10 Karya Warisan Budaya Takbenda Indonesia Asal DI Yogyakarta (Bagian 3)

Bagian ketiga ini akan mengulas sederet karya budaya Warisan Budaya Takbenda Indonesia asal DI Yogyakarta, termasuk adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan.

oleh Putu Elmira diperbarui 10 Nov 2021, 20:16 WIB
Labuhan Merapi kembali digelar dalam rangka memperingati kenaikan takhta Sri Sultan HB X. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Jakarta - Kekayaan budaya Nusantara tak lagi terbantahkan. Sederet karya budaya ini bahkan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2021, salah satunya datang dari Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta.

Pada seri tulisan ketiga ini akan merangkum 10 karya budaya Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2021 DI Yogyakarta. Simak selengkapnya seperti dikutip dari Warisan Budaya Kemdikbud, Selasa, 9 November 2021.

1. Labuhan Merapi

Upacara Labuhan di Gunung Merapi digelar Kraton Yogyakarta setahun sekali, yakni 29 Rajab, bertepatan dengan upacara jumenengan dalam. Labuhan Merapi adalah Hajat Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono yang memerintah Kraton Yogyakarta yang gelarannya diserahkan kepada juru kunci Gunung Merapi.

2. Ngalangi

Ngalangi kerap pula disebut sedekah lilo samudra yang digelar setahun sekali usai panen padi. Pelaksanaan dilakukan di Pesisir Jungwok dan Pesisir Wediombo. Penyelenggaraannya dilakukan di hari pasaran Kemis wage, untuk jam, bulan, dan wuku pelaksanaannya menurut perhitungan para sesepuh desa.

Disebut Ngalangi karena dalam upacara adat menangkap ikan ini digelar dengan cara menghalang-halangi ikan secara bersama-sama. Ini dilakukan warga yang mengikuti upacara.

3. Metode Belajar Sariswara Ki Hajar Dewantara

Metode Sariswara memuat berbagai pelajaran yang disampaikan kepada anak, mulai dari pengajaran sejarah, bahasa, dan budi pekerti yang disatukan, yang dimulai dengan pelajaran seni suara. Metode ini mengajak anak didik menerima "pelajaran tentang hidup" lewat bahasa, tembang, dan gerak tari.

Pelajaran tentang hidup adalah suatu hal yang dilihat dan didengar, yang memengaruhi pikir dan rasa anak sehingga tergerak untuk menimbang baik-buruk serta salah dan benarnya. Pesannya tertuang dalam syair dan wirama tembang. Disebutkan oleh Dewantara bahwa wirama memiliki daya kekuatan, yakni memudahkan pekerjaan jasmani dan memajukan kecerdasan jiwa.

4. Bedhaya Angron Akung

Bedhaya Angron Akung adalah tarian agung dari Kadipaten Pakualaman dengan tujuh orang penari perempuan bertata rias dan berbusana bak pengantin. Warna hijau dan ungu cenderung merah muda mendominasi busana penari.

Terkadang, busana yang dipakai antara perpaduan hijau dan kuning. Warna-warna ini melambangkan kesuburan, kesejahteraan, kebahagiaan yang diharapkan dapat diberikan oleh pemimpin kepada warganya. Tari ini diciptakan pada masa pemerintahan Sri Paku Alam II (bertahta 1829--1858).

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 

5. Upacara Babad Dalan

Upacara Babad Dalan (dok. warisanbudaya.kemdikbud.go.id)

Ini adalah salah satu upacara adat yang berlangsung turun temurun di Desa Sodo, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunungkidul. Upacara ini perwujudan rasa syukur warga masyarakat Desa Sodo kepada Tuhan setelah panen padi, memohon keselamatan dan kesejahteraan serta dihindarkan dari semua bencana. Upacara Babad Dalan juga bentuk penghormatan kepada leluhur Ki Ageng Giring yang telah berjasa kepada warga menyiarkan agama Islam juga bidang pertanian.

6. Gudeg Manggar

Sejarah gudeg yang telah ada sejak 500 tahun lalu ini bermula dari racikan Puteri Pembayun, istri dari Ki Ageng Mangir, pemimpin perdikan Mangir. Puteri Pembayun adalah putri Panembahan Senopati, pendiri sekaligus sultan Mataram Islam pertama.

Di daerah Mangir pohon kelapa banyak tumbuh dan sebagai lahan penghidupan utama. Karena itu, Puteri Pembayun memiliki ide untuk menciptakan gudeg manggar.

Awalnya gudeg manggar hanya dapat ditemui di daerah Mangir saja. Gudeg manggar juga mulanya disajikan hanya dalam acara-acara tertentu, seperti perayaan hari raya agama, pesta keluarga dan acara khusus lainnya.

7. Trengganon

Kesenian Trengganon mulai berkembang di Parakan Wetan, Sendangsari, Minggir, Kabupaten Sleman pada 1083. Kesenian ini pada dasarnya berasal dari Malaysia. Kata tengganon diambil dari salah satu kota di Malaysia yaitu Trengganu.Kesenian Trengganon merupakan salah satu kesenian yang bernafaskan Islam, terdiri dari perpaduan antara seni musik, seni tari, seni suara, dan seni silat.

Pakaian yang digunakan memiliki variasi perpaduan antara Melayu dan Jawa. Sedangkan gerakannya, dominan gerakan silat melayu. Lagu-lagu yang dinyanyikan adalah sholawat dan lagu daerah melayu. Penari berjumlah 40 orang dan pengiring berjumlah 10 orang.

 

8. Upacara Bathok Bolu

Upacara Bathok Bolu. (dok. warisanbudaya.kemdikbud.go.id)

Bathok Bolu adalah nama untuk kawasan atau wilayah khusus di Dusun Sambiroto. Kawasan ritual dibagi dua wilayah, yakni wilayah yang disakralkan keberadaannya dengan wilayah yang tidak mengandung muatan sakral (keramat) atau wilayah profan (biasa).

Tradisi yang secara rutin dilakukan di Bathok Bolu adalah berziarah di makam sesepuh Sambiroto di Bathok Bolu. Tujuan ziarah untuk mendapatkan berkat dengan melangsungkan serangkaian prosesi ritual (semedi). Upacara ini termasuk kirab, pasar tiban dan gebyar budaya dan digelar secara rutin tiap 10 Muharom.

9. Upacara Adat Tarapan Yogyakarta

Ini adalah upacara adat untuk menandakan anak perempuan yang beranjak remaja. Dalam kultur Jawa, khususnya bagi yang berkelas sosial priyayi ningrat, anak gadis yang menstruasi pertama akan melalui upacara Tarapan.

Keraton Yogyakarta pun pernah menggelar upacara Tarapan ini ke publik demi mengenalkan dan melestarikan tradisi leluhur. Selain sebagai bentuk rasa syukur orangtua, prosesi tarapan juga bertujuan membekali anak perempuan yang menyongsong kehidupan remaja.

10. Upacara Adat Gundang Ho

Upacara yang kerap disebut Upacara Adat Rejebanini dilaksanakan di Pedukuhan Gunung Kelir, Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo. Tujuannya untuk memohon ketentraman dan kekuatan bagi seluruh warga.

Upacara dimulai dengan kirab budaya dari depan gapura objek wisata Sungai Tuk Mudal menuju Petilasan Gondang Harjo. Acara diikuti warga dari Pedukuhan Gunung kelir dan Banyunganti dengan mengenakan pakaian adat dan disertai beberapa pasukan bregodo dan pakaian adat Jawa. Kirab dilaksanakan dengan mengarak empat buah gunungan hasil bumi dan sesaji berupa kambing kendit dan sesaji lainnya.

 

Bersatu Hadapi Covid-19 demi Kebangkitan Bangsa

Infografis Gotong Royong Pendidikan dan Kebudayaan Hadapi Pandemi Covid 19

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya