Liputan6.com, Jakarta Kasus salah transfer dengan nominal yang fantastis pernah terjadi beberapa kali, tak hanya terjadi pada bank di Indonesia, namun juga di negara lain di dunia.
Ketika pihak penerima dana salah transfer sering dikejar, bahkan dipersoalkan hingga meja hijau, bagaimana dengan pihak pejabat dan/atau pegawai yang melakukan kesalahan transfer, dapatkah dipersoalkan secara pidana?
Advertisement
Pengamat Perbankan Devid Frediansyah mengatakan dalam menjalankan operasionalnya, sejatinya pejabat dan/atau pegawai bank wajib menjalankan prinsip kehati-hatian, atau prudent banking practices, yang merupakan azas bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya karena mereka harus melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya.
Prinsip ini, kata Devid disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
“Bank seharusnya menerapkan prinsip prudential banking principles, yakni prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usahanya untuk menghadapi pelbagai risiko,” kata Devid dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (20/11/2021).
“Salah satu penerapan prinsip kehati-hatian yang dilakukan oleh Bank adalah dengan dilakukannya dual control dalam pelaksanaan dan four eyes principle, yang maksudnya adalah pelaksanaan pekerjaan dilakukan tidak hanya oleh 1 unit atau 1orang saja namun terdiri dari beberapa unit sehingga pelaksanaannya tersebut dilakukan dengan proses yang berjenjang dan dapat meminimalisir kelalaian yang dilakukan oleh pegawai,” kata Devid.
“Fungsi four eyes principle sebelum transfer dilakukan. Fungsi tersebut mengatur pelaksanaan transaksi melalui proses maker, checker, approver, dan konfirmasi,” tambahnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tindakan Melawan Hukum
Sementara itu, Praktisi Hukum Perbankan dan Lembaga Pembiayaan Saepudin Juhri mengingatkan, jika terjadi kesalahan oleh bank, khususnya kesalahan fatal akibat ketidak hati-hatian, maka pegawai, sampai komisaris dapat terancam dipidana.
Salah satu contoh kesalahan, misalnya adalah ketika bank ketika lambat memperbaiki kekeliruan seperti salah transfer dana, apalagi jika sampai merugikan nasabah.
“Apalagi jika ada tindakan melawan hukum dengan mengubah perintah transfer dana dari pengirim asal dapat dinilai sebagai bentuk memalsukan Perintah Transfer Dana yang merugikan pihak penerima,” kata Saepudin.
Ia menambahkan, Pasal 49 ayat (1) huruf C UU No 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun1992 Tentang Perbankan, berbunyi:
“Mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).”
Saepudin mengatakan pelanggaran terhadap Pasal 49 ayat (1) tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah kejahatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UU No 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun1992 Tentang Perbankan (1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 48 ayat (1), Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50A “adalah kejahatan”.
“Ketika Bank melakukan transfer telah melakukan berbagai tahapan yaitu pelaksanaan transaksi melalui proses maker, checker, approver, dan konfirmasi. Maker sebagai pihak pembuat transaksi dan checker sebagai peneliti keabsahan transaksi,approversebagai pihak yang menyetujui dan konfirmasi adalah pihak yang menyampaikan kepada nasabah bahwa dana telah masuk,” kata Saepudin.
Advertisement