Varian AY.4.2 Ditemukan di Singapura - Malaysia: Tidak Perlu Panik, Tetap Waspada

Subvarian Delta, AY.4.2 sudah terdeteksi di Singapura dan Malaysia. Langkah antisipasi apa yang tengah dilakukan Indonesia menghadang subvarian Delta ini?

oleh Teddy Tri Setio BertyBenedikta DesideriaFitri Haryanti HarsonoAde Nasihudin Al Ansori diperbarui 12 Nov 2021, 20:30 WIB
Para pejalan kaki memakai masker saat berjalan di distrik perbelanjaan di Kuala Lumpur, Malaysia, Kamis (14/1/2021). Otoritas Malaysia memperketat pembatasan pergerakan untuk mencoba menghentikan penyebaran virus corona COVID-19. (AP Photo/Vincent Thian)

Liputan6.com, Jakarta Dua negara tetangga, Singapura dan Malaysia, dalam waktu tidak terlalu jauh mengumumkan varian Corona AY.4.2 sudah masuk wilayahnya. Malaysia melaporkan dua kasus impor varian yang juga dijuluki Delta Plus ini pada 6 November 2021, Singapura melaporkan kasus pertama varian tersebut pada 26 Oktober 2021. 

Sementara itu, Kementerian Kesehatan Indonesia hingga saat ini mengatakan belum mendeteksi bahwa subvarian Delta masuk Tanah Air.

"Untuk subvarian virus Corona Delta AY.4.2, sampai saat ini belum ditemukan di Indonesia," kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi pada konferensi pers, 10 November 2021.

Meski belum terdeteksi, Nadia mengatakan bahwa hal terpenting yang perlu dilakukan pemerintah dan masyarakat saat ini adalah waspada. 

Upaya pertama yang dilakukan kemenkes adalah penelusuran genome sequencing berjumlah 1.500 sampai 1.800 tes per bulan. Hasil dari sekuensing tersebut, memang belum terdeteksi masuknya varian AY.4.2 yang masuk kategori variant of interest oleh World Health Organization (WHO) itu.

Berikutnya guna mengantisipasi masuknya varian baru ini, dengan penguatan dan pengetatan pintu masuk negara. Seperti pintu masuk melalui jalur udara, laut, maupun darat.

"Untuk mengantisipasi masuknya atau importasi varian-varian baru salah satunya adalah varian AY.4.2, kita sudah melakukan penguatan-penguatan di pintu masuk negara. Baik itu pintu masuk udara, pintu masuk laut, maupun pintu masuk darat," kata Nadia.

Hal senada sebelumnya disampaikan Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengenai pengetatan perbatasan dan pintu masuk internasional. Hal ini dilakukan mengingat banyak orang Indonesia pulang-pergi dari dan ke Malaysia, baik melalui jalur darat, laut dan udara.

"Ini nanti kita tingkatkan penjagaannya agar kita bisa menahan potensi masuknya varian baru ini ke Indonesia," tegas Budi Gunadi pada Senin, 8 November 2021.

Soal pengetatan di perbatasan, Budi mengakui bahwa memang tidak sempurna. Walau sudah ada pengetatan di pintu masuk bisa saja ada yang lolos. Meski begitu, identifikasi di sejumlah titik perbatasan yang paling banyak keluar-masuk Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA) teridentifikasi. 

 

 

*Artikel ini telah mengalami perubahan redaksional pada judul, Jumat, 12 November, pukul 17.30 WIB 

 

 

Infografis Covid-19 Varian Delta Plus Muncul di Singapura dan Malaysia. (Liputan6.com/Trieyasni)

Cegah dengan Skrining Berlapis

Simulasi kedatangan turis asing di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali (dok: AP I)

Masih soal pengetatan pintu masuk internasional guna mengantisipasi varian Delta Plus masuk, upaya skrining kesehatan dilakukan berlapis di pintu kedatangan internasional. Hal itu termaktub dalam Surat Edaran Satgas Nomor 20 Tahun 2021 dan Addendum yang diteken Ketua Satgas COVID-19 Ganip Warsito.

Juru Bicara Satgas COVID-19, Wiku Adisasmito mengatakan rincian tahapan skrining berlapis pertama adalah pemeriksaan persyaratan dan kesehatan dasar di pintu kedatangan. Kedua, melakukan entry test atau tes ulang setelah kedatangan di pintu masuk.

Ketiga, pelaku perjalanan wajib karantina dengan masa karantina dibedakan antara yang sudah vaksinasi lengkap dan dosis pertama.

"Durasinya (karantina) dibedakan antara yang sudah divaksin lengkap, yakni selama 3 hari dan yang belum divaksin lengkap selama 5 hari," lanjut Wiku.

Upaya keempat adalah melakukan exit test. Setelah kedatangan bagi pelaku perjalanan yang wajib karantina 3 hari, maka tes ulang ini dilakukan di hari ketiga.

Sementara itu, bagi pelaku perjalanan yang wajib melakukan karantina 5 hari, maka exit test di hari ke 4 sebelum boleh melanjutkan perjalanan.

"Perlu ditekankan bahwa pelaku perjalanan hanya boleh meninggalkan fasilitas karantina jika hasil tes PCR sudah keluar," tegas Wiku.

"Sampai dengan hari ini, rata-rata kecepatan hasil keluar (tes ulang) sekitar 6-12 jam setelah spesimen diambil."

Selain itu, salah satu upaya Pemerintah mencegah importasi kasus AY.4.2 dengan kebijakan vaksinasi. Pelaku perjalanan luar negeri, baik Warga Negara Asing (WNA) dan Warga Negara Indonesia (WNI) yang masuk ke Indonesia harus sudah divaksinasi.

"Pelaku perjalanan luar negeri itu harus vaksinasi lengkap minimal 14 hari sebelum keberangkatan dan WNA yang masuk harus vaksinasi lengkap," ujar Nadia.

Di kesempatan yang sama, Nadia mengajak masyarakat Indonesia yang belum divaksinasi untuk segera mendapatkan dosis 1 maupun dosis lengkap COVID-19. Sehingga, percepatan vaksinasi COVID-19 bisa terwujud yang bisa menekan laju penularan virus COVID-19.

"Kita berharap dengan percepatan vaksinasi menekan terus laju penularan virus agar tidak memberi kesempatan Varian Delta berkembang lebih lanjut."

Berdasarkan data Minggu, 7 November 2021 vaksinasi COVID-19 sudah mencapai 205 juta suntikan. Sudah 125 juta orang mendapatkan dosis pertama atau 60 persen dari target. Lalu, 80 juta orang sudah menerima dosis lengkap atau 38 persen dari target.


Varian AY.4.2 Bisa Muncul Tanpa Importasi Kasus

Infografis Jurus Indonesia Tangkal Covid-19 Varian Delta Plus. (Liputan6.com/Trieyasni)

Kasus varian Corona AY.4.2 di Singapura dan Malaysia merupakan kasus impor atau berasal dari pelaku perjalanan dari luar negeri. Seperti di Malaysia, terdeteksi pada dua siswa Malaysia yang kembali dari Inggris (UK) pada 2 Oktober 2021.     

"Kedua warga Malaysia itu tiba di Bandara Internasional Kuala Lumpur (KLIA) pada 2 Oktober dan hasil RT-PCR pertama mereka negatif," kata Direktur Jenderal Kesehatan Malaysia Tan Sri Dr Noor Hisham dikutip dari New Straits Times, Kamis (11/11/2021).

"Namun, tes kedua mereka yang dilakukan pada 7 Oktober selama masa karantina kembali positif."

Meski dari dua negara tetangga kasus impor, penemuan kasus varian Delta AY.4.2 bisa saja tanpa ada importasi kasus.

"Varian AY.4.2 jadi Variant of Monitoring dari Badan Kesehatan Inggris ini belum ditemukan di negara kita. Namun, tidak menutup kemungkinan ya kalau ini bisa saja tidak dibawa melalui pelaku perjalanan, tapi karena kemungkinan ada mutasi sendiri (muncul sendiri)," jelas Nadia saat dialog Waspada Tangkal Varian Anyar, ditulis Kamis (11/11/2021).

 


Kemungkinan Varian Delta Plus Sudah Masuk Indonesia

Bila Kementerian Kesehatan RI mengatakan varian Delta Plus AY.4.2 belum ditemukan di Indonesia, tapi ada yang berpendapat kemungkinan sudah masuk. Hanya saja belum terdeteksi.

Kemungkinan ini muncul karena pemeriksaan genome sequencing hanya berkisar 1.500-1.800 tes per bulan seperti disampaikan ahli mikrobiologi sekaligus Staf Pengajar Biologi Universitas Padjadjaran (Unpad), Dr Mia Miranti.

“Apalagi sejauh ini Indonesia sudah mulai membuka pintu untuk turis asing. Apakah turis asing ini dipantau persinggahannya di mana saja sebelum ke Indonesia? Ini juga dapat menjadi penyebab masuknya virus varian Delta Plus,” kata Mia kepada Health Liputan6.com melalui pesan teks Kamis (11/11/2021).

Hal serupa juga disampaikan epidemiolog Tri Yunis Miko yang berpendapat bahwa varian AY.4.2 sudah masuk Indonesia. 

"Subvarian Delta sekarang sudah ada di Malaysia, menurut saya di Indonesia juga sudah ada,” katanya.

 


Ganas di Negara Lain Belum Tentu Sama di Indonesia

Hingga saat ini, varian Delta masih mendominasi penularan COVID-19 di dunia. WHO mengumumkan varian yang sangat menular ini mendominasi kasus COVID-19 global hingga 99 persen berdasarkan data GISAID.

"Dari 814.165 sekuens yang diunggah ke GISAID dengan spesimen yang dikumpulkan dalam 60 hari terakhir, 810.946 atau 99 persen adalah Delta," ungkap WHO dalam Pembaruan Epidemiologi Mingguan COVID-19 yang terbit Rabu (10/11).

Lalu, bagaimana dengan varian Delta Plus yang merupakan mutasi dari varian Delta COVID-19?

Berdasarkan data GISAID akhir Oktober 2021, kombinasi dari varian Delta AY.4.2 ditambah mutasi lonjakan S:Y145H ini telah terdeteksi lebih dari 30 negara.

Inggris misalnya, data di negara tersebut menunjukkan lebih dari 6 persen dari semua kasus adalah varian AY.4.2. Selain itu, juga ditemukan di Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan sebagian Eropa Barat.

Saat ini, para ahli mengatakan bahwa tidak ada indikasi bahwa varian ini lebih menular atau lebih berbahaya daripada Delta. Tetapi tes sedang berlangsung, lapor BBC.

Bila merujuk data di Inggris, AY.4.2 belum mendorong peningkatan seperti disampaikan profesor biologi sistem komputasi University College London, Francois Balloux.

"Karena AY.4.2 masih pada frekuensi yang cukup rendah, peningkatan 10 persen dalam penularannya hanya dapat menyebabkan sejumlah kecil kasus tambahan," katanya.

Kondisi ini tidak sebanding dengan kemunculan varian Alfa dan Delta yang jauh lebih menular. 

Lalu, masyarakat juga tidak perlu risau mengenai efektivitas vaksin COVID-19 terhadap varian AY.4.2. Direktur Jenderal Kesehatan Malaysia Dr Noor Hisham Abdullah mengatakan bahwa vaksin yang digunakan saat ini masih efektif melawan varian AY.4.2.

"Vaksin yang digunakan saat ini masih efektif terhadap varian ini," kata Noor.

 

 

 


Jika Ada di Indonesia, Belum Tentu Lebih Ganas dari Delta

Direktur Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Profesor Amin Soebandrio mengatakan bahwa keganasan COVID-19 varian AY.4.2 belum bisa digambarkan. Mengapa? Karena belum terdeteksi di Indonesia.

“Saat ini belum ada di Indonesia. Kita tidak bisa menggambarkan data seperti itu. Namun, jika dilihat dari varian Delta pada umumnya, yang terjadi di luar (negeri) itu tidak terjadi di Indonesia,” ujar Amin kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Kamis (11/11/2021).

Artinya, lanjut Amin, tidak semua infeksi COVID-19 yang diakibatkan varian Delta itu berat dan tidak semua yang berat itu karena Delta.

Dengan kata lain, Amin berpendapat bahwa jika Delta Plus disebut lebih ganas di negara lain, hal ini belum tentu sama jika virus tersebut ada di Indonesia.

“Varian ini dikhawatirkan lebih cepat menular 10 persen ketimbang Delta lainnya, tapi sekali lagi itu tidak selalu dikaitkan dengan berat ringannya kasus,” katanya.

“Karena belum ada di Indonesia, kita belum mengetahui bagaimana perangai varian itu di masyarakat," ujarnya.

 


Tak Perlu Panik, Tetap Waspada

Diapit negara tetangga, Malaysia dan Singapura, yang sudah ada kasus AY.4.2 masyarakat Indonesia tidak usah panik. Namun, waspada itu harus seperti disampaikan Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

"Indonesia tidak perlu panik. Waspada," cuit @ProfesorZubairi di akun Twitternya.

Menurut pria yang karib disapa Prof Beri ini, kewaspadaan memang hal yang perlu dilakukan mengantisipasi Delta Plus. Hal ini mengacu pada kesadaran masyarakat yang cukup baik untuk menjalankan protokol kesehatan dan vaksinasi. Lalu, positivity rate Indonesia yang rendah di bawah 2 persen.

"Meski begitu, tetap waspada," tuturnya.

Sementara itu, Prof Amin mengatakan agar kita tidak usah menduga-duga mengenai varian tersebut. “Sejauh ini belum ditemukan di Indonesia, ya kita tidak bisa menduga-duga.”

Sepakat dengan cara pemerintah, Prof Amin dan Prof Beri mengatakan untuk memperketat penjagaan di pintu-pintu masuk dari luar negeri.

"Kita tidak tahu dari mana saja yang membawa virus, yang pasti yang harus dilakukan ya sama seperti penanganan pada COVID-19 varian lain. Misalnya seperti PCR, karena kita tidak tahu varian jenis apa yang dibawa seseorang,” kata Amin.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya