Kisah Monster Penyodomi Para Bocah

Polisi menangkap pelaku pencabulan bocah-bocah di Tasikmalaya dan Tangerang. Umumnya korban tak mau berterus terang kepada orangtuanya lantaran ancaman pelaku.

oleh Liputan6 diperbarui 28 Des 2002, 22:16 WIB
Liputan6.com, Tasikmalaya: Hari baru saja meninggalkan Dzuhur di Pasar Kidul, Kecamatan, Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat, pertengahan Desember silam. Masih seperti hari-hari biasa, rumah Bi Ani menjadi tempat berkumpul anak-anak usia sekolah dasar di kampung itu. Para bocah kerasan bermain, bercanda, dan bercengkerama di rumah itu lantaran anak Bi Ani juga seusia mereka. Apalagi, Bi Ani kerap mendampingi bocah-bocah menyimak tayangan televisi.

Bi Ani yang sebelumnya sempat menyimak Derap Hukum SCTV tentang perkosaan anak-anak di bawah umur berpesan kepada mereka, "Jangan lihatin Derap Hukum, ya, kalau masih anak-anak!" Mendapat nasihat itu seorang anak bernama Arif nyeletuk.

"Bi Ani, tadi siang saya ngeliat Buser dan ada yang gituin ayam, dua-duanya mati," tutur Arif.
"Rif, kamu pernah disodomi, ya," kata Indra.
"Ngakulah...ngaku, Rif," timpal Joko.
"Sodomi? Apaan itu?" Bi Ani menimpali, pura-pura tak tahu. "Rasanya gimana?"
"Nyeri. Perih. Ada yang masuk sini," tutur Arif polos sambil meraba anus.
"Arif udah berapa kali?"
"Dua kali."
"Joko berapa kali?"
"Sekali," jawab Joko polos.

Pengakuan para bocah itu mengagetkan Bi Ani. Tanpa harus ditanya lagi mereka menceritakan pencabulan itu. Bahkan, mereka pun menunjuk dengan polos "si tukang sodomi" itu bernama Daeng (27). Saat itu juga Bi Ani langsung memberitahukan kasus pencabulan ke orangtua anak-anak yang menjadi korban.

Bocah-bocah mengaku takut untuk melaporkan kejadian yang dialami. Perasaan sakit dan pemberontakan hanya dipendam pada diri masing-masing. Mereka takut lantaran Daeng mengancam dan menakut-nakuti. &quotAwas, kalau bilang kamu nanti panas demam tiga hari dan perut kembung. Tapi kalau mau bilang harus sama yang sudah diberi `ilmu`," kata Toni, korban sodomi. Memang dalam setiap melakukan sodomi Daeng selalu berdalih mengisi ilmu pernapasan dan anak-anak itu percaya saja.

Semula tercatat ada delapan anak yang menjadi korban pencabulan itu. Belakangan bertambah menjadi 15 bocah. "Saya bingung keluarga korban makin banyak yang datang karena anaknya disodomi. Akhirnya saya lapor ke kepolisian minta pengamanan agar tersangka tidak kabur," kata Diswana, ketua rukun tetangga setempat.

Warga yang marah mendengar kasus itu hampir saja menghakimi Daeng. Namun, polisi berhasil meredam amuk massa. Orangtua korban hanya berharap tersangka dihukum seberat-beratnya. "Saya merasa menyesal dan sedih anak saya jadi korban. Saya sangat prihatin. Pokoknya, yang namanya Daeng harus diadili," kata Sukino, seorang ayah korban. Hal serupa juga dirasakan Siti. Ia mengaku sebelumnya tak curiga dengan perilaku anaknya kendati sering mengeluh sakit pantat. "Curiganya-mah baru kemarin setelah terungkap," kata Siti.

Bercerita tentang Daeng, sepintas pemuda pendiam itu tak menunjukkan perilaku mencurigakan. Padahal, Daeng telah menyodomi anak-anak bertahun-tahun. "Keinginan untuk melakukan sodomi timbul sejak mengajarkan senam pernapasan pada 1997," aku Daeng. Hasrat biologisnya timbul ketika memegang perut dan bagian punggung anak-anak.

Untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, tersangka selalu menunggu dan mencegat anak-anak yang melintas di depannya. Mereka biasanya dipanggil dengan dalih belajar senam pernapasan untuk kesehatan dan melindungi diri. Ketika calon korban terpikat Daeng mengajak bocah itu ke tempat yang dianggap aman. "Anaknya saya suruh tengkurap tanpa buka baju. Terus saya salurkan tehnik pernapasan selama 2,5 sampai 3 menit. Kemudian saya suruh berbalik terlentang," tutur Daeng. Setelah itu Daeng menjalankan jurus terakhirnya dengan dalih ilmu tambahan. &quotSetelah celananya dibuka langsung saya sodomi. Tetapi saya selalu wanti-wanti kalau sakit harus bilang," tambah Daeng, dengan wajah tak berdosa.

Daeng mengaku tak semua anak yang datang disodomi. Mereka biasanya hanya diberi ilmu pernapasan. Kendati demikian Daeng sebenarnya tertarik pada lawan jenis. Namun, ia mengaku kalau melihat lelaki ada perasaan lain. "Saya juga terangsang kalau melihat perempuan atau normal-lah gitu. Tetapi kepada anak perempuan saya tidak berani. Saya punya kejiwaan yang lain gitu. Ya itu, kalau ngeliat anak-anak itu," aku Daeng. Pemuda ini sebenarnya menyadari kelainan yang terjadi pada dirinya. Namun dia mengaku bingung harus berobat kemana.

Terungkapnya perilaku Daeng, membuat Nung, bibi tersangka terpukul. Dia tak menyangka nama baik keluarganya dirusak Daeng yang diasuhnya sejak kecil. "Saya sudah memberi ajaran yang betul. Tetapi saya tidak mengerti kok jadinya begini," tutur Nung, sedih.

Kasus pencabulan bocah laki-laki juga terjadi di Tangerang, Banten. Tersangka bernama Hasanudin (15), mengaku sudah menyodomi lima belas bocah laki-laki dan perempuan sejak 1998. Para korban dirayu dahulu sebelum akhirnya dibawa ke tempat tersembunyi untuk dicabuli. "Saya itu, namanya apa yah saya ajak untuk mengikuti permainan baru gitu. Setelah itu saya ituin dan anak-anak nggak berontak," aku Hasanudin ketika ditemui SCTV di tahanan Polres Tangerang.

Para korban umumnya telah dicabuli Hasanudin hingga enam kali. Perbuatan tak senonoh itu dilakukannya di tempat-tempat tersembunyi seperti rumah kosong, di lorong, bahkan di rumah korban jika orangtuanya sedang tak ada. "Saya nggak pernah ngiming-ngimingin sesuatu. Pernah sih mengajak mereka main play station," kata Hasanudin.

Hasanudin mengaku, keinginan untuk menyodomi timbul lantaran saat kelas dua SD pernah disodomi kawannya. Alhasil, sejak berusia 11 tahun Hasanudin semakin berhasrat untuk melakukan perbuatan yang sama. Sedangkan mengenai alasan memilih anak-anak yang menjadi sasarannya karena bocah lebih mudah dibujuk.

Polres Tangerang dalam waktu dekat akan memeriksa kondisi kejiwaan tersangka ke Rumah Rakit Polri dokter Soekanto, Kramatjati, Jakarta Timur. Hasil pemeriksaan itu diharapkan dapat mengungkap penyebab kelainan seksual yang diderita Hasanudin.

Seperti halnya kasus di Tasikmalaya, anak-anak korban sodomi di Tangerang juga mengalami trauma yang sama, namun hal itu dipendam lantaran diancam tersangka. Sebut saja korban bernama Andi dan Beni yang berusia tujuh tahun mengaku sudah disodomi lima kali sejak dua tahun silam. "Jangan bilangin, ya. Nanti kalau bilangin saya tonjok," kata Andi menirukan ancaman Hasanudin. Tersangka biasanya menyodomi setelah korban pulang sekolah.

Pencabulan yang dilakukan Daeng dan Hasanudin menurut Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi dan Pemberdayaan Pekerja dan Anak Apong Herlina, tidak dapat ditolerir. Perbuatan para pelaku tidak hanya menimbulkan trauma bagi para korban tetapi juga dapat merusak masa depan anak-anak itu.

Dari kasus tersebut, menurut Apong, perhatian dan pengawasan terhadap anak tidak hanya menjadi tanggung jawab orangtua atau keluarga tetapi juga masyarakat sekitar. Ironisnya, dalam kehidupan masyarakat cenderung menonjolkan sifat individual. "Ini adalah anak saya, itu anak orang lain dan saya nggak peduli tentang nasib anak itu. Akibatnya, apa yang terjadi dengan anak tetangga atau orang lain seolah-olah bukan urusannya," kata Apong, menjelaskan.

Apong juga menilai, hukuman untuk pelaku sodomi masih rendah. Padahal, korban menderita trauma seumur hidup. Apong mencotohkan kasus di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengganjar hukuman dua tahun penjara bagi pelaku menyodomi tujuh anak. "Umumnya yang dikatakan atau yang diputus hakim soal pencabulan kalau sudah mengarah kepada hubungan seksual. Padahal, pencabulan itu lebih luas dari itu," tegas Apong. Misalnya, lanjut Apong, seseorang dipaksa untuk meraba atau korban diraba-raba bagian tertentu sebenarnya sudah mencabuli. "Tapi itu biasanya sulit dijerat dalam hukum," kata Apong.(YYT/Tim Derap Hukum)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya