Suku Baduy Zero COVID-19 dan Wasiat Leluhurnya

Suku Baduy yang tinggal di kaki pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Banten.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Nov 2021, 23:47 WIB
Suku Baduy yang tinggal di kaki pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Banten (Dok. pribadi Desmawati / Liputan6.com)

Liputan6.com, Banten - Nyaris dikabarkan, bahwa Suku Baduy zero COVID-19 di tengah-tengah gempuran pageblug COVID-19, yang melanda hampir di seluruh belahan dunia.

Tak ayal jika mendengar Suku Baduy, kita langsung terbayang orang yang mengenakan kain sederhana, dengan ikatan kain di kepala, dan berjalan tanpa alas kaki sambil menjajakan madu murni.

Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Sekitar 40 km dari RangkasBitung pusat kota di Lebak-Banten.

Desa Kanekes menjadi dasar penyebutan diri mereka, yaitu Urang Kanekes-Baduy, yang sebutan Baduy tersebut. Yang mengacu pada sebutan kaum Belanda, karena kesamaan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang gemar berpindah-pindah.

Konon sejarahnya, Suku Baduy ini adalah keturunan dari dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut mereka yakini terhubung dengan Nabi Adam A.S.

Dan juga terus berketurunan, hingga Prabu Siliwangi (kepercayaan) yang mempunyai anak Kian Santang (Muslim), keturunan. Serta murid-murid merekalah, yang berpindah ke daerah Baduy ini (dipetik dari tokoh masyarakat, guru membaca dan mengaji, ibu PKK, dan kader kesehatan di Baduy).

Hingga kini ada 3 lapisan Suku Baduy yaitu:

1. Baduy Dangka, yaitu warga Baduy yang sudah tinggal di luar tanah adat, tidak terikat lagi oleh aturan adat dan kepercayaan animism Sunda Wiwitan yang dijunjung Suku Baduy, tampak seperti orang kebanyakan yaitu melek teknologi dan mengenyam pendidikan

2. Baduy Luar, yaitu masih tinggal di dalam tanah adat, masih menjunjung kepercayaan Sunda Wiwitan.

Walaupun mereka hidup tradisional, namun mereka sudah mengenyam pendidikan dan paham teknologi. Ciri khas Suku Baduy Luar berpakaian hitam atau hasil tenunan mereka dan ikatan kepala biru, seperti batik biru benhur.

3. Baduy Dalam, yakni dikenal juga dengan Baduy Jaro. Jaro Pamarentah itu adalah kepala desa mereka, yang berhubungan dengan Camat dan pemerintahan Indonesia.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Kain Serba Putih

Desmawati, Dosen FIKES dan senator UPNVJ, saat berfoto dengan Suku Baduy di Banten (Dok. pribadi Desmawati / Liputan6.com)

Sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan tertinggi adat, yakni pu’un yang turun temurun bukan berarti dari bapak ke anak saja. Namun bisa keluarga besar, dengan jangka waktu tidak ditetapkan berdasarkan kemampuan seorang pu’un menemban jabatan.

Kedua sistem Jarod an Pu’un, diakulturasikan dengan seksama sehinggga tidak ada benturan satu sama lainnya. Mereka bermukim dipelosok tanah adat Baduy, berbahasa Sunda.

Karena historinya dulu masuk kawasan Sunda (Jawa Barat), sebelum dimekarkan menjadi Provinsi Banten. Mereka tidak mengenyam pendidikan dan tidak melek teknologi, tidak beralas kaki.

Lalu, makan hasil pertanian mereka, dan berpakaian kain serba putih, sebagai bentuk kentalnya kepercayaan Sunda Wiwitan. Karena bersahabat dengan alam sebagai cara untuk tetap dekat dengan Tuhan Yang Maha Kuasa dan warna putih, yang mempunyai makna kedekatan dengan leluhur mereka.

Eksistensi Baduy dalam dilindungi oleh Baduy Dangka dan Luar dalam menyaring terpaan informasi dari dunia luar Baduy sehingga kemurnian adat istiadat mereka terjaga.


Wasiat leluhur dan Adat Kepercayaan

Warga Suku Baduy di Banten yang menata sendiri jalan di kawasan tempat tinggalnya (Dok. pribadi Desmawati / Liputan6.com)

Menilik ritual leluhur Baduy, dalam menjaga alam semesta tampak dari mereka rutin menanam-melestarikan alam. Dan hasil bumi mereka seperti padi, palawija, buah-buahan dibagi dan diantar ke Gubernur Banten (dulu Gubernur Jawa Barat), melalui Bupati Kabupaten Lebak rutin dilangsungkan hingga kini setahun sekali yang dikenal dengan Tradisi Seba ke Kesultanan Banten.

Objek kepercayaan terpenting mereka adalah Arca Domas, paling sakral, dirahasiakan tempatnya. Hanya Pu’un dan beberapa warga Baduy terpilih saja, yang melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima.

Bulan Kalima ini hanya mereka yang mengenali, rahasia untuk umum. Ada batu lumping di Arca Domas, apabila disaat pemujaan batu tersebut penuh air dan jernih. Maka itu, pertanda hujan pada tahun tersebut banyak turun dan hasil panen bagus, begitu sebaliknya jika kering atau air keruh menandakan kegagalan panen.

Kepercayaan dan adat yang mereka anut mereka ditugaskan untuk bertapa, demi menjaga alam ini sehingga terjadi harmonisasi dunia. Tak ayal kita lihat di Suku Baduy semua terlihat asri seperti aslinya, sawah-sawah terbentang luas dengan hijaunya.

Seperti permadani terhampar, diwarnai dengan perkebunan buah-buahan yang indah, tidak ada eksploitasi air dan tanah, cukup sesuai batasannya dalam upaya menjaga keseimbangan dan kelestarian alam semesta.

Konon katanya, pernah diberi dana untuk perbaikan jalan di Baduy supaya di aspal, mereka tidak mau mengambilnya karena biarlah jalan mereka apa adanya sebagaimana alam tercipta (natural calling). Selain itu juga, takut tidak amanah dalam mempertanggungjawabkan dana yang didapat dari pemerintah.


Zero COVID-19

Makanan yang disuguhi saat tamu berkunjung ke Suku Baduy di Banten (Dok. pribadi Desmawati / Liputan6.com)

Dari sejarah dan warisan leluhur serta kebiasaan adat warga Baduy, bisa terjawab kenapa COVID-19 menjauh dari mereka, Karena beberapa hal berikut:

1.Madu murni dan kelapa yang mereka jajakan, menjadi asam amino tubuh terbaik. Gula nira banyak mengandung vitamin C (antioksidan), fosfor (meningkatkan metabolisme tubuh).

Lalu, zink (meningkatkan daya tahan tibuh/imun), dan inulin (serat terlarut yang memelihara jumlah bakteri baik pada usus). Viamin C dibutuhkan tubuh sekitar 200-400, sisanya dibayarkan ke ian mhs

2. Memakan makanan yang alami sebagai hasil tani di ladang sendiri, tanpa tanpa minyak sayur (kecuali yang mereka buat sendiri dari kelapa), tanpa micin, dan fresh tanpa lewat simpanan kulkas.

Mereka petik langsung konsumsi, atau dikukus, dibakar, dan direbus, sungguh ini pola makan yang sehat. Lalapan kompani dan asinan buah gandaria, yang fresh jarang ditemukan ditempat lain (foto koleksi penulis saat ke Baduy)

3. Berjemur di bawah terik matahari sebelum matahari tegak berdiri (pukul 12.00 WIB). Hal ini dilakukan, karena pekerjaan merkea adalah bercocok tanam.

Ditilik dari segi kesehatan Vitamin D, dibutuhkan manusia per hari adalah 400-1000 IU. Selain manfaatnya untuk kesehatan otot dan tulang, juga dapat mengurangi dampak COVID-19.


4. Gemar Jalan Kaki

Makanan yang disuguhi saat tamu berkunjung ke Suku Baduy di Banten (Dok. pribadi Desmawati / Liputan6.com)

Sebagaimana pesan Baginda Rasulullah SAW, yang menyatakan bahwa jalan kaki sangat bagus, untuk kesehatan kaki dan badan keseluruhan serta memperpanjang usia.

5. Ventilasi udara alami, karena rumah mereka tidak pakai AC, kipas angin dan lainnya.

6. Psikologis tidak ada tekanan, karena untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dari usaha sendiri, tidak tergantung kepada produk orang lain.

Dan tidak terpapar teknologi mendengar berita hoaks, tidak terpapar riba, dan lainnya. Orang Baduy jika menyimpan uang bukan ke Bank, namun dengan membeli emas. Suatu hal yang benar-benar bagus.

7. Yang paling utama adalah mereka tidak bertemu dengan orang lain, sebagai salah satu penyebab risiko terpapar COVID-19, karena mereka mengisolasikan diri. Jika ada yang akan bertamu harus melalui persayaratan ketat.

 

Penulis:

Desmawati, Sp.Mat., Ph.D

Dosen FIKES dan senator UPNVJ

Pendiri Yayasan Kencana Bangun Bangsa dan Waketum IPEMI DKI Jakarta

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya