Bisa Berdampak Buruk, Praktik Sunat Perempuan Tak Dibenarkan Hukum dan Agama

Pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan (P2GP) atau khitan perempuan merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender. Namun, hal ini masih dilakukan di sebagian wilayah dengan alasan ajaran atau budaya turun-temurun.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 19 Nov 2021, 16:00 WIB
Ilustrasi Khitan perempuan. (pexels/cliffbooth).

Liputan6.com, Jakarta - Pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan (P2GP) atau sunat perempuan merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender. Namun, hal ini masih dilakukan di sebagian wilayah dengan alasan ajaran atau budaya turun-temurun.

“Padahal praktik P2GP yang berkembang hingga hari ini bukan merupakan tindakan kedokteran karena pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengutip keterangan pers Jumat (19/11/2021).

Guna menangani masalah ini, KemenPPPA mengajak ulama-ulama pesantren membangun komitmen pencegahan P2GP terhadap perempuan.

Musyawarah dilaksanakan di Bogor untuk menghasilkan rekomendasi yang membawa kemaslahatan bagi semua pihak khususnya perempuan sebagai pihak yang terdampak.

Menurut Bintang, ulama memiliki peranan penting untuk turut menuntaskan berbagai tantangan dalam permasalahan praktik P2GP, sekaligus memperbaiki pandangan-pandangan yang masih keliru di masyarakat.


Dari Sisi Agama Islam

Senada dengan Bintang, istri Presiden Indonesia keempat Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah Wahid menegaskan bahwa P2GP tidak memberikan efek positif. Sebaliknya, ini dapat memberi efek buruk pada perempuan.

“Tidak dibolehkannya mengkhitan perempuan bisa berangkat dari dalil saddu al-dzari’ah, yaitu menutup peluang bagi timbulnya sebuah kemudaratan. Dalam Islam, melukai tubuh itu kemudaratan sehingga tidak diperbolehkan. Ia dibolehkan bahkan diwajibkan kalau di dalamnya mengandung kemaslahatan,” kata Sinta dalam keterangan yang sama.

Itu sebabnya, lanjut Sinta, khitan bagi laki-laki bukan hanya dibolehkan melainkan diwajibkan karena di dalam khitan laki-laki itu terdapat kemaslahatan yang nyata (mashlahah muhaqaqah).

Sementara kemaslahatan dalam khitan perempuan adalah bersifat mazhnunah (kerusakan yang diduga bisa terjadi) bahkan marhumah (diduga kuat), maka dari itu khitan perempuan bisa ditinggalkan.

Sinta juga menegaskan apabila khitan perempuan belum dapat dilakukan dengan teknis yang baik, higienis dan tidak menyakitkan, maka harus ditinggalkan dan tidak dilakukan sebagaimana yang tertuang dalam surat edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Republik Indonesia.


Implikasi Khitan

Dari perspektif keadilan hakiki perempuan, Dosen Pascasarjana PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an), Nur Rofiah menerangkan ada implikasi berbeda bagi perempuan dan laki-laki ketika dikhitan.

Secara fisik perempuan memiliki 29 potensi dampak biologis dari berhubungan seksual mulai dari perubahan bentuk selaput dara hingga menyusui anak selama dua tahun. Sementara, laki-laki hanya merasakan satu dampak yakni keluarnya sperma.

Oleh karenanya, konsep keadilan hakiki penting dipertimbangkan demi mewujudkan kemaslahatan bersama baik bagi laki-laki dan perempuan.

 


Infografis Vaksin COVID-19 Berdampak pada Kesuburan Pria dan Perempuan?

Infografis Vaksin Covid-19 Berdampak pada Kesuburan Pria dan Perempuan? (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya