berdokumen dan imigran yang tidak diproses di negara itu.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Kenya Utara di Bawah Tekanan

Pengungsi Ethiopia menggendong seorang anak di wilayah Qadarif, Sudan, Rabu (18/11/2020). Pertempuran yang kian meluas di perbatasan Ethiopia dan Sudan mengancam wilayah Tanduk Afrika. (AP Photo/Marwan Ali)

"Ada kemungkinan ratusan ribu, jika tidak jutaan pengungsi, berbondong-bondong ke Kenya," ujar direktur Institut Studi Strategis yang berbasis di Nairobi, Hassan Khannenje, kepada DW.

"Ini akan membebankan biaya besar kepada Kenya," katanya seraya menambahkan bahwa hal itu dapat memicu situasi kemanusiaan yang tidak siap dihadapi Kenya.

Banyaknya jumlah pengungsi di kawasan Kenya utara itu telah menekan sumber daya di sana, dan memicu ketegangan dengan masyarakat lokal.

Dua juta orang saat ini menghadapi kerawanan pangan di utara Kenya. PBB menggambarkan situasi di sana cukup parah ditambah dengan kekeringan yang terjadi.

Perdagangan antara Kenya dan Etiopia juga mengalami penurunan karena konflik Tigray. Awal tahun ini kedua negara mendirikan Moyale Ones Stop Border Post, sebuah area perdagangan bebas untuk mempermudah urusan bisnis lintas batas.

Presiden Kenya Uhuru Kenyatta pekan lalu meminta dihentikannya perang antara pasukan Perdana Menteri Abiy Ahmed dan orang-orang dari Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF).

"Saudara dan saudari pemerintah Etiopia, yang dipimpin oleh saudara saya yang terkasih, Abiy Ahmed, serta saudara dan saudari yang merupakan kepemimpinan yang memerangi pemerintah harus menemukan alasan untuk segera menghentikan konflik dan berbicara," demikian kata Presiden Kenyatta dalam sebuah pernyataan yang dirilis Rabu 3 November pekan lalu.

 


Kesepakatan Damai Sudan Selatan Terancam

Seorang anak pengungsi Ethiopia beristirahat di wilayah Qadarif, Sudan, Rabu (18/11/2020). Pertempuran yang kian meluas di perbatasan Ethiopia dan Sudan mengancam wilayah Tanduk Afrika. (AP Photo/Marwan Ali)

Konflik di Ethiopia tampaknya secara tidak langsung telah melemahkan pelaksanaan kesepakatan damai di negara tetangga, Sudan Selatan.

Ethiopia, dalam beberapa tahun terakhir, telah memainkan peran mediasi antara faksi-faksi saingan Presiden Salva Kiir dan mantan pemimpin oposisi Riek Machar.

Dua kesepakatan perdamaian utama Sudan Selatan, yang ditandatangani pada tahun 2015 dan 2018, keduanya dinegosiasikan di Ethiopia.

Selain itu, masyarakat internasional mengalihkan lebih banyak waktu dan energi untuk Ethiopia, kata analis politik Boboya James dari Institut Kebijakan dan Penelitian Sosial yang berbasis di Juba, Sudan Selatan.

"Biasanya masyarakat internasional mendesak pemerintah Sudan Selatan untuk sepenuhnya menerapkan perjanjian damai, tetapi sekarang tampaknya perhatian mereka telah dialihkan untuk menyelesaikan konflik di Ethiopia," kata James kepada DW.

"Anda dapat melihat Amerika sekarang menghabiskan banyak waktu untuk meminta dua faksi di Ethiopia untuk berdialog dan mewujudkan perdamaian," lanjutnya.

James khawatir bahwa proses perdamaian Sudan Selatan bisa menjadi lebih sulit dipahami saat perang Ethiopia semakin berlarut-larut.

Ratusan ribu orang yang melarikan diri dari perang Sudan Selatan telah mengungsi ke wilayah Gambela di Ethiopia di perbatasan barat Sudan dengan Ethiopia.

Penduduk lokal yang tinggal di kedua sisi perbatasan memiliki afinitas budaya yang besar dan ada arus barang yang cepat melintasi perbatasan di sana, terutama dari Ethiopia ke Sudan Selatan.

"Mayoritas orang Sudan Selatan di perbatasan mendapatkan makanan dari Ethiopia," jelas James.

Jadi jika perang Ethiopia berlanjut, "itu pasti akan membawa destabilisasi ekonomi ke perbatasan antara Sudan Selatan dan Ethiopia," katanya.


Infografis Hasil Utama KTT Korea Utara Korea Selatan

Hasil Utama KTT Korea Utara-Korea Selatan adalah Perang Korea Berakhir (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya