, Berlin - Data dari Robert Koch Institute (RKI) menunjukkan bahwa 100.000 orang telah meninggal karena COVID-19 di Jerman.
Ini kisah orang-orang yang ditinggalkan akibat orang tercinta mereka terinfeksi Virus Corona COVID-19.
Adalah Kerstin yang kehilangan ayahnya setahun lalu akibat COVID-19. Pria berusia 83 tahun itu meninggal di rumah sakit.
"Saya yakin dia tahu kami ada di sana," kata Kerstin kepada DW yang dikutip Jumat (26/11/2021). "Bahkan jika aku hanya bisa membelai keningnya dengan tanganku yang mengenakan sarung tangan."
Baca Juga
Advertisement
Kerstin tinggal di Düsseldorf — berjarak 600 kilometer dari orang tuanya yang bermukim di Berlin. Terlepas dari penularan virus dan pembatasan jarak sosial yang ketat, rumah sakit meneleponnya untuk menawarkan kunjungan terakhir.
"Setidaknya saya ingin mengucapkan selamat tinggal kepada ayah saya," kata Kerstin.
Ayah Kerstin dibawa ke rumah sakit karena penyakit tuberkulosis dan baru tertular Virus Corona COVID-19 beberapa hari kemudian. Sekarang dia adalah salah satu dari 100.000 orang Jerman - menurut angka dari Institut Pengendalian Penyakit Robert Koch (RKI) - yang meninggal karena Virus Corona.
Para perawat pun merasakan duka dan derita. Mereka telah berjuang selama pandemi COVID-19 hingga kesehatan memburuk. "Kita semua takut mati," perawat Rita Kremers menjelaskan kepada DW.
Seorang rekannya meninggal di ICU, katanya, enam minggu setelah infeksi Virus Corona COVID-19. "Ini benar-benar menyentuh Anda, ketika ada orang yang Anda kenal meninggal," katanya.
Penghormatan bagi korban meninggal COVID-19
Jerman mengadakan acara peringatan resmi untuk menghormati orang yang meninggal karena COVID-19. Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier bertemu dengan keluarga korban pada April lalu. Pada saat itu, jumlah korban tewas lebih dari 70.000. Beberapa minggu kemudian, dia membuat pernyataan ketika jumlahnya naik menjadi 80.000.
"Beban pandemi ini melelahkan dan kita berjuang mencari jalan yang tepat. Makanya kita perlu jeda sejenak," katanya saat itu.
Ada cara lain untuk menandai tragedi pribadi dan nasional. Beberapa kota telah mulai menanam pohon peringatan di pemakaman.
"Simpati seluruh kota ditujukan kepada semua yang ditinggalkan dan terutama mereka yang tidak bisa bersama orang yang mereka cintai di saat-saat terakhir," Stephan Keller, Wali Kota Düsseldorf, menulis dalam sebuah pesan di satu lokasi peringatan tersebut.
Kini ada ahli yang khusus menangani kematian dan orang yang tengah menghadapi kematian karena virus corona. Bahkan ada museum yang didedikasikan khusus bagi mereka, yakni Museum Budaya Makam, di kota Kassel, Jerman tengah.
"Kita seharusnya tidak hanya memikirkan 100.000 korban meninggal, tetapi juga mereka yang meninggal karena kesepian pada gelombang pertama. Atau mereka yang meninggal karena pengobatan kanker yang harus ditunda," kata Dirk Pöschmann, Direktur Museum, kepada DW.
"Ini harus ditangani dengan sangat sensitif. Ini tentang menegakkan martabat seseorang setelah kematian," Dietmar Preissler, Direktur Koleksi Haus der Geschichte Bonn yang telah mengumpulkan barang-barang terkait pandemi untuk museum.
Bahkan pengurus makam pun menjadi tidak berdaya menangani korban COVID-19. Adalah Fabian Lenzen, yang merupakan pengurus pemakaman di Berlin, mengingat "rasa ketidakberdayaan yang besar" pada bulan-bulan awal pandemi. Dia harus bekerja dengan hati-hati dengan mereka yang meninggal karena virus, tetapi "pakaian pelindung" membuat risikonya "dapat dikendalikan," katanya.
"Bagaimana saya berurusan dengan anggota keluarga? Apa yang mungkin dan apa yang tidak? Bagaimana saya memberi tahu mereka bahwa tidak mungkin untuk mengucapkan selamat tinggal," kata Lenzen. "Kami bukan menteri. Namun, kami telah mengisi peran itu lebih banyak lagi hanya dengan melakukan pekerjaan normal."
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
#sudahdivaksintetap3m #vaksinmelindungikitasemua
Tragedi Individu yang Dirasakan Semua Orang
Mereka yang memang memiliki peran pastoral, seperti uskup evangelis Hanover, Petra Bahr, menghadapi pertanyaan-pertanyaan ini secara berkala.
Setiap kematian adalah "di satu sisi sejarah dan di sisi lain kehidupan yang dipersingkat," katanya, menggambarkan meningkatnya jumlah kematian COVID-19 sebagai "berlebihan."
"Kami hampir terbiasa hanya dengan tenang mencatatnya," kata Bahr. "Angka tidak mati. Orang mati."
Bahkan ketika kematian menyentuh semakin banyak orang — semua orang dari wanita hamil hingga ayah muda, katanya — "tampaknya semakin tidak menarik bagi kita, bahkan ketika kematian ini terhubung dengan semakin banyak konsekuensi, dan semakin banyak kesengsaraan, penderitaan, dan menghancurkan kehidupan."
Sejarawan Dietmar Preissler melihat efek jangka panjang pandemi Jerman. Sama seperti Black Death di Abad Pertengahan atau pandemi flu 1918, COVID-19 "juga akan mempengaruhi masyarakat," katanya.
Untuk semua kehilangan, kenyataan yang dingin adalah bahwa ada lebih banyak kematian yang akan datang. Saat Jerman berduka atas 100.000 kematiannya, ia juga bersiap menghadapi musim dingin yang panjang dan gelombang infeksi keempat. (ha/yf)
Advertisement