Liputan6.com, Jakarta - Hanya karena sudah tidak ada di depan mata, bukan berarti sampah tidak jadi masalah. Ini berlaku untuk setiap jenis limbah, tidak terkecuali sampah makanan. Nyatanya food waste bahkan masih jadi ancaman lingkungan yang serius di Indonesia.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyebut sampah makanan di Indonesia mencapai 23 juta ton-48 juta ton per tahun pada periode 2000 sampai 2019. Angka ini setara 115 kg hingga 184 kg sampah makanan per kapita per tahun, lapor Antara.
General Manager FoodCycle Indonesia Cogito Ergo Sumadi mengatakan, infrastruktur rantai pasok pangan yang belum memadai jadi salah satu biang keroknya. "Sampah makanan dan susut pangan terjadi di semua sektor pangan, mulai dari proses panen, distribusi, hingga konsumsi rumah tangga," katanya melalui pesan pada Liputan6.com, Jumat, 12 November 2021.
Baca Juga
Advertisement
Pembatasan mobilitas selama pandemi COVID-19 juga menyebabkan peningkatan timbunan sampah makanan di segala lini. Didukung tren arus informasi dan budaya konsumtif yang semakin mengedepankan cara konsumsi tidak bijak terhadap makanan, mukbang misalnya.
Karena itu, bersama penggerak isu lingkungan lainnya, mereka secara terus-menerus mengampanyekan cara konsumsi makanan yang bijak, mulai dari proses perencanaan belanja, pembelian di pasar dan supermarket, hingga pengolahan di tingkat rumah tangga. "Semua tahapan ini harus dilakukan dengan bijak dan menghormati makanan yang jadi sumber kehidupan kita," imbuhnya.
Mengoptimalkan kebiasaan itu, Alun Rahmadani dari Foodpreparation Indonesia mengidentifikasi mayoritas sampah-sampah makanan di rumah tangga. Pertama, sisa bahan makanan yang tidak dimasak.
"Misalnya, kulit bawang-bawangan, batang dan akar sayur seperti bayam dan kangkung, serta makanan laut, termasuk kulit dan kepala udang. Sampah sisa makanan di rumah tangga itu juga cukup banyak," ungkapnya melalui pesan suara, Jumat, 12 November 2021.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Mengurangi Sampah Makanan dari Rumah
Berperan aktif dalam mengurangi volume limbah makanan, Alun mencatat beberapa cara. Pertama, memasak bahan makanan sesuai porsi makan keluarga. Ini bisa dilakukan dengan cara membuat rencana makan selama seminggu.
"Di dalam meal plan biasanya berisi jumlah bahan masakan yang akan dibelanjakan, dan itu disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. Sudah direncanakan juga pakai bumbunya berapa banyak dalam waktu seminggu," tuturnya.
Dengan begitu, seseorang bisa berbelanja sesuai meal plan dan menyimpan bahannya dengan metode food preparation. "Dengan secara serius mengikuti rencana itu, diharapkan tidak ada makanan bersisa," sambung Alun.
Kemudian, memaksimalkan bahan makanan yang dimiliki. "Contohnya, mau memasak kentang. Kebanyakan orang mengupas kulitnya, padahal kulit kentang tinggi serat. Bahan makanan yang kulitnya bisa konsumsi, itu enggak perlu dibuang. Selain kentang, ada juga misalnya wortel, timun, dan terung," paparnya.
Lalu, penting untuk tahu bahan makanan mana yang berrisiko lebih cepat busuk, sehingga itu bisa diolah di hari-hari awal rencana makan.
Cogi menyambung, tidak kalah penting untuk menanamkan persepsi bahwa makanan melewati jalan panjang untuk sampai ke atas piring. "FoodCycle Indonesia juga mendorong agar setiap rumah tangga atau individu memiliki sumber bahan pangan sendiri dengan cara berkebun dan menanam bahan makanan di rumah," katanya.
Dengan begitu, diharapkan setiap individu bisa menghormati makanan yang dihasilkan dari jerih payah sendiri.
Advertisement
Mengolah Sisa Bahan Masakan
Yang dianggap sebagai sampah makanan, Alun mengatakan, nyatanya masih bisa dimanfaatkan. "Nasi, misalnya. Kalau cuma kering, belum basi dan layak konsumsi, itu bisa diolah jadi menu lain. Bikin nasi goreng, bubur, lontong, itu bisa," paparnya.
"Lalu, sisa ayam goreng yang sudah keras juga jangan dibuang. Bisa disuwir, dimasak jadi sambal ayam suwir atau menu tumisan. Kulit dan kepala udang juga bisa diolah kembali jadi kaldu udang. Caranya, cuci bersih, keringkan sampai benar-benar kering, sangrai sebentar, haluskan sampai bertekstur bubuk. Itu bisa digunakan sebagai penyedap rasa," Alun menjelaskan.
Di samping itu, bisa juga membuat kaldu sampah dari sisa bahan yang tidak termasak, tapi masih layak. "Contohnya,bonggol brokoli, batang bayam, kangkung, dan bahan sejenis itu, bisa direbus sampai keluar kaldunya," paparnya.
Kemudian, untuk masakan sisa, bisa juga dimanfaatkan sebagai pupuk cair, imbuh Alun. Rangkaian tips serupa secara konsisten dibagikan di akun Instagram Foodpreparation Indonesia.
Sementara FoodCycle Indonesia berdaya melalui aktivitas pengumpulan donasi makanan surplus melalui bank makanan. Dijelaskan Cogi bahwa kegiatan itu belum dinaungi regulasi yang jelas dari pemerintah. "Namun belum lama ini kami diundang bersama para pegiat food bank lain dalam acara focus group discussion yang mengusulkan adanya RUU Bank Makanan untuk jadi bagian dari Prolegnas DPR RI," katanya.
"Hal ini kami sambut baik karena adanya kemungkinan payung hukum yang jelas bagi kegiatan bank makanan yang berperan dalam mengikis tingkat sampah dan susut pangan di Indonesia. Kami juga mengajak agar pemerintah daerah dapat serius menyediakan regulasi yang mendukung pegiat bisnis kuliner dan pertanian untuk dapat mengelola sampah dan susut pangannya," sambung Cogi.
Kurangi Sampah Makanan Sekaligus Atasi Kelaparan
Saat ini, ada lebih dari 20 perusahaan yang bergerak di bidang F&B dan FMCG yang bekerja sama dengan FoodCycle Indonesia dalam mendonasikan kelebihan makanan sebelum berpotensi jadi sampah makanan. "Kami kemudian mengolah dan mendsitribusikannya kembali untuk komunitas marjinal dan masyarakat yang membutuhkan," katanya.
"Selain perusahaan di bidang makanan, ada juga bisnis non-F&B dan non-FMCG yang memiliki kepedulian terhadap isu sampah makanan dan kelaparan, sehingga mereka mendonasikan dana CSR-nya melalui FoodCycle Indonesia," Cogi menyambung.
Pihaknya juga berkolaborasi dengan lebih dari 60 yayasan yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali dalam membantu mengelola dan/atau mendistribusikan kembali donasi makanan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa mereka terbuka dengan berbagai macam pihak yang berniat berkolaborasi atau mendonasikan kelebihan makanan, juga berdonasi finansial untuk dikonversikan jadi bahan pangan bagi warga kurang mampu.
"Bentuk kolaborasi sudah kami lakukan baik bersama individu, kelompok, atau perusahaan," ujarnya.
Mereka juga sudah meluncurkan program FoodCycle Point, yakni kotak donasi makanan yang tersebar di beberapa titik untuk mengumpulkan donasi makanan kemasan dan tahan lama yang tidak mudah rusak. Penggalangan dana publik juga dilakukan melalui crowdfunding platform.
Jadi, seharusnya tidak ada alasan lagi untuk tidak berperan aktif dalam mengurangi volume sampah makanan.
Advertisement