Liputan6.com, Jakarta Para pemimpin dunia, termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi), bertemu di konferensi COP26 Glasgow untuk melakukan negosiasi penurunan emisi global karbon dioksida.
Ketua Tim Percepatan Industri Nasional KBL Berbasis Baterai Satryo Soemantri Brodjonegoro menjelaskan salah satu cara untuk memenuhi tujuan tersebut, adalah melalui dukungan penuh terhadap infrastruktur kendaraan listrik.
Advertisement
"Transportasi yang selama ini menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil, menyumbang emisi yang sangat besar. Oleh karena itu kendaraan listrik menjadi solusi, pastinya akan mengurangi emisi di Indonesia," ujar Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (12/11/2021).
Indonesia memang punya garis pantai yang sangat panjang, serta hutan yang luas, dua hal itu adalah modal besar untuk karbon. Namun dengan mengakselerasi program mobil listrik, diyakini dampaknya akan lebih signifikan lagi menurut Satryo Soemantri Brodjonegoro. Bahkan bukan tidak mungkin target net zero karbon pada 2060 bisa dicapai.
Tahun ini saja, konsumsi nasional Bahan Bakar Minyak (BBM) diperkirakan mencapai 75,27 juta kilo liter (KL). Sebesar 26,3 juta KL untuk BBM bersubsidi, dan 48,97 juta KL untuk non subsidi. Ia menyebut jika program mobil listrik nasional bisa dicapai, maka konsumsi BBM akan berkurang, dan emisi bisa dikurangi secara signifikan.
Di Indonesia, mobil listrik walaupun masih sangat jarang ditemukan di jalan umum, bukanlah hal yang baru. Pada tahun 1989, mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, sudah berhasil membuat mobil listrik bertenaga sel surya. Pada tahun 2021, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang saat itu dijabat Dahlan Iskan, memperkenalkan sekaligus menguji coba mobil listrik karya anak bangsa, Tuxuci.
Terkait mobil listrik, Presiden pada tahun 2019 lalu sudah mengeluarkan peraturan presiden (Perpres) nomor 55 tahun 2019, tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Untuk Transportasi Jalan.
Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita juga sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 27 tahun 2020, tentang Spesifikasi, Peta Jalan Pengembangan dan Ketentuan Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.
"Target kita 2028 sudah ada produk mobil listrik nasional. Selain itu semua kendaraan pemerintah, mulai tahun ini atau tahun depan, akan secara bertahap diganti menjadi kendaraan listrik," ujarnya.
Sejak sekitar seratus tahun lalu, mobil listrik sudah ada, dan sudah diproduksi masal. Namun karena kendala di infrastruktur pendukung, mobil listrik kalah dengan mobil berbahan bakar fosil.
Pada 1905 sebagian besar kendaraan komersial adalah kendaraan listrik, promosi ditujukan kepada kaum wanita, di mana kendaraan listrik adalah bersih, mudah dioperasikan, dan tak ada gas buang. Akan tetapi, pada 1920-an, kendaraan listrik mati suri dengan alasan keterbatasan jarak tempuh dan harga yang lebih mahal ketimbang kendaraan berbahan bakar fosil.
Josef Taalbi dan Hana Nielsen dalam tulisan yang diterbitkan oleh Nature Energy 2021 menyatakan alasan utama yang membuat mobil listrik kalah dari mobil berbahan bakar fosil, adalah adalah kelangkaan infrastruktur pengisian listrik.
Mereka mempertimbangkan berbagai penyebab keunggulan kendaraan berbahan bakar fosil tahun 1900-1910. Tahun 1910, harga kendaraan listrik sama dengan kendaraan berbahan bakar fosil untuk tipe dan kapasitas yang sama. Untuk jarak tempuh, kendaraan listrik mampu mencapai 145 kilometer pada 1910.
"Seandainya saat itu sudah ada stasiun pertukaran baterai, di mana dalam waktu singkat baterai yang sudah lemah diganti dengan baterai yang sudah diisi ulang, seperti halnya stasiun pengisian bahan bakar fosil, kendaraan listrik tetap bertahan sampai sekarang, bahkan lebih pesat lagi perkembangannya," ujar Satryo Soemantri Brodjonegoro.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Infrastruktur Pendukung
Kendaraan listrik digunakan di wilayah yang sudah memiliki infrastruktur pendukung, terutama jalan yang rata dan halus, supaya baterai tidak rusak dan ketersediaan listrik.
Di wilayah lain yang tak memiliki infrastruktur itu, kendaraan berbahan bakar fosil mendominasi, terutama di rural, sebab banyak toko selama ini menyediakan bensin atau solar buat keperluan peralatan pertanian, bahkan sebelum kendaraan berbahan bakar fosil ditemukan.
Studi menunjukkan, seandainya produksi listrik Amerika Serikat (AS) tahun 1922 telah tersedia pada 1902, sebesar 71 persen model kendaraan tahun 1920 adalah kendaraan listrik sehingga bisa menurunkan emisi karbon dioksida dari kendaraan 44 persen.
Satu abad kemudian, jumlah dan kecepatan stasiun pengisian listrik masih jadi kendala bagi konsumen kendaraan listrik, terutama yang melakukan perjalanan jarak jauh. Namun, kesenjangan infrastruktur sudah berkurang.
Tesla sudah menyiapkan 25.000 stasiun pengisian listrik super cepat meskipun hanya dapat digunakan oleh pengemudi Tesla. Senat AS juga telah menyetujui anggaran 7,5 miliar dollar AS untuk mempercepat peningkatan kapasitas pengisian listrik.
Satryo Soemantri Brodjonegoro menyebut jika mengacu pada kasus di AS, maka infrastruktur kendaraan listrik juga harus disiapkan. Sehingga jika pabrik sudah berproduksi, stasiun pengisian listrik untuk mobil listrik sudah tersedia, dan masyarakat tidak perlu khawatir.
"Selain itu, juga perlu diberikan insentif bagi para pemilik mobil listrik, mungkin dalam bentuk pajak. Sehingga mobilnya bisa terjangkau harganya, dan masyarakat punya minat untuk membeli, dan berdampak positif terhadap industri mobil listrik," terangnya.
Advertisement