, Jakarta - Pemenang Penghargaan Kebebasan Pers 2021 telah diumumkan. Mereka adalah seorang blogger China yang melaporkan Virus Corona COVID-19 di Wuhan, sebuah konsorsium yang mengungkap skandal mata-mata di seluruh dunia, dan seorang jurnalis Palestina pemberani.
Pada Desember 2019, penyakit paru-paru baru yang misterius menyebar di kota Wuhan, China. Saat itu, tidak ada yang membayangkan akan segera menjadi pandemi global. Pihak berwenang China tidak mengindahkan insiden itu, sehingga infeksi merebak luas. Pada 23 Januari 2020, kota itu akhirnya dikunci total — dengan perkiraan ribuan penduduk sudah terinfeksi.
Baca Juga
Advertisement
Virus Berbahaya, Pemberitaan Dilarang
Pada awal Februari 2020, jurnalis independen Zhang Zhan melakukan perjalanan dari Shanghai ke Wuhan untuk melaporkan situasi dramatis secara langsung. Untuk pelaporannya yang berani, dia dianugerahi Penghargaan Kebebasan Pers Reporters Without Borders tahun ini — dalam kategori "Keberanian Jurnalistik".
Informasi yang disebarkan Zhang Zhan melalui media sosial, mencakup pemberitaan soal rumah sakit yang penuh sesak, krematorium yang kelebihan beban, dan warga kota yang terintimeiasi.
Sebelumnya, pada September 2019, mantan pengacara itu ditangkap dan dipenjara karena ikut serta dalam aksi solidaritas untuk Hong Kong. Selama ditahan, melakukan mogok makan, dan dibebaskan setelah 65 hari di penjara.
Namun, dia tidak membiarkan dirinya diintimidasi. Zhan terus menyebarkan informasi dari Wuhan sampai ia menghilang pada 14 Mei 2020. Tidak lama kemudian, dia dilaporkan telah ditangkap, dibawa kembali ke Shanghai, dan dipenjara tanpa dakwaan.
Pada Desember 2020, perempuan berusia 38 tahun itu dijatuhi hukuman empat tahun penjara karena "mencari pertengkaran dan memprovokasi masalah," yang merupakan ungkapan umum yang digunakan pihak berwenang untuk menekan perbedaan pendapat.
Zhan memulai mogok makan lagi, yang berlanjut hingga hari ini, dan dilaporkan hanya memiliki berat badan 40 kilogram. Dia dipaksa makan melalui selang di perut dan tetap ditahan meskipun banding diajukan oleh banyak organisasi hak asasi manusia internasional.
Dengan penghargaan ini, Reporters Without Borders berharap dapat menarik perhatian publik pada penderitaan Zhang Zhan. Sejak tahun 1992, penghargaan ini menghormati karya jurnalis dan media yang telah memberikan kontribusi luar biasa dalam membela dan mempromosikan kebebasan pers.
Siapa yang Memantau Spionase?
The "Pegasus Project" adalah konsorsium internasional, di mana lebih dari 80 jurnalis dari 11 negara tergabung di dalamnya. Mereka mendapatkan ide nama proyek dari program perangkat lunak spionase "Pegasus" yang dimiliki oleh perusahaan teknologi Israel NSO Group.
DW yang dikutip Jumat (19/11/2021) melaporkan pada tahun 2017 bahwa pemerintah Meksiko pada saat itu menggunakan perangkat lunak ini untuk memantau jurnalis.
Untuk mengungkap seluruh skandal, Proyek Pegasus adalah penerima penghargaan tahun ini dalam kategori "Impact".
Berdasarkan kebocoran lebih dari 50.000 nomor telepon yang ditargetkan oleh perangkat lunak mata-mata, para jurnalis mengungkapkan bahwa hampir 200 profesional media dimata-matai di seluruh dunia. Nomor ponsel Presiden Prancis Emmanuel Macron, Presiden Dewan Eropa Charles Michel, dan Presiden Meksiko Andrés Manuel López Obrador diyakini juga telah dimata-matai.
Tidak hanya itu, tokoh oposisi dan kritikus pemerintah juga menjadi sasaran pengawasan di banyak negara. Reporters Without Borders dan banyak media di seluruh dunia telah mengajukan tuntutan hukum terhadap praktik spionase ini.
"Kitai membutuhkan rezim sanksi global yang secara mendasar melarang dan memberikan sanksi ekspor teknologi semacam itu ke negara-negara otoriter," kata Direktur Pelaksana Reporters Without Borders Germany, Christian Mihr. "Karena teknologi pengawasan seperti itu memusuhi kebebasan pers, dan dalam kasus terburuk, membahayakan nyawa manusia."
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Reporter yang Terjebak di Tengah
Jurnalis Palestina Majdoleen Hassona tidak asing lagi dengan pengawasan publik. Pekerjaannya dihalangi dan tuduhan diajukan terhadapnya oleh otoritas Israel dan Palestina.
"Saya mengkritik pelanggaran hak asasi manusia Israel dan kejahatan yang dilakukan tentara Israel terhadap jurnalis”, katanya kepada DW, "dan saya mengkritik Otoritas Palestina karena korupsi dan karena membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi — dan ini telah merugikan saya di kedua sisi."
Pada akhir 2015, ia mengambil pekerjaan menjadi penyiar Turki TRT dan pindah ke Istanbul. Hassona sebelumnya bekerja di berbagai outlet berita Palestina, termasuk 11 bulan sebagai editor utama Dooz News, portal berita yang dijalankan oleh DW Academy, German Society for International Cooperation (GIZ), dan University of Nablus.
Hassona sempat mengunjungi tanah airnya pada Agustus 2019, tetapi dicegah meninggalkan wilayah itu di sebuah pos pemeriksaan Israel "untuk alasan keamanan." Badan intelijen Israel memberlakukan larangan tersebut. Sejak itu, dia terjebak di Tepi Barat — tetapi dia terus melakukan apa yang selalu dia lakukan, bekerja sebagai jurnalis.
Pada Juni 2021, kritikus terkenal Palestina Nizar Banat tewas saat berada dalam tahanan polisi Palestina. Kerabatnya berpendapat bahwa dia dipukuli sampai mati oleh pasukan keamanan Palestina.
Ketika Majdoleen Hassona meliput cerita dan melaporkan protes setelah kematian Nizar Banat, pasukan Palestina juga memukulinya.
Dia dianugerahi Penghargaan Kebebasan Pers tahun ini dalam kategori "Kemerdekaan". Dalam pernyataan awal, dia mengaku senang menerima penghargaan tersebut.
"Penghargaan Kebebasan sangat berarti bagi saya,” katanya kepada DW, "karena penghargaan ini tidak diberikan kepada jurnalis mana pun, tetapi kepada setiap jurnalis yang telah mengalami pembatasan kebebasan pers, dan mereka layak untuk menjalankan pekerjaannya dan hidup mereka dengan bebas."
Advertisement