Perjalanan Panjang UU Cipta Kerja, Pembahasan Kilat dan Akhirnya Harus Diperbaiki

Jalan panjang RUU Cipta Kerja berakhir dengan ketuk palu tanda disahkannya dalam Sidang Paripurna DPR yang digelar Senin, 5 Oktober 2020.

oleh Arief Rahman H diperbarui 26 Nov 2021, 19:10 WIB
Sejumlah menteri kabinet Indonesia Maju foto bersama Pimpinan DPR usai pengesahan UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta (5/10/2020). Rapat tersebut membahas berbagai agenda, salah satunya mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Perjalanan UU Cipta Kerja cukup singkat tetapi penuh liku. Sejak awal masih dalam Rancangan Undang-Undang, beleid ini banyak diprotes oleh buruh. Hingga kini, UU Cipta Kerja juga masih menimpulkan polemik usai pemerintah diminta untuk memperbaiki oleh Makhamah Konstitusi (MK).

Perjalanan UU Cipta Kerja bermula saat pemerintah mengusulkan RUU Cipta Kerja ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah tahun 2020-2024 pada 17 Desember 2019.

Pada Februari 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mengirim enam menteri yaitu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya untuk menyerahkan draf, naskah akademik (NA) RUU Cipta Kerja beserta Surat Presiden (Surpres) ke DPR.

Seiring berjalannya waktu, draf RUU Cipta Kerja yang beredar di masyarakat selalu berubah-ubah. Mulai dari 1.200 halaman kemudian turun menjadi 800 halaman dan kemudian bertambah lagi menjadi kurang lebih 1.000 halaman. Buruh dan akademisi pun dibuat bingung dengan perubahan-perubahan tersebut.

Akhirnya, jalan panjang RUU Cipta Kerja berakhir dengan ketuk palu tanda disahkannya dalam Sidang Paripurna DPR yang digelar Senin, 5 Oktober 2020.

Dalam pengesahan di Sidang Paripurna, Wakil Ketua DPR, Aziz Syamsuddin mengatakan, dari 9 fraksi, 6 di antaranya menerima RUU Ciptaker untuk disahkan menjadi UU. Kemudian 1 fraksi menerima dengan catatan, dan 2 di antaranya menolak.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Proses Sidang Tak Mulus

Suasana Rapat Paripurna pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Fraksi Partai Demokrat dan PKS menolak pengesahan, sementara tujuh fraksi lainnya menyetujui RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Proses pengesahan RUU Cipta Kerja di Sidang Paripurna sejatinya tak sepenuhnya berjalan mulus. Di tengah pembahasan pengambilan keputusan, fraksi Partai Demokrat memutuskan walk out dari Rapat Paripurna setelah beradu argumen dengan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin.

"Kami Fraksi Partai Demokrat menyatakan walk out dan tidak bertanggung jawab," kata anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman.

Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengungkapkan alasan Fraksi Partai Demokrat (FPD) memutuskan menolak pengesahan RUU Cipta Kerja.

"Kami sampaikan lagi dalam pendapat fraksi Sidang Paripurna DPR RI. Sebagai penegasan atas penolakan kami tersebut, Fraksi Partai Demokrat walk out dari Sidang Paripurna DPR RI Senin (5/10) sore ini," ujar AHY dalam keterangannya.

Penolakan sebenarnya sudah terlihat saat rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah yang menyepakati RUU Cipta Kerja untuk disetujui menjadi UU.

Dalam rapat, hanya 7 fraksi melalui pandangan fraksi mini fraksi telah menyetujui. Ketujuhnya, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan.

Sedangkan, dua fraksi menyatakan menolak RUU Cipta Kerja ini yaitu Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat. "7 fraksi menerima dan dua menolak, tapi pintu komunikasi tetap dibuka, hingga menjelang Rapat Paripurna," kata Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas.

 


Ditandatangani Presiden dan Langsung Digugat Buruh

Presiden KSPI Said Iqbal saat berorasi di depan para buruh di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (2/11/2020). Massa buruh dari berbagai serikat pekerja tersebut menggelar demo terkait penolakan pengesahan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja dan upah minimum 2021. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Presiden Joko Widodo kemudian resmi menandatangani UU Cipta Kerja pada Senin 2 November 2020. Naskah UU tersebut terdiri dari 1.187 halaman, demikian seluruh ketentuan dalam UU Cipta Kerja mulai berlaku terhitung sejak 2 November 2020.

Dalam waktu tak berbeda jauh, sejumlah elemen buruh resmi mendaftarkan gugatan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Cipta Kerja. Gugatan ini diajukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) versi Andi Gani Nena (AGN).

"Pendaftaran gugatan JR (judicial review) UU Cipta Kerja Nomor 11/2020 sudah resmi tadi pagi didaftarkan ke MK di bagian penerimaan berkas perkara oleh KSPI dan KSPSI AGN," kata Presiden KSPI Said Iqbal kepada Liputan6.com, pada Selasa 3 November 2020.

Said menyatakan, KSPI bersama buruh Indonesia secara tegas menolak dan meminta agar UU Cipta Kerja dibatalkan atau dicabut.

Menurut dia, isi UU Cipta Kerja merugikan para buruh. "Setelah kami pelajari, isi undang-undang tersebut khususnya terkait klaster ketenagakerjaan hampir seluruhnya merugikan kaum buruh," kata dia.

 


Daftar Lengkap 49 PP UU Cipta Kerja yang Resmi Diundangkan

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) memberikan pandangan akhir pemerintah mengenai UU Omnibus Law Cipta Kerja kepada Ketua DPR Puan Maharani saat Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta (5/10/2020). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Kementerian Hukum dan HAM telah mengundangkan 49 peraturan pelaksana UU Cipta Kerja ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Dari 49 aturan turunan dari omnibus law tersebut terdiri dari 45 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres).

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, berharap pemberlakuan aturan turunan UU Cipta Kerja bisa secepatnya memulihkan perekonomian nasional.

Yasonna mengatakan, dengan diundangkannya peraturan pelaksana UU Cipt Kerja, diharapkan bisa segera berdampak pada upaya pemulihan perekonomian nasional. Ini sekaligus menjadi momentum untuk menegaskan tahun kebangkitan Indonesia.

"Sejak awal, UU Cipta Kerja dibuat untuk menjadi stimulus positif bagi peningkatan dan pertumbuhan ekonomi nasional yang akan membuka banyak lapangan kerja bagi masyarakat. UU Cipta Kerja ini juga merupakan terobosan dan cara pemerintah menangkap peluang investasi dari luar negeri lewat penyederhanaan izin dan pemangkasan birokrasi," kata Yasonna seperti dikutip dari keterangan resminya pada Rabu (17/2/2021).

 


MK Putuskan Pembentukan UU Cipta Kerja Inkonstitusional

Personel Brimob berjaga di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (25/6/2019). Jelang sidang pembacaan putusan akan digelar pada Kamis (27/6), sekitar 47.000 personel keamanan gabungan akan disiagakan di Ibu Kota DKI Jakarta. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law.

Meski demikian, MK menilai pembentukan UU tersebut tak berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45). Karena itu, MK memerintahkan agar UU Cipta Kerja diperbaiki dalam jangka waktu 2 tahun.

"Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam putusannya, Kamis (25/11/2021).

Dalam putusannya, Anwar menyatakan UU Cipta Kerja masih berlaku hingga dilakukan perbaikan dengan tenggat waktu dua tahun. Anwar meminta pemerintah maupun DPR melakukan perbaikan UU Cipta Kerja.

Apabila dalam jangka waktu dua tahun sesuai dengan ketetapan Majelis Hakim MK UU tersebut tidak diperbaiki, maka menjadi inkonstitusional atau tak berdasar secara permanen.

"Menyatakan apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali," tegas Anwar.

Selain itu, MK juga memerintahkan menangguhkan segala tindakan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas berkaitan dengan UU Ciptaker.

"Serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," kata dia.

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Suhartoyo menilai, untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak besar yang ditimbulkan MK menyatakan UU 11/2020 inkonstitusional. 


Pemerintah Diberi Waktu 2 Tahun Perbaiki UU Cipta Kerja

Massa buruh dari berbagai serikat pekerja menggelar aksi di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (9/11/2020). Dalam aksinya massa buruh menuntut dibatalkannya UU No.21 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja melalui mekanisme legislatif review dan kenaikan upah minimum 2021. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengeluarkan keputusan terkait tuntutan soal UU Cipta Kerja. Salah satunya meminta pemerintah dalam hal ini selaku pembentuk undang-undang untuk memperbaiki beleid tersebut dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan MK.

Kemudian apabila dalam tenggang waktu tersebut para pembentuk undang-undang tidak melakukan perbaikan, Undang-Undang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.

"Apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan (UU Cipta Kerja), undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali," ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan melansir laman Antara di Jakarta, Kamis (25/1/2021).

Selain itu, MK juga menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas.

Serta tidak dibenarkan pula untuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573).

MK menyatakan jika Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyara.

"Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan," jelas Anwar Usman.

Kendati demikian, dia menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan para pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dengan DPR melakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan di dalam putusan tersebut.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya