Pemerintah Tetapkan Kebijakan Substitusi Impor 35 Persen di 2022

Agar bisa berorientasi pada ekspor, industri harus tumbuh dengan baik dan berkembang dalam lingkungan ekonomi yang sehat.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Nov 2021, 17:40 WIB
Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita mengaku optimis bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 tembus 5,5 persen. (Dok Kemenperin)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah menetapkan kebijakan substitusi impor 35 persen di 2022. Langkah ini dijalankan untuk mendorong kontribusi sektor manufaktur terhadap ekonomi nasional dan juga mendorong ekspor.

"Digulirkan oleh Kemenperin dengan dengan prioritas pada industri-industri dengan nilai impor yang besar pada 2019," ujar Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang, dalam diskusi online Berita Satu, Jakarta, Selasa (23/11/2021).

Di dunia ekonomi, industri orientasi ekspor dan substitusi impor sesungguhnya merupakan dua konsep yang berbeda. "Tetapi saya lihat keduanya memiliki korelasi positif yang kuat," kata Agus.

Agar bisa berorientasi pada ekspor, industri harus tumbuh dengan baik dan berkembang dalam lingkungan ekonomi yang sehat. Lingkungan sehat bagi industri unuk tumbuh tidak dapat tercipta di tengah gempuran impor yang tak terkendali.

Kebijakan substitusi impor merupakan salah satu instrumen pengendalian impor sehingga memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri untuk tumbuh berkembang dan meningkatkan daya saing sampai mereka mapan dan mampu bertarung di persaingan global.

Substitusi impor juga mendorong peningkatan utilitas industri domestik, peningkatan investasi, dan utamanya akselerasi program hilirisasi. "Dalam struktur impor kita, nilai impor produk-produk hilir sangat besar," kata Agus.

Kebijakan susbstitusi impor secara perlahan mengurangi ketergantungan tersebut dan membuka ruang bagi adanya hilirisasi yang menghasilkan produk-produk hilir substitusi impor. Selama beberapa tahun terakhir ini, pemerintah berupaya memperkuat tatanan sektor manufaktur nasional.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Hilirisasi Industri

Pekerja memeriksa kualitas komponen otomotif di pabrik PT Dharma Polimetal (Dharma Group), kawasan Delta Silicon, Cikarang. Perusahaan manufaktur komponen otomotif optimistis perpanjangan PPnBM dan tren penjualan kendaraan roda empat (4 wheeler/4W) yang mulai positif. (Liputan6.com/HO/Dharma)

Kementerian Perindustrian mendorong kebijakan hilirisasi industri yang memberikan dampak yang luas bagi perekonomian nasional, termasuk peningkatan nilai tambah bahan baku lokal, penambahan tenaga kerja, dan peningkatan devisa ekspor.

"Perlu kita ingat bahwa salah satu program prioritas Presiden Joko Widodo adalah transformasi ekonomi dari sumber daya alam menjadi industri bernilai tambah. Indonesia diharapkan tidak lagi menjadi negara pengekspor bahan mentah, tetapi produk jadi atau barang setengah jadi," jelas Agus.

Meningkatnya proporsi ekspor produk industri pengolahan menggambarkan bahwa telah terjadi pergeseran ekspor Indonesia, dari komoditas primer menjadi produk manufaktur yang bernilai tambah tinggi. "Ini menjadi ciri khas sebuah negara industri, yang selama ini kita cita-citakan," kata Agus.

Pencapaian tingkat competitiveness dan nilai tambah harus juga menguatkan struktur and pohon industry dari hulu ke hilir. Melihat sumber daya dan kekayaan Indonesia, fokus hilirisasi saat ini adalah pada industri berbasis bahan tambang dan mineral, berbasis migas dan batubara, dan yang berbasis agro.

Pada hilirisasi berbasis bahan tambang dan mineral dapat dilihat pada program penumbuhan dan pengembangan industri smelter. Saat ini, kapasitas smelter yang sudah beroperasi antara lain, mencapai 12,3 juta ton untuk nikel 6 juta ton untuk aluminium, 3,2 juta ton untuk tembaga, dan 19 juta ton untuk besi baja, setiap tahunnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya