HEADLINE: Pemberlakuan PPKM Level 3 untuk Cegah Gelombang Ketiga, Strateginya?

Belajar dari pengalaman sepanjang tahun 2020 hingga 2021, Pemerintah mengimbau masyarakat untuk mewaspadai kemungkinan terjadinya peningkatan kasus COVID-19 pada musim libur Natal dan tahun baru (Nataru).

oleh Tanti YulianingsihTeddy Tri Setio BertyTommy K. RonyDyah Puspita WisnuwardaniBenedikta DesideriaAde Nasihudin Al AnsoriDiviya Agatha diperbarui 22 Nov 2021, 07:58 WIB
Sejumlah kendaraan melintas di kawasan Tol Jagorawi, Jakarta, Sabtu (13/11/2021). Jalan Tol Jasa Marga Group pada Oktober 2021 meningkat sebesar 6,64 persen jika dibandingkan dengan LHR September 2021 pada masa PPKM level 3. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Winter COVID mengintai daratan Eropa. Musim dingin disebut-sebut sebagai salah satu aspek yang turut memengaruhi lonjakan kasus di belahan bumi utara. Ada tiga negara di Eropa yang masuk dalam daftar lima besar dunia dengan jumlah kasus baru terbanyak selama 28 hari terakhir versi Johns Hopkins.

Negara-negara yang mengalami lonjakan kasus COVID-19 itu yakni Inggris (1 juta kasus baru), Rusia (1 juta kasus), dan Jerman (824 ribu kasus). Negara Eropa lainnya seperti Belanda dan Belgia pun turut mengalami peningkatan kasus. Bahkan Belanda telah mulai menerapkan lockdown 3 minggu. 

Selain itu, Prancis kini pun dihadapkan pada jumlah kasus positif yang merangsek naik. Hal tersebut dikonfirmasi juru bicara Kedutaan Besar Prancis untuk Indonesia, Dominique Roubert, Jumat (19/11/2021).

Roubert menyebut, kasus COVID-19 di negaranya terus meningkat sejak November 2021. Rata-rata kasus baru dalam sepekan terakhir mencapai 12 ribu. Lalu, kasus harian tembus 20 ribu pada 17 November kemarin. Meski demikian, vaksinasi disebut membuat situasi terkini tidak separah gelombang sebelumnya.

"Meski agak mengkhawatirkan, karena jumlah orang yang divaksin tinggi, jumlah pasien positif dengan gejala berat dan angka kematian relatif kecil," tutur Roubert.

Hingga kini Prancis belum mempertimbangkan kebijakan lockdown, hanya mengampanyekan protokol kesehatan agar dipatuhi lebih ketat. Berbeda dengan Belanda yang telah memberlakukan kebijakan tersebut sejak Sabtu (13/11). Mobilitas warga kembali dibatasi, demikian pula dengan restoran dan toko-toko yang durasi layanannya dipersingkat.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan kematian akibat Virus Corona di Eropa naik 5 persen pada minggu lalu, membuat Eropa menjadi wilayah di dunia dengan kasus kematian akibat COVID-19 yang meningkat.

Dalam laporan mingguannya tentang pandemi yang dikeluarkan Selasa malam, WHO mengatakan kematian COVID-19 di semua wilayah selain Eropa tetap stabil atau menurun, dan berjumlah 50.000 di seluruh dunia pekan lalu. 

Dari 3,3 juta infeksi baru yang dilaporkan, 2,1 juta berasal dari Eropa. Itu adalah minggu ketujuh berturut-turut bahwa kasus COVID-19 terus meningkat di 61 negara dan wilayah yang dihitung WHO di kawasan Eropa, yang membentang melalui Rusia hingga Asia Tengah.

Sementara itu, sebuah penelitian terhadap jumlah orang di 19 negara yang tidak terinfeksi COVID-19 atau divaksinasi menunjukkan, pandemi Corona diperkirakan bisa menelan korban jiwa tambahan mencapai 300 ribu di Eropa.

Model penelitian ini juga memprediksi bahwa pandemi COVID-19 dapat menyebabkan sekitar satu juta rawat inap di Eropa, beberapa di antaranya akan berkontribusi pada angka kematian yang diproyeksikan. Tetapi penulis analisis menunjukkan bahwa perkiraan mereka adalah jumlah maksimum, yang mengasumsikan bahwa semua pembatasan anti-infeksi COVID-19 dicabut dan kontak antar individu telah kembali ke tingkat pra-pandemi.

Hasil analisis telah di-posting sebagai pracetak di server medRxiv dan belum ditinjau oleh rekan sejawat.

Ahli epidemiologi penyakit menular di University of Cambridge, Inggris Henrik Salje yang tidak terlibat dalam penelitian berpendapat, temuan itu menunjukkan bahwa korban pandemi COVID-19 di masa mendatang bisa sangat parah di Eropa dan mungkin tempat lain. Tetapi menurutnya, angka-angka itu harus ditafsirkan dengan hati-hati, karena analisis tersebut mengasumsikan bahwa setiap orang dalam populasi akan terpapar - "skenario terburuk yang ekstrem."

Sedangkan pemodel penyakit menular di University of Sydney di Australia, Sheryl Chang menganggap, penelitian terkait kematian akibat COVID-19 berguna dalam membantu negara-negara mempersiapkan diri menghadapi tantangan di masa depan. 

"Angka-angkanya mengejutkan, dan itu mungkin atau mungkin tidak terjadi, tetapi orang-orang perlu sadar bahwa COVID-19 belum berakhir."

Lalu bagaimana dengan di Indonesia?


Potensi Gelombang ke-3 di Indonesia Berbeda

Infografis Siap-Siap Pemberlakuan PPKM Level 3 Cegah Gelombang Ketiga Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

Belajar dari pengalaman sepanjang tahun 2020 hingga 2021, Pemerintah mengimbau masyarakat untuk mewaspadai kemungkinan terjadinya peningkatan kasus COVID-19 pada musim libur Natal dan tahun baru (Nataru). Periode libur panjang umumnya diikuti dengan kenaikan kasus. 

Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiolog Indonesia (PAEI) Masdalina Pane mengungkap, potensi gelombang baru yang akan dihadapi saat ini sebenarnya berbeda dengan yang sebelumnya.

"Saya belum melihat sebenarnya ada kemungkinan untuk gelombang ketiga, kenapa? Karena kondisi hari ini berbeda dengan kondisi tahun lalu. Kalau kita menggunakan data tahun lalu, memang terlihat ada potensi gelombang ketiga. Tapi ada yang berbeda lho," ujar Masdalina pada Health Liputan6.com, Jumat (19/11/2021). 

Masdalina pun menyoroti perbedaan kondisi dengan tahun lalu yang berkaitan dengan cakupan vaksinasi serta testing dan tracing juga belum dilakukan dengan baik.

"Tahun lalu kondisi kita belum terkendali sesuai dengan indikator pengendalian yang ada sekarang, karena indikator yang ada sekarang baru ada mulai bulan Juni 2021 ya. Jadi menurut kami, sebenarnya tidak ada risiko untuk terjadinya gelombang ketiga," kata Masdalina. 

Masdalina juga mengatakan, gelombang ketiga berpotensi terjadi jika varian terbaru seperti AY.4.2 masuk ke Indonesia. "Yang saat ini kita sedang waspadai kan AY.4.2. Nah kalau dia masuk, ada kemungkinan untuk terjadinya gelombang ketiga. Sepanjang itu tidak masuk, enggak ada risiko untuk gelombang ketiga," ujar Masdalina. 

Hal senada disampaikan Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono. Menurutnya, ada beberapa syarat yang menjadi pemicu terjadinya gelombang ke-3, seperti kegiatan kumpul-kumpul tanpa menerapkan protokol kesehatan, varian baru, serta capaian vaksinasi yang rendah di daerah tujuan merayakan tahun baru. Sejauh ini, Pandu menilai syarat tersebut tidak ditemukan dan dapat teratasi. 

“Sampai sekarang enggak ada varian baru yang lebih ganas dari varian Delta.”

“Sekarang kan digenjot terus vaksinasinya, kondisi kita beda dengan tahun lalu. Tahun lalu belum ada vaksinasi, tahun lalu belum ada aplikasi PeduliLindungi,” lanjutnya. 

Mengenai lonjakan kasus COVID-19 di Jerman dan Eropa, Pandu berpendapat hal tersebut terkait dengan cakupan vaksinasi yang terbilang rendah dan penerapan protokol kesehatan yang kendur. 

Ia juga mengaitkan dengan karakteristik Jerman yang merupakan negara merdeka dengan nilai demokratis tinggi. Hal ini dapat berpengaruh pula pada karakteristik masyarakatnya yang tidak bisa dipaksa untuk vaksinasi.

“Di sisi lain, tidak ada persyaratan-persyaratan yang mengetatkan seperti PeduliLindungi. Orang enggak mau pakai masker, protokol kesehatannya enggak dijaga. Kebanyakan sih prokes yang orang-orangnya enggak mau ikut anjuran dan pemerintah enggak bisa memaksa.”

Jelang momen libur panjang Nataru, di Indonesia epidemiolog Dicky Budiman memprediksi bakal terjadi kenaikan kasus di triwulan pertama 2022 bila mitigasi pandemi yang mendasar tidak dijalankan dengan optimal.

"Memang bukan di Januari potensi peningkatannya," kata Dicky,

Dicky mengatakan, ancaman peningkatan kasus bisa dicegah dengan penerapan 3T, 5M, dan vaksinasi. Hanya saja Dicky menilai, permasalahannya sekarang pada pelaksanaan PPKM pelonggaran belum terukur dan terkendali. Lalu, distribusi vaksinasi COVID-19 belum merata.

"Kalau 3T ini menurun bahaya ini. Apalagi menghadapi momen Nataru," katanya.

Jelang momen besar seperti Nataru, testing harus ditingkatkan di lokasi yang benar. Boleh saja skrining di beberapa tempat umum serta pelacakan klaster-klaster.

"Lalu, lacak dengan betul peningkatan kasus di kabupaten-kota," sarannya.

Bila mitigasi dilakukan tepat, potensi gelombang COVID-19 berikutnya bisa dicegah. Dicky mengatakan, mengenai lonjakan kasus sedikit di masa pandemi itu memang hal yang tidak bisa dihindari tapi diharapkan jangan sampai ada kematian dan berkurang jumlah orang yang masuk rumah sakit. 

 

 


Rencana PPKM Level 3 Saat Nataru

Berbagai upaya untuk menghindari munculnya gelombang ketiga COVID-19 di Indonesia terus dilakukan. Salah satunya melalui keputusan penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3 secara nasional pada musim libur Natal dan tahun baru (Nataru), 24 Desember 2021 hingga 2 Januari 2021.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kebijakan PPKM level 3 ini diambil untuk menghindari lonjakan kasus selama musim libur Natal dan tahun baru (Nataru) tersebut.

"Jadi Nataru tahun ini berbeda namun kita tidak boleh kendor, tetap kita waspada," kata Airlangga dalam diskusi di JCC, Jakarta Pusat, Kamis (18/11). 

Terkait rencana tersebut, Masdalina menilai rencana penerapan PPKM Level 3 saat Nataru sebagai keputusan yang tepat.

"Kerumumanan merupakan salah satu risiko untuk terjadinya transmisi, karena itu sudah cukup tepat menurut kami apa yang dilakukan pemerintah (terkait PPKM Level 3)," ujar Masdalina. 

Menurutnya, hal tersebut menjadi salah satu upaya pemerintah untuk bisa menahan peningkatan jumlah kasus COVID-19 pada saat libur Nataru.

Berbeda dari Masdalina, Pandu menilai kebijakan penerapan PPKM Level 3 jelang Nataru tidak akan efektif karena tidak memiliki dasar penetapan PPKM.

“Menetapkan level itu harus ada dasarnya, kalau enggak ada dasarnya ngawur namanya. Itu akan membabi buta dan tidak akan dipatuhi masyarakat,” kata Pandu kepada Health Liputan6.com 

Ia juga berpendapat, jika pun PPKM level 3 ini tidak diterapkan maka tidak akan ada masalah seperti lonjakan  kasus yang sangat tinggi.

“Enggak, lonjakan ya biasa saja tidak usah takut, asal tidak terlalu tinggi saja. Setiap libur panjang kan pasti ada lonjakan, kasus boleh meningkat tapi enggak ada yang masuk rumah sakit.” 

Soal pemberlakuan PPKM level 3 jelang Nataru, Dicky lebih menyarankan pemerintah mengambil kebijakan tingkat level berdasarkan data yang sudah ada.

"Di review saja data-data daerah. Kalau dianggap memang harus level 3 ya level 3. Harus lihat data. Kan begitu," kata Dicky.

Dia berpendapat, jika ditetapkan Level 3 tapi data menunjukkan Level 1 maka harus ada justifikasi, kenapa? "Enggak bisa hanya karena kemauan pemerintah saja," tegas Dicky.

Sementara mengenai penerapan PPKM level 3 selama Nataru, Dicky mengatakan memang bakal berdampak. Namun, soal signifikansi dampak, hal itu tergantung dari konsistensi dari tiga hal mendasar yakni 3T, 5M, dan vaksinasi.

3T yang terdiri dari testing, tracing, dan treatment ini merupakan tugas pemerintah. Lalu, 5M yang terdiri dari mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas merupakan upaya yang dilakukan masyarakat yang bukan hanya dilakukan jelang Nataru tapi dilakukan setiap hari. Vaksinasi COVID-19 digencarkan terutama pada kelompok berisiko.

"Tiga hal itu yang utama, yang dari sekarang hingga ke depan, termasuk setelah Nataru, harus dijaga konsistensinya," kata Dicky.

Tiga hal tersebut harus berjalan beriringan. Pada PPKM level 3 dan 4 artinya ada pembatasan yang lebih ketat pada kegiatan di tempat umum. Maka perlu dibarengi dengan upaya menemukan virus SARS-CoV-2 serta ke mana penularan tersebut terjadi. Hal itu baru berdampak signifikan.

"Artinya, mau level 3 atau 4, enggak masalah. Esensinya ada 3T, 5M dan vaksinasi," kata peneliti dari Griffith University Australia. 

Masdalina pun memberi catatan mengenai rencana penerapan PPKM Level 3 saat Nataru. Menurutnya, ada tiga hal penting yang juga tak boleh terlewatkan jelang penerapannya sebulan mendatang. 

Pertama, konsistensi dalam penerapan PPKM Level 3 itu sendiri. Artinya, harus ada kriteria dan ketentuan yang sama untuk seluruh masyarakat nantinya. Masing-masing daerah tidak boleh memiliki syarat yang berbeda dengan kriteria yang sudah ada sebelumnya.

"Kriteria level itu jangan berbeda dengan kriteria sebelumnya, karena sebelumnya ada juga kan di Kemendagri kriteria Level 3 tuh apa saja. Nah, itu yang berbeda supaya masyarakat dan teman-teman yang ada di lapangan itu tidak bingung," kata Masdalina.

Kedua, implemetasi menjadi hal yang tentunya tak kalah penting. Menurut Masdalina, rencana ini jangan sampai hanya baik di atas kertas, namun implemetasinya tidak bisa diukur atau tidak dilaksanakan dengan baik.

Ketiga, harus ada sosialisasi dengan segera pada masyarakat. Dengan begitu, masyarakat pun dinilai dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik lagi. Masyarakat pun bisa mengatur ulang kembali rencana berlibur mereka yang mungkin sudah dipersiapkan.

 


Rencana PPKM Level 3 Nataru Tuai Berbagai Reaksi

Infografis 9 Strategi Antisipasi Potensi Gelombang III Covid-19 Saat Libur Nataru. (Liputan6.com/Niman)

Rencana penerapan PPKM Level 3 selama libur Nataru menuai berbagai reaksi. Ada pihak yang mendukung, ada pula yang gamang. 

Dukungan datang dari para pedagang Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)."(Akumindo) mendukung kebijakan pemerintah terkait PPKM level 3 untuk mencegah lonjakan kasus Covid-19," ungkap Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun.

Menurutnya pengetatan level PPKM dari level 1 ke level 3 diperlukan untuk mencegah lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia. Diperkirakan pada libur tersebut mobilitas masyarakat kembali tinggi. 

Meski begitu, Ikhsan meminta pemerintah tidak galak terhadap pelaku UMKM di masa PPKM Level 3. Antara lain dengan tetap memberikan lampu hijau terhadap aktivitas usaha bisnis UMKM yang menerapkan protokol kesehatan secara ketat.

"UMKM (harus) tetap diberi ruang untuk berdagang dengan memperhatikan prokes kesehatan," tekannya. 

Selain itu, Ikhsan meminta pemerintah dan stakeholders terkait untuk tidak memberikan sanksi yang terlalu berlebihan bagi pelaku UMKM yang kedapatan melakukan pelanggaran selama periode PPKM Level 3.

"Jadi, apabila ada yang masih jualan jangan ditindak secara overacting," tutupnya.

Sementara itu, rencana penerapan PPKM Level 3 memupus harapan dunia pariwisata untuk bangkit kala libur akhir tahun. Kebijakan tersebut dinilai akan menyurutkan peningkatan di bidang perhotelan dan restoran karena kemungkinan memicu pembatalan okupansi.

"Okupansi hotel misalnya yang berharap dari peak season Natal Tahun Baru kemungkinan besar alami cancelation atau pembatalan dan perubahan jadwal," kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, dikutip dari merdeka.com.

Bhima mengatakan, masyarajat tentu akan menunggu kebijakan dari pemerintah sebelum memutuskan berlibur. Apalagi sudah ada penghapusan cuti bersama.

"Tentu yang berpikir menunda bepergian langsung meningkat drastis," katanya.

Para pengusaha hotel dan restoran pun meminta agar rincian aturan PPKM Level 3 tersebut tidak dikeluarkan secara mendadak.

"Kebijakan yang last minutes ini bisa berdampak, makanya lebih baik pemerintah melakukannya dari awal agar masyarakat juga bisa menyesuaikan diri," kata Yusran di Jakarta, Kamis (18/11/2021), seperti dilansir merdeka.com.

Kebiasaan dari masyarakat selama ini melakukan reservasi jauh hari sebelum melakukan liburan. Dengan keluarnya aturan yang lebih awal maka bisa membuat mereka mempersiapkan diri terlebih dahulu.

Untuk itu dia meminta, jika pemerintah akan menerapkan PPKM level 3 di akhir tahun, sebaiknya diumumkan segera. Termasuk berbagai aturan dan ketentuan secara lebih rinci.

"Ini juga kan sebentar lagi mau masuk Desember dan biasanya orang mulai reservasi 2-3 minggu sebelum waktu liburan," katanya.

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya