Polemik 2 Politikus PDIP Minta Keistimewaan OTT

Kader PDIP kembali menjadi sorotan terkait usulannya yang meminta keistimewaan pada OTT. Setelah Bupati Banyumas Achmad Husein, kini giliran Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan yang memicu polemik karena pernyataannya tentang OTT.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 20 Nov 2021, 00:01 WIB
Ilustrasi OTT KPK. (Foto: Humas KPK)

Liputan6.com, Jakarta - Dua politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi sorotan karena usulannya tentang Operasi Tangkap Tangan (OTT) menjadi polemik.

Adalah Bupati Banyumas Achmad Husein yang pertama kali disorot lantaran pernyataannya yang meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberi tahu kepala daerah terlebih dulu sebelum melakukan OTT.

Belum juga reda sorotan kepada Bupati Banyumas, kini giliran Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan yang memantik polemik lantaran pernyataannya yang mengusulkan penegak hukum seperti polisi, hakim, dan jaksa tidak boleh menjadi sasaran OTT.

Hal itu disampaikan Arteria dalam diskusi daring bertajuk 'Hukuman Mati bagi Koruptor, Terimplementasikah?' pada Kamis 18, November 2021 kemarin.

"Bahkan ke depan di Komisi III, kita juga sedang menginisiasi. Saya pribadi, saya sangat meyakini yang namanya polisi, hakim, jaksa itu tidak boleh di-OTT. Bukan karena kita prokoruptor, karena mereka adalah simbol-simbol negara di bidang penegakan hukum," kata Arteria dalam diskusi. 

Arteria menuturkan, instrumen penegakan hukum bukan hanya dengan operasi tangkap tangan. Ia bilang, akan adil jika dibangun lebih dahulu konstruksi perkaranya.

"Kita ingin sampaikan banyak sekali instrumen penegakan hukum di samping OTT, bangun dong, bangunan hukum dan konstruksi perkaranya sehingga fairness-nya lebih kelihatan," ujarnya.

Politikus PDIP ini berpendapat, ketika OTT terjadi justru akan memunculkan isu kriminalisasi dan politisasi. Dia percaya, banyak aparat penegak hukum yang bisa membangun konstruksi hukum dengan baik ketimbang hanya bermodal OTT.

"Kalau kita OTT nanti isunya adalah kriminalisasi, isunya adalah politisasi, padahal kita punya sumber daya polisi, jaksa, hakim, penegak hukum yang hebat-hebat, masa iya sih modalnya hanya OTT tidak dengan melakukan bangunan konstruksi hukum yang lebih bisa dijadikan di-challange oleh semua pihak, sehingga fairness-nya lebih terlihat," kata Arteria Dahlan.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron merespons pernyataan Arteria Dahlan. Menurut dia, usulan anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP itu bertentangan dengan Pasal 11 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Ghufron menegaskan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang melibatkan aparat penegak hukum.

"KPK didirikan salah satunya untuk menegakkan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh APH yaitu penegak hukum dan penyelenggara negara. Sehingga pernyataan yang bersangkutan tentu bertentangan dengan pasal 11 UU 30 Tahun 2002 juncto UU 19 Tahun 2019 (UU KPK)," ujar Ghufron di Gedung Juang KPK, Jakarta, Jumat (19/11/2021).

Ghufron mengatakan, dalam beleid tersebut tidak membatasi KPK dalam menangani perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum mau pun penyelenggara negara.

Menurut Ghufron, penegak hukum yang melakukan korupsi bisa menjadi objek operasi tangkap tangan (OTT) tim penindakan lembaga antirasuah.

"Itu subjek yang menjadi sasaran KPK adalah untuk itu," kata Ghufron.

Pernyataan Arteria Dahlan ini juga mendapat beragam respons dari publik, tak terkecuali sejumlah mantan pegawai KPK. Mantan Kasatgas KPK Novel Baswedan, manta Kepala Bagian Perencanaan dan Produk Hukum KPK Rasamala Aritonang, hingga penyelidik KPK Aulia Postiera turut bersuara.

Awalnya Aulia memposting dalam media sosial Twitter terkait pemberitaan Arteria Dahlan tersebut. Dalam postingannya, Aulia memperisilakan setiap mereka yang membaca postingannya memberikan komentar. Novel Baswedan salah satu yang memberikan komentar.

"Sekalian saja semua pejabat tidak boleh di-OTT agar terjaga harkat dan martabatnya. Mau korupsi atau rampok uang negara bebas. Kok bisa ya anggota DPR berpikir begitu? Belajar di mana," cuit Novel Baswedan dalam akun pribadinya @nazaqistsha Jumat (19/11/2021).

Aulia sendiri berpendapat argumen yang dilayangkan oleh Arteria Dahlan memang sengaja dibangun dengan maksud dan tujuan tertentu.

"Argumentasi-argumentasi ngawur terkait OTT ini seperti sengaja dibangun seperti saat dulu mereka membangun fitnah bahwa ada taliban di KPK yang berakibat adanya revisi UU KPK dan pemecatan pegawai dengan dalih TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) abal-abal. Semua pejabat takut terkena OTT karena ketika tertangkap enggak bisa berkelit lagi," kata Aulia.

Sindiran juga datang dari Rasamala Aritonang. Rasamala seperti memberikan kuliah hukum untuk Arteria Dahlan. Rasamala menerangkan soal Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang notabene dibuat oleh para wakil rakyat.

"UU Tipikor psl 12 huruf b mngtur pgw negri & pnylenggra ngra (PN) yg mnrima suap hrs ditngkap & dipnjra sd 20th, polisi & jksa adl PN. Psl. 12 huruf c hakim yg mnrima suap jg dipidana yg sma. Itu UU yg bkin tuan2 di DPR, trus ini anggota dewan blng jng ditngkap, sklh dmn kwn ini?," cuit Rasamala Aritonang.

Alasan Kenapa OTT Begitu Ditakuti Koruptor

Mantan Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo menilai bahwa OTT hingga kini masih menjadi senjata ampuh dalam memberantas tindak pidana korupsi.

"Artinya bahwa masih menjadi senjata untuk melawan korupsi yang ampuh di negeri kita. Sebab orang sudah tidak bisa lagi mengelak bahwa dia melakukan tindak pidana korupsi," kata Yudi seperti dikutip melalui channel YouTube @YudiPurnomo, Jumat (19/11/2021).

Menurut Yudi, setidaknya ada empat alasan mengapa OTT sangat ditakuti koruptor. Pertama, karena peristiwa pidananya pasti ada unsur suap menyuap. Kedua, pelakunya jelas siapa yang menyuap dan siapa yang disuap.

Ketiga barang buktinya ada, baik itu berupa uang rupiah maupun mata uang asing atau pun benda-benda lainnya. "Misalnya cek kemudian juga buku tabungan ketika uang itu diserahkan melalui transfer," beber Yudi.

Dan alasan terakhir, biasanya pengungkapan tindak pidana korupsi yang berasal dari OTT bukan lah bentuk transaksi yang pertama kali, alhasil bukti kasusnya semakin kuat.

"Artinya sebelumnya sudah beberapa kali menerima (para pihak yang terlibatnya)," kata mentan pegawai KPK yang dipecat lewat TWK ini.

Selain itu, alasan ditakutinya OTT adalah terbongkarnya pihak-pihak lain dari hasil pengembangan yang ada. Tak sedikit, kasus korupsi yang terungkap lewat OTT bisa menyeret sejumlah pejabat tinggi negara lainnya.

"Misalnya dari OTT kepala daerah bisa jadi pejabat di tingkat nasional juga kena, dari pejabat tingkat rendah ke tingkat tinggi juga bisa kena," bebernya.


Logika Berpikir Arteria Dahlan Dipertanyakan

Anggota Pansus Hak Angket KPK, Arteria Dahlan (kanan) memberi keterangan pers di Jakarta, Senin (20/9). Pansus Hak Angket KPK membeberkan temuan terkait pengadaan alat berat yang diduga dilakukan Ketua KPK Agus Rahardjo. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Kritik juga datang dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengaku heran dengan cara berpikir Arteria Dahlan yang duduk di Komisi III DPR bidang hukum, hak asasi manusia, dan keamanan itu.

"ICW melihat ada yang bengkok dalam logika berpikir Arteria Dahlan terkait dengan OTT aparat penegak hukum. Selain bengkok, pernyataan anggota DPR RI Fraksi PDIP itu juga tidak disertai argumentasi yang kuat," ujar Kurnia dalam keterangannya, Jumat (19/11/2021).

Menurut Kurnia, Arteria tidak memahami filosofi dasar penegakan hukum equality before the law. "Yang artinya siapa saja sama di muka hukum, sekali pun mereka adalah aparat penegak hukum," kata Kurnia.

Selain itu, menurut Kurnia, pernyataan Arteria yang menyebut OTT kerap kali menimbulkan kegaduhan sulit dipahami. Sebab, menurut Kurnia, kegaduhan timbul bukan karena penegak hukum melakukan OTT.

"Melainkan faktor eksternal, misalnya tingkah laku dari tersangka atau kelompok tertentu yang berupaya mengganggu atau menghambat penegakan hukum," kata Kurnia.

Kurnia meminta Arteria lebih cermat membaca KUHAP. Sebab, tangkap tangan diatur secara rinci dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP. Tangkap tangan juga legal dilakukan oleh penegak hukum.

Menurut Kurnia, Arteria tidak memahami hal utama yang dijadikan fokus penindakan perkara korupsi adalah penegak hukum. Satu contoh konkret bisa merujuk pada sejarah pembentukan KPK Hongkong atau ICAC.

"Di sana (Hongkong) pemberantasan korupsi dimulai dari membersihkan aparat kepolisian dengan menindak oknum yang korup. Dengan begitu, maka penegakan hukum dapat terbebas dari praktik korupsi dan kepercayaan publik pun lambat laun akan kembali meningkat," kata dia.

Meski demikian, Kurnia mengaku tidak terkejut dengan pernyataan Arteria. Kurnia berpandangan Arteria memang tak pro dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.

"Namun, di luar itu, ICW tidak lagi kaget mendengar pernyataan Arteria Dahlan terkait hal tersebut. Sebab, dari dulu ia memang tidak pernah menunjukkan keberpihakan terhadap isu pemberantasan korupsi," kata Kurnia.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, menilai tidak boleh ada perlakuan khusus bagi penegak hukum yang melakukan tindak korupsi, sebab semua pihak sama di depan hukum.

Menurut dia, justru ironis apabila ada aparat hukum yang dapat keistimewaan tidak bisa ditangkap tangan saat melakukan korupsi. Ia menilai hukuman bagi penegak hukum yang korupsi seharusnya justru lebih berat.

“Jangankan penegak hukum, petinggi negara saja tidak ada yang kebal hukum. Karena itu saya tidak setuju dengan pernyataan itu, siapapun itu kalau korupsi ya ditangkap, bagaimanapun metodenya termasuk OTT (operasi tangkap tangan)," kata Sahroni dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (19/11/2021).

Sahroni menilai tidak perlu ada perlakuan khusus bagi aparat penegak hukum yang korupsi karena justru publik harus diperlihatkan bahwa aparat atau pejabat sama posisinya di mata hukum dan tidak ada keistimewaan.

Politikus Partai NasDem ini menegaskan, Komisi III DPR RI tidak pernah membahas soal keistimewaan para penegak hukum dari OTT.

"Tidak ada agenda apalagi pembahasan mengenai jaksa, polisi, hakim yang tidak bisa di-OTT. Itu hanya pandangan pribadi, tidak ada kaitannya dengan Komisi III DPR," ujar Sahroni, seperti dikutip dari Antara.


Bupati Banyumas Minta KPK Beri Tahu Sebelum OTT

Bupati Banyumas, Achmad Husein melaunching penyaluran beras PPKM di Kantor Perum Bulog Cabang Banyumas, Purwokerto. (Foto: Liputan6.com/Humas Pemkab Banyumas)

Pernyataan Bupati Banyumas Achmad Husein tentang OTT KPK menjadi sorotan setelah viral di media sosial. 

Dalam cuplikan video berdurasi 24 detik yang beredar di media sosial itu, terlihat Husein sedang menyampaikan pernyataan pada sebuah acara. Pada kesempatan itu, dia meminta KPK memberi tahu kepala daerah sebelum melakukan OTT.

"Kami para kepala daerah, kami semua takut dan tidak mau di-OTT. Maka kami mohon kepada KPK sebelum OTT, mohon kalau ditemukan kesalahan, sebelum OTT kami dipanggil dahulu. Kalau ternyata dia itu berubah, ya sudah lepas begitu. Tapi kalau kemudian tidak berubah, baru ditangkap Pak," kata Husein dalam cuplikan video. 

Husein lantas mengklarifikasi cuplikan video pernyataannya yang viral di media sosial. "Cuplikan video yang viral di media sosial itu tidak lengkap, sehingga saya perlu lakukan klarifikasi," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Minggu (14/11/2021).

Menurut dia, cuplikan video tersebut merupakan kegiatan diskusi dalam ranah tindak pencegahan yang diadakan oleh Koordinasi Supervisi Pencegahan (Korsupgah) KPK, bukan ranah penindakan.

"Yang namanya pencegahan kan ya dicegah bukan ditindak. Sebetulnya ada enam poin yang saya sampaikan, salah satunya tentang OTT. Dengan pertimbangan bahwa OTT itu menghapus dan menghilangkan kepala daerah," katanya menjelaskan yang dikutip dari Antara.

Padahal, kata dia, bisa jadi kepala daerah tersebut punya potensi dan kemampuan untuk memajukan daerahnya. Ia mengatakan belum tentu dengan di-OTT, keadaan daerah tersebut akan menjadi lebih baik.

Selain itu, lanjut dia, kepala daerah yang di-OTT bisa jadi baru pertama kali berbuat dan bisa jadi tidak tahu karena sering di masa lalu kebijakan tersebut aman-aman saja, sehingga diteruskan.

Kader PDIP ini mengatakan, jika dilihat kemajuan kabupaten yang pernah terkena OTT hampir pasti lambat karena semua ketakutan berinovasi, suasana pasti mencekam, dan ketakutan walaupun tidak ada lagi korupsi.

"Oleh karena itu, saya usul untuk ranah pencegahan apakah tidak lebih baik saat OTT pertama diingatkan saja dahulu dan disuruh mengembalikan kerugian negara. Kalau perlu lima kali lipat, sehingga bangkrut dan takut untuk berbuat lagi. Toh untuk OTT, sekarang KPK dengan alat yang canggih, (dalam) satu hari mau OTT lima bupati juga bisa. Baru kalau ternyata berbuat lagi ya di-OTT betulan, dihukum tiga kali lipat silakan atau hukum mati sekalian juga bisa," tutur Husein.

Ketua KPK Firli Bahuri mengaku sudah menyaksikan video viral Bupati Banyumas Achmad Husein yang mengaku takut dan tidak mau terjaring OTT tim penindakan KPK. Menurut Firli, rasa takut yang dialami Achmad Husein dan kepala daerah lainnya adalah hal yang wajar.

"Mari mengambil hikmah dari keberadaan rasa takut. Rasa takut memang dibutuhkan dan ada baiknya, untuk membuat seseorang mengukur perilaku baik dan buruk, dan mencegah berperilaku koruptif," ujar Firli kepada Liputan6.com, Senin (15/11/2021).

Firli berharap seluruh pejabat dan penyelenggara negara tak merasa risih dengan kinerja lembaga antirasuah dalam pemberantasan korupsi. Firli menyatakan, kinerja KPK akan selalu terukur dan sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

"Jangan risih dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi selama merasa benar dalam menggunakan uang negara, dan menjalankan amanat sebagai pemimpin yang dipilih oleh rakyat," kata dia.

Firli memastikan, KPK akan terus melaksanakan fungsi pencegahan, supervisi, kordinasi, dan monitoring, sesuai amanah UU Nomor 30 tahun 2002 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Namun jika fungsi pencegahan yang sudah dijalankan pihaknya tak diindahkan, maka pihaknya tak ragu melakukan penangkapan.

"KPK siap berkordinasi pencegahan dengan semua pihak. Tapi jika terjadi korupsi dan cukup bukti, ya ditangkap," kata Firli.

Sementara Jubir KPK bidang Pencegahan, Ipi Maryati Kuding meminta semua kepala daerah menjalankan roda pemerintahan dengan baik dan benar. KPK mempersilakan kepala daerah tak ragu melakukan hal baru demi membuat daerahnya kian maju dan lebih baik.

"Selama kepala daerah menjalankan pemerintahannya dengan memegang teguh integritas, mengedepankan prinsip-prinsip good governance, dan tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku, tidak perlu ragu berinovasi atau takut dengan OTT," ujar Plt Juru Bicara KPK Ipi Maryati Kuding dalam keterangannya, Senin (15/11/2021).

Ipi mengatakan, KPK meminta komitmen kepala daerah fokus melakukan perbaikan tata kelola pemerintah daerah. Melalui Monitoring Center for Prevention (MCP), KPK telah merangkum delapan area yang merupakan sektor rawan korupsi sebagai fokus penguatan tata kelola pemerintah daerah yang baik.

Kedelapan area tersebut adalah Perencanaan dan Penganggaran APBD, Pengadaan Barang dan Jasa, Perizinan, Penguatan APIP, Manajemen ASN, Optimalisasi Pajak Daerah, Manajemen Aset Daerah, dan Tata Kelola Keuangan Desa.

Setiap area intervensi tersebut telah diturunkan ke dalam serangkaian aksi pencegahan korupsi terintegrasi yang implementasi dan kemajuannya dievaluasi oleh KPK secara berkala.

"Keberhasilan upaya pencegahan korupsi sangat bergantung pada komitmen dan keseriusan kepala daerah beserta jajarannya untuk secara konsisten menerapkan rencana aksi yang telah disusun. Jika langkah-langkah pencegahan tersebut dilakukan, maka akan terbangun sistem yang baik yang tidak ramah terhadap korupsi," kata Ipi.

Mantan Kasatgas Penyidikan KPK, Novel Baswedan mengomentari pernyataan Bupati Banyumas Achmad Husein yang takut terjaring OTT. Menurut Novel, jika tak mau terjaring operasi senyap KPK, maka harus memperkuat integritas.

"Takut kena OTT? Ya jgn terima suap," ujar Novel dalam cuitan di media sosial Twitter @nazaqistsha dikutip Selasa (16/11/2021).

Novel mengatakan pernyataan Bupati Banyumas Achmad Husein yang meminta KPK mengingatkan terlebih dahulu sebelum menggelar OTT adalah pemikiran yang salah. Sebab, menurut Novel, OTT dilakukan tim penindakan KPK lantaran pejabat tersebut menerima suap.

"Bila diketahui terima, petugas tinggal OTT & ambil bukti2nya. Kalo dibilang: “sblm di OTT dicegah dulu”, itu salah paham. Krn hampir selalu perbuatan menerima janjinya sdh dilakukan. Kalo diberitahu dulu, itu bocorkan OTT," kata Novel.


Infografis Menanti KPK Tangkap Buron Internasional Harun Masiku

Infografis Menanti KPK Tangkap Buron Internasional Harun Masiku (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya