Liputan6.com, Jakarta - PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) berencana menyelesaikan proses restrukturisasi melalui mekanisme in court atau di pengadilan. Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Saputra mengatakan opsi tersebut lebih memungkinkan untuk ditempuh lantaran lebih efisien dari sisi waktu.
Di sisi lain, mekanisme melalui pengadilan tersebut dinilai akan lebih memberi jaminan kepastian bagi Perseroan sebagai debitur, dibandingkan dengan negosiasi yang tak jarang berjalan alot.
“Kita melihat in court ini akan lebih memberi jaminan kepada kami sebagai debitur. karena kedua belah pihak dan harus duduk dan harus selesai dalam waktu 270 hari," kata Irfan dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (9/11/2021).
Baca Juga
Advertisement
Sebaliknya, mekanisme out of court atau di luar pengadilan cenderung dihindari lantaran membutuhkan waktu yang relatif lama karena harus melakukan negosiasi satu per satu dengan kreditur. Dia menilai, dengan waktu yang tidak bisa dipastikan, sementara jika trafik perjalanan udara di luar negeri mulai naik, Garuda Indonesia akan kehilangan momentum.
"Garuda Indonesia adalah company yang unik karena alat produksi kita sewa. Jadi mereka yang negosiasi dengan kita (kelamaan), kalau lelah dan ketika trafik di luar negeri meningkat dia bisa pindahkan ini, kita bubar,” kata dia.
Oleh sebab itu, Irfan menuturkan, penyelesaian in court menjadi pilihan yang terbaik. Adapun dalam proposal yang diajukan kepada lessor selaku kreditur, perseroan menawarkan tiga hal. Pertama mengenai hair cut dari hutang.
"Kedua selama satu atau dua tahun atau masa recovery pandemi atau trafik belum normal, kita PBH (power by the Hour), kita bayar kalau kita pakai. Tapi ada minimum yang sangat rendah. Ketiga, kalau PBH udah selesai dalam dua tahun, kita akan sewa Anda based on market price,” beber Irfan.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Mekanisme Pengadilan Melalui PKPU
Sebelumnya, Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo atau akrab disapa Tiko menjelaskan mekanisme in court ditempuh melalui PKPU. Debitur akan mengajukan proposal perdamaian. Jika proposal diterima kreditur, akan terjadi homologasi. Sementara jika proposal ditolak oleh kreditur, terdapat risiko pailit.
"In court ini bagusnya memang hasilnya akan mengikat seluruh kreditur, walaupun kreditur luar negeri kita harus mendaftarkan di yurisdiksi lain. Rencananya kita akan daftarkan di yurisdiksi Inggris, United Kingdom, UK scheme,” kataTiko.
Adapun pengambilan keputusan dalam mekanisme ini didasarkan pada voting. Tidak perlu semua kreditur menyetujui untuk menerima proposal perdamaian. Tiko menuturkan, proposal perdamaian atau homologasi bisa dicapai dengan 75 persen suara yang menyetujui.
Advertisement