Liputan6.com, Jakarta Bu Broto (Maudy Koesnaedi) merintis usaha losmen dengan namanya di Kota Gudeg. Ia didukung sang suami, Pak Broto (Mathias Muchus) yang bersikap tenang dan meneduhkan.
Pasutri ini dikaruniai tiga anak yang telah dewasa. Pur (Putri Marino) menjalin cinta dengan Anton (Darius Sinathrya). Keduanya punya hasrat kuat di bidang kuliner.
Baca Juga
Advertisement
Sri (Maudy Ayunda) adalah bintang dalam keluarga ini. Cantik, cerdas, teliti (itu yang tak bisa dicuri darinya -red) dan terampil bermusik. Lalu ada si bungsu, Tarjo (Baskara Mahendra). Berikut resensi film Losmen Bu Broto.
Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Well Prepared, Konsep Matang
Letupan masalah muncul saat Sri menjalin cinta dengan Jarot (Marthino Lio), seniman yang dianggap tak punya masa depan cerah. Selain tidak sreg dengan Jarot, Bu Broto juga kurang cocok dengan keputusan Sri menyeriusi musik.
Baginya, Sri orang yang paling tepat diwarisi losmen. Masakan Pur memang juara, namun sejak sebuah tragedi terjadi, ia jadi tertutup, kurang ramah, dan pensiun masak ikan kakap kecombrang, signature-nya. Puncaknya, saat Sri dan Jarot salah langkah.
Kesan pertama menyaksikan Losmen Bu Broto adalah well prepared dan punya konsep jelas sejak awal. Ini terasa dari desain adegan pembuka yang “mengikuti” ritme kerja dan suasana hiruk pikuk dalam losmen.
Advertisement
Setiap Ruang Losmen
Tak sekadar memperkenalkan pemain dan kru, adegan pembuka adalah jiwa dari usaha jasa yang menempatkan penonton sebagai tamu. Kita dipersilakan masuk. Dan Bu Broto adalah brand ambassador abadi di sini.
Namun losmen bukan semata soal jatuh bangun membesarkan usaha jasa. Sejatinya, karya Ifa Isfansyah (kita mengenalnya lewat Garuda Di Dadaku juga Sang Penari) dan Eddie Cahyono (sutradara film Siti) adalah romantika keluarga.
Ada ayah, ibu, dan tiga anak yang bahu membahu membesarkan Losmen. Karakter yang berseberangan. Kemelut yang dipendam dan masih banyak lagi. Diceritakan dengan lancar, silih berganti, plus tempo yang enak hingga kita dengan bebas memasuki setiap ruang dalam losmen dari kamar pemilik hingga gudang. Di sana ada ruang-ruang hangat berikut tangis tawa.
Maudy, Zaenab, dan Bu Broto
Yang paling kami khawatirkan ketika proyek ini diumumkan, peran Bu Broto dipercayakan kepada Maudy Koesnaedi. Keaktorannya tak perlu diragukan mengingat dalam Soekarno, ia dengan apik “memotret” Inggit, istri Soekarno yang mengantar sang proklamator membuka pintu gerbang. Soekarno masuk, Inggit tetap di luar pagar.
Masalahnya, Maudy dan Zaenab berikut citra wanita cantik dengan rambut hitam tergerai, pasrah, lemah lembut (dan kalau perlu bawa rantang sekalian) susah ditepis. Apa yang kami khawatirkan rupanya tak terjadi.
Ia mendekati Bu Broto dengan banyak cara. Dari menyerap esensi dominasi di tengah keluarga hingga standar yang ditetapkan untuk karyawan termasuk anak. Maudy Koesnaedi sadar betul, Bu Broto tak bisa didekati hanya dengan metode seperti itu.
Ada properti yang harus dikenakan agar bisa menjelma. Kain jarit, konde segede gaban, kebaya, hingga riasan di level paripurna mutlak dibutuhkan. Pendekatan dari luar dan dalam membuat citra Zaenab tanggal.
Advertisement
Jeli Pilih Pemain
Losmen Bu Broto bukti sahih kejelian memilih pemain. Di samping Maudy Koesnaedi ada Maudy lainnya, yakni Ayunda, yang saat tampil di layar kami langsung tahu dialah superstar di keluarga Broto.
Pur hidup dalam bayang-bayang adiknya. Dari aspek akting, benar mencuri perhatian. Tangisnya terasa dalam. Melihat Putri Marino mewek, membuat kami paham seperti apa rasanya dibandingkan dengan saudara kandung hingga dipersalahkan dalam satu keadaan. Dalam hal ini, penjiwaan Putri enggak ada lawan.
Yang agak meleset bisa jadi karakter Tarjo. Begini, Tarjo bungsu dan satu-satunya anak lelaki. Artinya, kehadirannya (diakui atau tidak) pasti dinanti oleh kedua orangtua. Sayang, kami tidak merasakan “tonjokan” karakter Tarjo.
Kenakalan atau jiwa berontaknya, kurang terasa. Kurang Tarjo. Justru jiwa bebas dan berontak itu malah tergambar jelas dalam diri Sri. Mencapai klimaksnya di meja makan. Hingga penonton terperenyak.
Kontribusi Karakter Pendukung
Losmen Bu Broto dengan desain kostum dan tata artistik yang ciamik mempersembahkan drama keluarga dengan grafik konflik menanjak. Kontribusi karakter pendukung membuat kisahnya terasa lebih dari sekadar utuh.
Landung Simatupang sebagai salah satu tamu, bukan sekadar mejeng di layar. Opininya menawarkan sudut pandang baru, bahkan solusi kepada tokoh maupun penonton. Darius Sinathrya yang di layar digambarkan enggak ke mana-mana, auranya ke mana-mana. Kami jadi maklum bahwa absennya Anton merupakan terjangan tsunami di sanubari Pur yang selalu tenang.
Menyaksikan film ini, sensasinya kurang lebih sama dengan Cek Toko Sebelah. Losmen Bu Broto seperti masakan rumahan. Ada cita rasa khas yang tak mungkin di temukan di warung atau restoran lain. Lalu, membuat kita rindu pada sajian yang terhidang di meja.
Advertisement
Sebuah Penghormatan
Semangat film ini menghangatkan jiwa. Akhirnya, mata hati kita makin terbuka bahwa sebenci-bencinya kita pada anggota keluarga (terserah mau menyebut bapak, ibu, adik, atau kakak), Anda tetap saja kembali ke rumah dan mengakui peran penting mereka. Mengapa? Karena mereka tak kan terganti, selamanya ada di hati.
Konfliknya dekat. Bisa jadi Anda menempati posisi Pur, Sri, Tarjo, atau malah Bu Brotonya. Dengan mudah kisah ini terkoneksi dengan banyak orang dan dikenang. Dihiasi soundtrack tentang rumah dan rasa aman.
Diperkuat pula dengan penyutradaraan yang cermat, membuat film ini tahu kapan mesti cerewet atau bersikap khidmat. Yang paling penting, Losmen Bu Broto berhasil menghormati versi serial. Di atas semua itu, film ini penghormatan terhadap unit terkecil dalam sebuah negara. Apa? Keluarga.
Pemain : Maudy Koesnaedi, Mathias Muchus, Maudy Ayunda, Putri Marino, Baskara Mahendra, Darius Sinathrya
Produser : Andi Boediman, Pandu Birantoro, Robert Ronny
Sutradara : Ifa Isfansyah, Eddie Cahyono
Penulis : Alim Sudio
Produksi : Paragon Pictures, Ideosource Entertainment, Fourcolours Films, Ideoworks
Durasi : 1 jam, 49 menit
Baca Juga