Liputan6.com, Jakarta Pada 12 November 1945 atau kurang lebih dua bulan setelah kemerdekaan, para pemuda komandan divisi dan resimen Tentara Keamanan Rakyat (TKR) se-Jawa dan Sumatera berkumpul di Markas Tinggi TKR Gondokusuman, Yogyakarta. Mereka menggelar rapat untuk memutuskan siapa yang pantas memegang tampuk kepemimpinan tertinggi angkatan perang Indonesia.
Dilansir dari Seri Buku Tempo: Soedirman Seorang Panglima, Seorang Martir, pada saat itu, sebenarnya sedang berlangsung rapat koordinasi dan strategi menghadapi kemungkinan agresi Belanda yang mendompleng tentara Sekutu. Tetapi, tiba-tiba Kolonel Holland Iskandar, mantan perwira Pembela Tanah Air (Peta), menginterupsi pemimpin sidang, Oerip Soemohardjo.
Advertisement
Holland meminta peserta rapat memilih pemimpin tertinggi TKR yang baru dibentuk seminggu sebelumnya. Dia meyakinkan peserta rapat bahwa TKR sangat membutuhkan seorang pemimpin atau Panglima Besar.
Karena itu, A.H. Nasution dalam bukunya berjudul TNI Jilid 1, menulis bahwa ia curiga pembelokan agenda pertemuan Gondokusuman tersebut sudah diatur sebelumnya. Sehingga interupsi yang dilakukan Holland hanyalah akting belaka karena banyaknya dukungan dari peserta rapat yang berlatar belakang eks Peta.
Tjokropranolo dalam bukunya berjudul "Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman" menulis bahwa pemilihan berlangsung dalam tiga tahap. Pada tahap pertama dan kedua diberlakukan sistem gugur.
Kongres dipimpin oleh Kepala Staf Umum TKR, Urip Sumoharjo. Perundingan tidak berjalan mulus karena anggota rapat berebutan untuk menyampaikan pendapatnya masing-masing. Karena menemui jalan buntu, pemilihan panglima pun dilakukan melalui pemungutan suara.
Tokoh-tokoh yang dicalonkan sebagai panglima kala itu adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX (tidak punya pengalaman militer sama sekali), Nasir (mantan pelaut yang pernah bekerja di Angkatan Laut Jepang), Wijoyo Suryokusumo, GPH Purwonegoro, Laksamana M Pardi (Kepala TKR Laut), Suryadi Suryadarma, Sudirman (komandan resimen TKR Banyumas) dan juga Urip Sumoharjo.
Berdasarkan hasil pemilihan sebelumnya, hanya tersisa dua nama di putaran ketiga, yakni Sudirman dan Urip Sumoharjo. Sudirman akhirnya unggul dengan 23 suara, mengalahkan Urip Sumoharjo yang hanya meraih 21 suara.
Terpilihnya Jenderal Sudirman menjadi Panglima Besar TKR ini, dalam catatan Nasution, karena pada masa itu TKR didominasi eks Peta, unsur yang juga merupakan latar belakang Sudirman.
Selain dukungan yang luas dari para tentara bekas Peta, Sudirman juga mendapatkan dukungan dari Kolonel Moh. Noch. Nasution, yang mewakili enam divisi di Sumatera.
Banyaknya pengalaman Sudirman membuatnya tidak sulit terpilih menjadi panglima. Sudirman, sewaktu dirinya memimpin Resimen I/Divisi I TKR, berhasil menggembosi Jepang dan mengambil alih gudang senjatanya. Jenderal Sudirman juga berhasil menahan sekutu dalam pertempuran Ambarawa.
Sudirman terpilih bukan karena pendidikan yang ditempuhnya di akademi militer, tetapi karena kecakapan dan keberaniannya yang luar biasa. Dengan badan kurus dan perawakan yang lemah, semangat dan jiwa Soedirman melampaui penampilannya itu.
Tak Langsung Diangkat
Taufik Adi Susilo dalam bukunya "Soedirman: Biografi Singkat 1916-1950" menulis bahwa pemilihan ini mencerminkan semangat zaman waktu itu, yaitu semangat revolusi. Rakyat muak terhadap sistem kolonialisme Hindia-Belanda dan sistem militerisme Jepang. Banyak pikiran rasional yang tidak terakomodasi akibat emosi bawah sadar yang ikut menentukan terpilihnya Sudirman.
Dilansir dari laman tniad.mil.id, hal itulah yang membuat Jenderal Sudirman terpilih sebagai Panglima. Panglima yang terpilih bukan karena nalar rasional dan keterampilan teknis yang tinggi seperti produk didikan Barat, melainkan yang terpilih adalah seorang anak rakyat, dibesarkan di desa dan menjadi tonggak kepercayaan mayoritas panglima divisi dan komandan resimen yang hadir waktu itu.
Mengutip buku "The Road to Power: Indonesian Military Politics" karya Ulf Sundhaussen, awalnya Urip berharap menang dalam pemilihan itu, karena ia lebih tua dari Sudirman. Namun, latar belakang militer sebagai seorang bekas opsir KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) membuatnya dicurigai oleh banyak perwira TKR yang lebih muda.
Di sisi lain, kesuksesan pemuda kelahiran 24 Januari 1916 itu memimpin pasukan Indonesia dalam pertempuran Ambarawa yang dapat memukul mundur Inggris makin mengukuhkan keunggulannya.
Meski demikian, Sudirman tidak langsung diangkat sebagai Panglima. Beliau baru diangkat sebagai Panglima Besar TKR pada 18 Desember 1945, sedangkan Urip Sumoharjo menjadi Kepala Staf, jabatan yang satu tingkat lebih rendah dari Panglima.
Advertisement