Liputan6.com, Banjarnegara - Ada dua bendung berukuran raksasa (setidaknya pada masanya-red) di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Dua megaproyek bendungan itu dibangun di dua zaman yang berbeda. Pertama adalah Bendungan Bandjar Tjahjana Werken (BTW), dan yang kedua Bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Panglima Besar Jenderal Soedirman atau PLTA Mrica.
Bendungan BTW dibangun pada akhir era politik etis Belanda pada 1912. Sementara itu PLTA Mrica dibangun di era kejayaan pemerintahan Presiden Soeharto tahun 1987, atau masa orde baru (Orba).
Kedua objek tersebut saat ini tengah digarap menjadi film dokumenter oleh dua sekolah sasaran Program Organisasi Penggerak (POP) yaitu SMPN 1 Banjarnegara dan SMPN 1 Bawang untuk dijadikan bahan pembelajaran audiovisual.
Baca Juga
Advertisement
Guru SMPN 1 Banjarnegara Yusman, Senin (15/11/2021) mengungkapkan, mendokumenterkan objek yang dibangun pada era kolonial jelas memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Terutama dengan tidak adanya narasumber sezaman.
"Kita harus berkutat dengan arsip kolonial, dan kalaupun ada narasumber biasanya sudah generasi kedua dan ketiga dari para saksi mata," jelas Yusman.
Sementara, Guru Besar Sejarah Universitas Airlangga Surabaya Prof Purnawan Basundoro mengungkapkan mega proyek Bandjar-Tjahjana atau Bandjar-Tjahjana Werken dirancang oleh E.W.H. Clason dan D. Snell pada tahun 1912-1938.
"Proyek ini dialiri dengan mengambil air dari bendungan di bawah Kampung Legok di atas pertemuan Sungai Merawu dan Serayu. Dengan irigasi dari bendungan ini lahan kering seperti di Wanadadi, Susukan, Rakit, Bukateja (Tjahjana), Kejobong dan Kemangkon disulap menjadi lahan yang subur dan menghasilkan lebih besar hasil bumi," jelas ahli sejarah kota asal Banjarnegara ini.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Dipaksa Transmigrasi
Sementara, Guru SMPN 1 Bawang Tjatur Budijantoro mengungkapkan, pembangunan Waduk Mrica pada saat itu merupakan peristiwa yang memilukan.
“Kami memiliki narasumber, Mbah Basrowi namanya, usianya sudah 96 tahun. Waktu itu bagi warga yang terkena proyek Waduk Mrica seperti simalakama. Kompensasi ganti rugi tidak setimpal harganya, atau mereka harus transmigrasi ke luar Jawa," ungkap Tjatur.
Namun bagi masyarakat wilayah lain, pembangunan PLTA Mrica justru sangat menguntungkan. Misalnya, daerah Gentansari yang memiliki bukit batu dan sekarang dinamakan Tampo Mas.
“Karena batuan di bukit itu dipakai untuk material bangunan waduk Mrica, dan harganya saat itu sangat mahal, seolah harga batu setompo (bakul) dapat untuk memberi satu gram emas," tambahnya.
Menurutnya, penamaan Waduk Mrica juga tidak tepat, mengingat sungai utama yang dibendung adalah Serayu Sedangkan Mrica sendiri hanya anak sungai kecil.
Penulis: Heni Purwono
Advertisement