Liputan6.com, Jakarta Implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan akan bertahap dilakukan mulai 2022 berdampak terhadap tarif Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Walau begitu, kisaran angka belum ada kepastian karena konsep dan rancangan masih dibahas.
Anngota Dewan Jaminan Sosial nasional (DJSN) Muttaqien menjelaskan, sebagaimana PP 47 Tahun 2021 Tentang Bidang Penyelenggaraan Perumahsakitan, adanya rencana KRIS akan berdampak kepada pola rujukan, tarif rumah sakit, dan pola standar akreditasi rumah sakit maupun implementasi dari kelas standar.
Baca Juga
Advertisement
"Sejumlah Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 dan juga Pasal 36, 48, 84 dalam PP 47 Tahun 2021 terkait ketentuan pelayanan rawat inap kelas standar, sekarang akurasi costing yang dekat dengan tarif INA CBGs mungkin undercost ataupun overcost ya," jelas Muttaqien dalam Webinar Kelas Standar BPJS Kesehatan, Bagaimana Menyikapinya? Persiapan dan Strategi RS? pada Sabtu, 13 November 2021
"Tentunya, hal ini kita harus tahu bagaimana costing yang betul-betul akurat ketika menentukan tarif JKN ini. Soal tarif JKN juga terkait overprice yang berdampak kepada kecukupan BPJS Kesehatan. Karena kalau terlalu over, maka akan banyak mengambil dana dari BPJS Kesehatan."
Tak hanya overprice, tarif yang underprice berpengaruh terhadap fasilitas kesehatan dan peserta yang tidak puas berdampak pada JKN. Permasalahan tarif JKN pun berkaitan dengan fairness (kesetaraan dan kewajaran) tarif INA CBGs.
"Sekarang ini kita bagi, ada pusat dan 5 regional antar kelas rumah sakit, kelas rawat inap. Nanti itu tidak ada lagi perbedaan, tidak ada lagi kelas 1, 2, 3, kepemilikan pemerintah dan swasta, jenis pelayanan yang masuk skema top up," terang Muttaqien.
Menuju Tarif JKN Berkeadilan
Permasalahan tarif JKN dari costing hingga fairness menjadi pertimbangan dan mendorong tarif kelas rawat inap standar menuju tarif berkeadilan (fair). Konsekuensi dari perubahan kebijakan KRIS terhadap tarif JKN termaktub dalam PP 47 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan.
"Kelas rumah sakit berdasarkan kepada jumlah ketersediaan tempat tidur. Kami sampaikan juga kelas standar, tempat tidurnya itu paling sedikit 60 persen untuk RS pemerintah pusat dan daerah, serta 40 persen di RS swasta," Muttaqien menambahkan.
"Konsekuensi pola tarifnya bagaimana? Jadi, perbaikan pola tarif tidak berdasarkan kelas RS dan kelas rawat inap. Tidak lagi (perbaikan) dari kelas A, kelas B, kelas C dan D, dan juga tidak ada lagi kelas 1, kelas 2, dan kelas 3."
Walau begitu, lanjut Muttaqien, perbaikan tarif JKN masih tetap bisa dilakukan dengan adjusment factor, misalnya, bagaimana pertimbangan tarif di kota, desa, rumah sakit pendidikan, dan non pendidikan. Untuk penentuan biaya medis akan bergerak ke arah yang sama bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan non PBI.
"Jadi, kita mengharapkan manfaat yang sama. Tidak ada perbedaan manfaat untuk PBI dan non PBI dan tentu saja biaya medis rawat inap sama. Pada tahap transisi KRIS, sudah tidak ada perbedaan kelas rawat inap," katanya.
"Tapi kita masih harus melihat perbedaan rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta. Ini juga salah satu mendorong tarifnya fair."
Advertisement