AS dan Prancis Bahas Aktivitas Rusia di Perbatasan Ukraina

AS dan Uni Eropa telah menyuarakan kekhawatiran yang meningkat atas pergerakan pasukan Rusia baru-baru ini.

Oleh DW.com diperbarui 16 Nov 2021, 07:06 WIB
Rusia mengerahkan kekuatan angkatan darat, laut, dan udaranya dalam menggelar latihan terbesar di semenanjung Krimea (Sergel Savostyanov/TASS)

, Washington D.C - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken berbicara dengan Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian perihal aktivitas militer Rusia yang terjadi "di dan dekat Ukraina," demikian kata Departemen Luar Negeri AS, Minggu (14/11).

Blinken dan Le Drian membahas "laporan mengenai aktivitas militer Rusia di dan dekat Ukraina dan komitmen kuat mereka yang berkelanjutan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial Ukraina," kata juru bicara departemen luar negeri AS Ned Price dalam sebuah pernyataan.

AS dan Uni Eropa telah menyuarakan kekhawatiran yang meningkat atas pergerakan pasukan Rusia baru-baru ini di dekat perbatasan Rusia dengan Ukraina, demikian dikutip dari laman DW Indonesia, Selasa (16/11/2021).

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy mengatakan ada hampir 100.000 tentara Rusia di dekat perbatasan Ukraina.

Sementara itu, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan para pejabat Uni Eropa "sepenuhnya mendukung integritas wilayah Ukraina." Hal ini ia sampaikan setelah pada pekan lalu dirinya membahas masalah aktivitas militer Rusia di dekat Ukraina dengan Presiden AS Joe Biden.

Pergerakan pasukan Rusia telah memicu ketakutan akan kemungkinan terjadinya serangan. Namun, Rusia membantah kemungkinan tersebut.

Moskow malah mengeluhkan peningkatan aktivitas NATO di kawasan itu dan menuduh Washington melakukan tindakan agresif di Laut Hitam, tempat Ukraina dan Amerika Serikat mengadakan latihan militer pada hari Sabtu (13/11).

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Konflik dengan Separatis yang Didukung Moskow

Unjuk rasa di Taras Shevchenko Park di Kyiv, Ukraina untuk memperingati deportasi Tatar Krimea, 18 Mei 2014. (Wikimedia/Creative Commons)

Ukraina telah terlibat dalam konflik dengan separatis yang didukung Kremlin di wilayah Donetsk dan Lugansk selama tujuh tahun terakhir. Konflik tersebut pecah setelah Rusia mencaplok semenanjung Krimea pada tahun 2014 lalu.

Kiev mengatakan dua tentara Ukraina tewas pada hari Jumat (12/11) akibat sebuah alat peledak di bagian timur negara itu. Konflik sejauh ini dilaporkan telah merenggut lebih dari 13.000 nyawa.

Setelah terjadi eskalasi kekerasan pada awal tahun, Rusia kemudian mengerahkan sekitar 100.000 tentaranya di perbatasan Ukraina. Langkah itu memicu kekhawatiran akan semakin meningkatnya konflik di wilayah tersebut.

Rusia kemudian mengumumkan penarikan pasukannya, tetapi baik Ukraina dan AS mengatakan pada saat itu bahwa jumlah pasukan yang ditarik terbatas.

Ukraina dan sekutu Baratnya menuduh Rusia mengirim pasukan dan senjata melintasi perbatasan. Moskow telah membantah klaim tersebut.

Ukraina dan AS juga menyalahkan Rusia atas krisis migran di perbatasan timur Uni Eropa yang melibatkan Belarus.

Negara-negara Barat menuduh pemerintah Presiden Belarus Alexander Lukashenko menyebabkan krisis dengan mendorong para migran dari Timur Tengah untuk datang ke Belarus dan kemudian membawa mereka ke perbatasan.

Lukashenko, yang telah berkuasa selama hampir 30 tahun, menyangkal tuduhan itu. Presiden Rusia Vladimir Putin pun juga telah menolak tuduhan terlibat dalam krisis tersebut.

Mengalihkan perhatianPada hari Minggu (14/11), AS mengatakan tindakan Belarus tersebut "mengancam keamanan, menabur perpecahan, dan bertujuan untuk mengalihkan perhatian dari kegiatan Rusia di perbatasan dengan Ukraina."

Sebelumnya, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan pada hari Jumat (12/11) bahwa dia akan berbicara dengan Putin tentang situasi di Ukraina dan Belarus.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya