Liputan6.com, Jakarta - Palopo resmi menjadi kota otonom pada 2002 di Provinsi Sulawesi Selatan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002 pada 10 April 2022. Sebelumnya, kota ini berstatus kota administratif sejak 1986 dan merupakan bagian dari Kabupaten Luwu.
Pada awal berdiri, Palopo terbagi atas empat kecamatan dan 20 kelurahan. Kemudian, pada 28 April 2005, berdasarkan Peraturan Daerah Kota Palopo Nomor 03 Tahun 2005, dilaksanakan pemekaran menjadi sembilan kecamatan dan 48 kelurahan. Kota ini memiliki luas wilayah 247,52 kilometer persegi dan pada akhir 2020 berpenduduk sebanyak 184.681 jiwa.
Palopo dipilih untuk dikembangkan menjadi ibu kota Kesultanan Luwu menggantikan Amassangan di Malangke setelah Islam diterima di Luwu pada abad ke-17. Perpindahan ibu kota tersebut diyakini berawal dari perang saudara yang melibatkan dua putera mahkota saat itu. Perang ini dikenal dengan Perang Utara-Selatan. Setelah terjadinya perdamaian, ibu kota dipindahkan ke daerah di antara wilayah utara dan selatan Kesultanan Luwu, yaitu Palopo.
Sebagian besar suku yang mendiami daerah ini meliputi Suku Bugis, Jawa, dan Konjo Pesisir, dan sebagian kecil meliputi Suku Toraja, Minangkabau, Batak, dan Melayu. Islam adalah mayoritas agama yang dianut sebagian besar masyarakat Kota Palopo. Sedangkan, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu dianut oleh sebagian kecil masyarakat di Kota Palopo.
Baca Juga
Advertisement
Tentu bukan itu saja hal-hal menarik dari Palopo. Berikut enam fakta menarik seputar Kota Palopo yang dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber.
1. Arti Nama Palopo
Kota Palopo ini dulunya bernama Ware yang dikenal dalam Epik La Galigo. Nama Palopo ini diperkirakan mulai digunakan sejak 1604, bersamaan dengan pembangunan Masjid Jami' Tua. Kata "Palopo" ini diambil dari kata bahasa Bugis-Luwu.
Artinya yang pertama adalah penganan yang terbuat dari ketan, gula merah, dan santan. Yang kedua berasal dari kata "Palopo'i", yang artinya tancapkan atau masukkan. "Palopo'i" adalah ungkapan yang diucapkan pada saat pemancangan tiang pertama pembangunan Masjid Tua.
2. Ikan dan Rumput Laut
Letak Kota Palopo yang berbatasan langsung dengan Teluk Bone berkontribusi besar terhadap perekonomian, salah satunya adalah sub sektor perikanan. Produksi budidaya perikanan didominasi oleh perikanan laut dan darat. Namun, hasil laut mereka yang paling utama adalah rumput laut.
Produksi rumput laut Kota Palopo pada 2012 sebesar 31,214 ton dengan total nilai produksi Rp 111,8 miliar. Produksi rumput laut ini merupakan komoditas budidaya perikanan laut dan tambak dengan luas areal produksi mencapai 1.563 hektare.
Sebagai kota maritim, Palopo memiliki komoditas unggulan rumput laut Gracilaria dengan kualitas terbaik di dunia. Kota Palopo mengekspor komoditas ini ke luar negeri melalui Pelabuhan Tanjung Ringgit.
Meski bukan penghasil rumput laut terbesar di Sulawesi Selatan, Kota Palopo memiliki keunggulan dari sisi geografis sebagai sentra perdagangan, jasa dan industri di bagian utara Sulawesi Selatan, sekaligus menjadi simpul rumput laut daerah Tana Luwu dan sekitarnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
3. Bukit Kambo
Kambo, atau lebih dikenal dengan nama Bukit Kambo, adalah sebuah kelurahan dan desa wisata di Kota Palopo yang terletak di Kecamatan Mungkajang. Kambo memang memiliki keindahan alam yang menawan.
Akses pemandangan hijau menghadirkan perasaan nyaman ketika mengitari wilayah yang berada di dataran tinggi Palopo ini. Anda akan disuguhi pemandangan indah setelah sampai di Bukit Kambo, usai melalui rute yang agak terjal, jalanan yang berkelok dihiasi rumput dan pepohonan hijau.
Tak hanya memiliki keindahan alam menawan, Bukit Kambo juga dikenal sebagai penghasilan kerajinan tangan. Kelurahan ini juga dikenal sebagai daerah penghasil gula merah, yang dibuat warga setempat dari olahan aren. Gula merah dari Kambo sangat terkenal. Berkat keindahannya, Kambo sempat masuk 100 nominator Anugerah Desa Wisata Indonesia atau ADWI 2021 yang diadakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Republik Indonesia.
4. Masjid Jami Tua
Masjid Jami Tua merupakan masjid peninggalan Kerajaan Luwu yang berlokasi di Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Masjid ini didirikan oleh Raja Luwu bernama Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe pada 1604. Masjid dengan luas 15 meter persegi ini diberi nama Tua, karena usianya yang sudah tua. Masjid ini juga berkaitan dengan sejarah nama kota ini.
Masjid Palopo beratap tumpang tiga seperti masjid-masjid tua di Indonesia lainnya. Atap tumpang teratas terdapat sebuah mustaka yang terbuat dari keramik Tiongkok yang diperkirakan jenis Ming berwarna biru. Mustaka tersebut secara teknis sebagai pengunci puncak atap untuk menjaga masuknya air.
Sejauh ini, masjid telah beberapa kali direnovasi. Renovasi pertama pada 1700 dengan perbaikan pada lantai. Kedua, pada 1951, mengganti lantai yang lama dengan lantai dari tegel yang didatangkan dari Singapura. Renovasi ketiga pada 1981 untuk memperbaiki semua bagian masjid yang rusak.
Sedangkan, pada renovasi keempat dan kelima dengan menambahkan luas bangunan hingga seperti yang sekarang ini. Bentuk arsitektur Masjid Jami Tua Palopo secara keseluruhan menunjukkan nilai-nilai kebudayaan lokal yang berakulturasi dengan nilai-nilai dari luar, terutama Islam dan Jawa. Meski demikian, bagian inti dari kebudayaan setempat tidak berubah.
Advertisement
5. Kuliner Khas Polopo
Seperti daerah lainnya di Sulawesi, Palopo juga banyak memakai ikan sebagai bahan utama kuliner khas mereka. Salah satunya Pacco. Ikan yang digunakan untuk membuat Pacco ini sangat beragam dan kembali pada selera tiap orang.
Ikan yang disajikan mirip dengan sashimi khas Jepang, yaitu ikan mentah yang diberikan bumbu untuk menghilangkan bau amisnya. Lalu, ada ikan parede yang kalau disantap dengan mangga muda akan luar biasa nikmatnya. Ikan yang digunakan biasanya ikan bandeng, lamuru, kakap dan jenis ikan lainnya yang berukuran besar. Kepala ikan Lamuru dan Kakap juga populer untuk diolah menjadi parede.
Ada juga Lawa yang mirip dengan urap di Jawa, yakni sayuran yang dilaburi dengan parutan kelapa yang telah diberi bumbu. Sementara, Lawa merupakan jantung pisang mentah atau yang disiram air panas denagn ikan mairo mentah.
Ada pula Kapurung yang bahan dasarnya dari sagu. Rasanya lezat dan kandungan gizinya sangat tinggi karena selain sagu juga terdapat berbagai macam jenis sayuran, seperti bayam, jagung manis, jantung pisang, sampai kacang panjang. Selain itu, masih ada makanan khas Palopo lainnya, seperti Dange, Dampo Durian, Buah Tarra dan Bolu Peca.
6. Karnaval Budaya
Kota Palopo tiap tahunnya ikut serta dalam Karnaval Budaya Pesona Tana Luwu menampilkan sejumlah karya seni dan budaya. Acara ini biasanya digelar di depan istana kerajaan Luwu menuju Stadion Laga Ligo Palopo, Sulawesi Selatan. Karnaval budaya pesona Tana Luwu, digelar sebagai puncak perayaan hari Perlawanan Rakyat Luwu ke-73 dan Hari Jadi ke-751 Luwu yang dilaksanakan setiap 23 Januari.
Sejumlah kesenian tradisional khas Tana Luwu yang meliputi Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur, Kota Palopo dan Kabupaten Tana Toraja ditampilkan sebagai bentuk mempererat silaturahmi antar-daerah.
Pelaksanaan perayaan karnaval ini merupakan bentuk rasa syukur atas perjuangan warga Tana Luwu dalam merebut kemerdekaan dari penjajah. Dalam acara ini, seluruh daerah yang mengikuti karnaval memperkenalkan adat budaya mereka seperti pakaian adat dan tari tarian khas daerah masing-masing.
Libur Natal dan Tahun Baru, Ini 5 Langkah Cegah Lonjakan Covid-19
Advertisement