Liputan6.com, Pekanbaru - Dugaan pelecehan mahasiswi Universitas Riau berinisial L sepertinya setengah hati ditindaklanjuti pihak rektorat. Hingga kini, tersangka Syafri Harto yang merupakan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) belum dinonaktifkan.
Artinya tersangka dugaan perbuatan cabul yang ditetapkan oleh Polda Riau itu masih berstatus dosen aktif. Bisa saja tersangka masih mengajar di kampus di Jalan HR Soebrantas, kawasan Panam, Kota Pekanbaru itu.
Baca Juga
Advertisement
Padahal dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 menyatakan civitas akademika yang diduga terlibat asusila harus diberikan sanksi tegas.
Sanksi tegas ini tidak perlu menunggu suatu tindak pidana mempunyai kekuatan hukum tetap atau inkrah. Ini juga sebagai upaya kampus memberikan perlindungan kepada korban.
Terkait belum dinonaktifkannya Syafri Harto, Rektor Universitas Riau Prof Dr Aras Mulyadi dikonfirmasi malah meminta wartawan bertanya kepada Wakil Rektor II Prof Sujianto.
"Dapat dikomunikasikan dengan WR2 (Wakil Rektor) sebagai juru bicara Unri (Universitas Riau," jawab Syafri.
Sementara itu, Prof Sujianto yang disebut Aras sebagai juru bicara Universitas Riau tidak dapat dihubungi. Nomor telepon selulernya tidak aktif setelah beberapa kali dihubungi.
Hal serupa juga terjadi pada nomor Whatsapp Sujianto. Beberapa kali dihubungi tidak pernah tersambung.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tim Pencari Fakta
Sebagai informasi, Universitas Riau sejak kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus ini mengemuka sudah membuat tim pencari fakta. Kabarnya, hasil tim pencari fakta ini sudah dikirimkan ke Kemendikbud.
Data dirangkum, Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 menegaskan soal penonaktifkan pelaku kekerasan ataupun pelecehan seksual di lingkungan kampus. Hal itu tertuang pada Pasal 14 yang mengatur rincian sanksi administratif bagi pelaku.
Dalam pasal tersebut sanksi administratif bisa diterapkan dalam tiga tingkatan. Mulai sanksi administrasi ringan, sedang, hingga berat. Sanksi administratif ringan disebutkan berupa teguran tertulis, pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang harus dipublikasikan di internal dan di media massa.
Lalu sanksi sedang berupa pemberhentian sementara dari jabatan tanpa mendapatkan hak jabatan, atau sanksi pengurangan hak bila berstatus mahasiswa.
Adapun sanksi berat meliputi pemberhentian tetap dari jabatan sebagai civitas academika kampus, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Keputusan penjatuhan sanksi ditetapkan secara proporsional dan berkeadilan, berdasarkan rekomendasi dari satuan tugas (satgas) khusus pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Advertisement