Warga Inggris yang Positif COVID-19 Bakal Tidak Lagi Diminta Isoman

Berdasarkan aturan sekarang, warga Inggris yang dinyatakan positif COVID-19 wajib isoman selama 10 hari.

oleh Asnida Riani diperbarui 16 Nov 2021, 22:04 WIB
Seorang pria menyeberang jalan pada pagi pertama penerapan lockdown nasional ketiga di Kota London, Inggris, 5 Januari 2021. Inggris memasuki lockdown nasional ketiga sejak pandemi virus corona COVID-19 dimulai. (AP Photo/Matt Dunham)

Liputan6.com, Jakarta - Warga Inggris yang dites positif COVID-19 rencananya tidak lagi harus menjalani isolasi mandiri (isoman) dan dikurung di rumah mereka. Keputusan ini merujuk pada skema "dunia pascavirus" yang disusun pemerintah setempat, lapor The Sun, Selasa (16/11/2021).

Para menteri Inggris sedang menetapkan skema untuk menyudahi pelacakan dan tes COVID-19 gratis untuk kembali ke kehidupan normal. Pihaknya juga berencana menghapus persyaratan hukum bagi mereka yang terinfeksi untuk tinggal di dalam rumah, karena dunia belajar memperlakukan COVID-19 seperti flu.

Mengacu pada skema yang dikenal sebagai Operation Rampdown, orang yang dites positif tidak akan dipaksa isoman selama 10 hari. Artinya, alokasi dana sebesar 500 pound sterling (Rp9,6 juta) yang dibayarkan pada orang kurang mampu untuk membantu biaya isoman mereka juga akan berakhir.

Fokusnya kemudian beralih ke penanganan wabah lokal dan melindungi pengaturan berisiko tinggi seperti rumah sakit dan panti jompo. COVID-19 diperkirakan akan tetap pada tingkat "endemik" selama bertahun-tahun, artinya tetap beredar, tapi pada tingkat lebih rendah.

Prof Robert Dingwall dari Nottingham Trent University mengatakan, "Saya sangat menyambut kenyataan bahwa orang-orang merencanakan akhir dari keadaan darurat dan pemulihan kehidupan sehari-hari. Mengobati COVID-19 seperti infeksi pernapasan lain mestinya mendorong orang menghilangkan ketakutan dan kecemasan yang telah mengganggu selama dua tahun terakhir."

Namun, seorang sumber pemerintah menekankan tidak akan ada yang berubah sebelum tahun depan. Terlebih, kasus harian di Inggris naik hampir seperlima dalam seminggu karena 36.517 infeksi positif dicatat dalam 24 jam terakhir. 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Menghindari Pembatasan Jarak Sosial

Seorang pria yang mengenakan masker berjalan di sepanjang area perbelanjaan Oxford Street di pusat kota London, Rabu (20/10/2021). Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mencatat terjadi kenaikan kasus Covid-19 sebesar 7% di seluruh Eropa pada pekan lalu. (AP Photo/Matt Dunham)

Saat ini, tercatat 80 persen orang Inggris telah menerima dua dosis vaksin COVID-19. Jumlah kasus yang mengkhawatirkan meningkat menjelang periode Natal yang sibuk.

Kendati demikian, berdasarkan datanya, para ahli mengklaim bahwa Inggris akan dapat "menghindari" pembatasan jarak sosial pada musim dingin karena cukup banyak orang yang sudah divaksin. Profesor Neil Ferguson menyebut "tidak mungkin" Inggris akan dipaksa melakukan penguncian seperti tahun lalu pada periode perayaan.

Ahli epidemiologi, yang pemodelannya membantu memicu penguncian pertama tahun lalu, juga berpikir suntikan booster akan membantu dalam hal ini. Tapi, kenaikan kasus di Eropa jug jadi pertimbangan lain. Beberapa negara Eropa, termasuk Belanda, telah memberlakukan penguncian karena meningkatnya jumlah kasus.

 


Meningkatnya Kasus COVID-19 di Eropa

Orang-orang dengan masker berjalan di Stasiun Pusat Amsterdam, Belanda, Rabu (3/11/2021). Belanda kembali menerapkan tindakan pembatasan virus corona, termasuk kewajiban memakai masker di berbagai ruang publik menyusul lonjakan kasus Covid-19 beberapa waktu terakhir. (Ramon van Flymen/ANP/AFP)

Terkait ini, kanal Global Liputan6.com melaporkan, WHO khawatir Eropa akan kembali jadi episentrum kasus COVID-19 akibat melonjaknya kasus harian. Angka kematian terkait virus corona baru diprediksi bisa menyentuh setengah juta pada Februari 2022 jika keadaan tidak berubah.

Kepala WHO Eropa Hans Kluge mengatakan, program vaksinasi masih belum maksimal, selain adanya pelonggaran penanganan COVID-19 sehingga kasus melonjak.  "Kita harus mengubah taktik-taktik kita, dari bereaksi terhadap lonjakan COVID-19 hingga mencegahnya terjadi," ujar Kluge.

Tingkat vaksinasi di Eropa dilaporkan sedang melambat, di Prancis dan Jerman, misalnya. Baru 68 persen orang yang mendapatkan dua dosis di Prancis, sementara Jerman mencatat 66 persen.

Situasi di Eropa Timur lebih parah lagi. Di Rusia, baru ada 32 persen warga yang mendapatkan dua dosis vaksin. Rusia mengandalkan vaksin Sputnik V buatan dalam negeri.

Peringatan WHO datang ketika kasus harian di Jerman melonjak hingga 34 ribu kasus. Angka kematian dalam 24 jam relatif rendah, yakni 165 kasus. Namun demikian, kondisi di Jerman dikhawatirkan pertanda adanya gelombang baru COVID-19, sehingga bisa membebani fasilitas kesehatan. 

Kasus harian di Inggris juga tinggi, yakni 37 ribu kasus. Pemerintah berkata hal itu karena tes COVID-19 yang masif. 


Infografis Hati-Hati Gelombang Ketiga COVID-19 Mengintai Indonesia

Infografis Hati-Hati Gelombang Ketiga Covid-19 Mengintai Indonesia. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya