5 Langkah Kementerian ESDM Wujudkan Net Zero Emission di 2060

Untuk mewujudkan net zero emission, Kementerian ESDM akan menerapkan carbon capture and storage (CCS) untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Nov 2021, 17:00 WIB
Petugas mengisi BBM pada sebuah mobil di salah satu SPBU, Jakarta, Selasa (1/3). Pertamina menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) umum Pertamax, Pertamax Plus, Pertamina Dex, dan Pertalite Rp 200 per liter. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyiapkan lima strategi untuk mewujudkan emisi nol bersih (net zero emission) pada 2060.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menyampaikan, pertama adalah peningkatan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT).

"Pertama, EBT kita dorong, kita percepat. Termasuk pemanfaatan bahan bakar nabati," terangnya dalam webinar bertajuk Kilang dalam Transisi Energi, Selasa (16/11/2021).

Strategi kedua adalah menggandeng kementerian dan lembaga terkait terus berupaya untuk mengurangi pemakaian energi fosil. Antara lain, melalui penerapan pajak karbon dan perdagangan bebas karbon.

"Lalu, kita juga melakukan co-firing PLTU dengan EBT. Selanjutnya, kita juga akan menonaktifkan PLTU berbasis fosil, khususnya batu bara," bebernya.

Ketiga, Kementerian ESDM berkomitmen untuk memperluas pemanfaatan transportasi berbasis listrik di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk menekan konsumsi bahan bakar berbasis fosil yang tidak ramah lingkungan.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Keempat dan Kelima

Papan petunjuk BBM yang berada di SPBU, Jakarta, Kamis (5/1). Penetapan harga BBM Umum jenis Pertamax, Pertamax Plus, Pertamax Turbo, Pertamina Dex, Dexlite dan Pertalite merupakan kebijakan korporasi Pertamina. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Keempat, mendorong pemanfaatan listrik pada sektor rumah tangga hingga industri."Jadi, sebisa mungkin energi yang digunakan dalam bentuk listrik. Kalau listrik lebih bersih sudah menggunakan energi terbarukan," bebernya.

Kelima, penerapan carbon capture and storage (CCS) atau penangkapan dan pemanfaatan karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Meski demikian, dia mengakui dibutuhkan butuh biaya yang tidak sedikit bagi industri untuk menerapkan teknologi ramah lingkungan tersebut.

"Teknologi (CCS) sudah mulai banyak dikembangkan, tapi dari sisi komersial ini belum terlalu banyak sepengetahuan saya. Dan dari sisi biaya juga tidak kompetitif dibandingkan dengan harga yang sekarang otomatis akan meningkatkan biaya produksi," tutupnya.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya