Liputan6.com, Jakarta - Perhelatan Borobudur Writers & Cultural Festival telah resmi dibuka pada Kamis (18/11/21). Momen satu dasawarsa BWCF ini dibuka oleh Bapak Hilmar Farid Ph.D., selaku Direktur Jenderal Kebudayaan, Kemdikbudristek dan Pidato budaya oleh Mantan Direktur Pusat Kebudayaan Prancis di Yogyakarta, Jean-Pascal Elbaz bertemakan 'Pertemanan Kosmopolitan di Jawa' yang mengisahkan pertemanan tiga sekawan Claire Holt, W. F. Stutterheim, Louis Charles Damais dalam memahami Indonesia Kuno.
BWCF tahun ini mengusung tema Estetika Nusantara dengan pijakan karya Claire Holt: Art in Indonesia, Continuities and Change.
“Tema tersebut dipilih karena ketertarikan kami untuk memaknai ulang pokok pikiran yang ada dalam buku Claire Holt: The Art in Indonesia: Continuities and Change. Buku ini membicarakan mulai dari gambar-gambar cadas di goa-goa pra sejarah Indonesia sampai munculnya seni rupa modern Indonesia,” ujar Seno Joko Suyono, Kurator seni progam BWCF kepada Liputan6.com, Kamis (18/11/21).
Baca Juga
Advertisement
Selebrasi yang digelar secara daring pada tanggal 18-21 November ini mendapat dukungan dari banyak pihak. Di antaranya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Ristek dan Teknologi: Direktorat Perfilman, Musik, Media, Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata, Jawa Tengah yang turut memproduksi 5 (lima) pertunjukan (tari, teater, musik).
Tiga penyair akan tampil seperti Afrizal Malna dengan karya berjudul: Kelinci, Claire Holt dan Culturstelsel akan menyajikan suatu "lecture perfomance" tentang Claire Holt. Penyair Bali Warih Wisatsana dengan puisinya Ambang Petang Kota Kita secara visual. Dan penyair Heru Joni Putra menampilkan suatu karya puisi "tak lazim" berjudul: Bagaikan Peri Bahasa di Zaman Serba Kontemporer.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Claire Holt, Art in Indonesia: Continuities and Changes
Art in Indonesia: Continuities and Changes karya Claire Holt merupakan buku esensial bagi historiografi yang belum tertandingi sejarawan seni di Tanah Air itu diterbitkan tahun 1967 oleh Cornell University Press.Sebuah buku yang laik mendapat penghargaan dari Sendi Budaya dan Dewan Kesenian Jakarta dengan kategori “The most important foreign contribution in the field of arts related to Indonesia”.
Demi pemahaman estetika Indoneisa, dia melacak jauh ke gambar-gambar cadas di goa-goa pra sejarah Indonesia. Di sanalah dia melihat peradaban Hindu-Budha. Claire Holt merupakan saksi langsung dari pertumbuhan seni rupa modern Indonesia. Wawancara langsung dilakukannya dengan menemui maestro seni lukis Indonesia seperti almarhum Hendra Gunawan sampai Affandi. Perjalanan dari Bali sampai Sulawesi dilakoninya demi melakukan penelitian tari.
Advertisement
Topeng Ghulur Madura Menjadi Pembuka Acara BWCF 2021
Anwari seorang teaterawan dari Madura berusaha menyelami esensi Topeng Ghulur yang sudah mulai punah. Kepenarian topeng Ghulur dikenal memiliki ciri khas yaitu badan para penarinya, posisinya selalu mendekat ke bumi. Anwari mengajak anak-anak muda desa di Madura untuk memaknai kembali topeng Ghulur.
“Hal tersebut merupakan suatu bentuk penyatuan diri terhadap tanah, bumi. Proses penyatuan diri tersebut merupakan rasa syukur terhadap Tuhan,” ungkap Anwari.
Terkenal akan konsep Ketuhanan dan Keagamaan yang begitu kental menjadikan seni pertunjukan asal Madura bertema Teologi menarik ketika berada dalam masyarakat.
Pesan di Balik Selebarasi BWCF
Seno Joko Suyono yang juga merupakan Redaktur Pelaksana Majalah Tempo ini menjelaskan tema Estetika Nusantara berkaitan dengan membaca ulang sejarah seni Indonesia dari konteks yang lebih luas. Hal itulah yang ingin disampaikan kepada audiens. Buku Claire Holt: The Art in Indonesia: Continuities and Change ini merupakan buku penting berisi pengamatan asing tentang seni di Indonesia.
BWCF Merupakan Event Rutin TahunanSejak tahun 2012
BWCF mulai rutin dilakukan setiap tahun dengan mengusung tema berbeda. Tiap tahun BECF juga menampilkan seni pertunjukan.Seno Joko Suyono selaku Kurator BWCF mengungkapkan pelaksanaan BWCF tahun ini masih online.
“Menggelar festival secara online, tak bukan berarti mengurangi berbagai mata acara.,” tutur Seno.
Para pengisi seni pertunjukan yang terkurasi tahun ini adalah Teaterawan Anwari, Komponis Sutanto Mendut menyajikan karya berjudul: The Voice of Borobudur's Disruption, Komponis Epi Martison tertarik mengeksplor bunyi-bunyian genta yang ada di Vihara Mendut, Jawa Tengah.
Koreografer Rianto menulusuri situs-situs arkeologis yang berada di Surakarta dan menyajikan pertunjukan berjudul: Antiga. Ia memanfaatkan medium sarung yang disambung-sambung sebagai bahan utama pertunjukannya. Penari Darlane Litaay,di New York sembari mempelajari arsip-arsip Claire Holt yang ada di perpustakaan menyajikan suatu karya konseptual berjudul: Strata. Karya ini menggunakan set lokasi berbagai jalan dan stasiun subway antara Manhattan-Brooklyn.
Advertisement
Pandangan Budayawan Tentang BWCF
“Mengajak anak-anak muda untuk mencintai budayanya. Tanpa dasar dan oase ini mereka akan mudah kekorea-koreaan atau seperti jaman dulu yang kebelanda-belandaan,” ujar Romo Mudji Sutrisno, Budayawan dan Penulis.
“Pesan pokoknya, estetika nusatara yang memuliakan hidup ini sudah dihayati dengan lukisan gua cadas dengan ritual religiositas harmoni horisontal semesta dan sesama juga hubungan vertikal dengan Sang Pencipta,” pungkas Romo pada peliput Liputan6.com.