Liputan6.com, Jakarta Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi atau UMP 2022 rata-rata 1,09 persen di 2022.
Kenaikan upah tersebut dinilai akan membuat buruh semakin terjepit, sebab tahun depan juga ada kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1 persen menjadi 11 persen.
Advertisement
"Bisa dikatakan tidak ada kenaikan upah (UMP) sama sekali. Buruh makin terjepit posisinya," kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira kepada merdeka.com, Jakarta, Senin (29/11).
Bhima mengatakan, kenaikan upah minimum terlalu rendah karena tidak sebanding dengan proyeksi naiknya inflasi maupun pertumbuhan ekonomi. Dengan kondisi naiknya harga barang khususnya komoditas energi dan barang impor tidak menutup kemungkinan inflasi tembus diatas 4 persen di 2022.
"Habislah tergerus inflasi pendapatan buruh yang rentan miskin," katanya.
Pemerintah berencana menerapkan kenaikan PPN sebesar 1 persen menjadi 11 persen pada April 2022. Tarif PPN tersebut akan berlaku secara umum, artinya pekerja juga kena dampak.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Upah Kecil Belum Tentu Bisa Kerek Investasi
Bhima melanjutkan, kenaikan upah kecil akan memicu investasi lebih banyak, tidak bisa dibuktikan. Masalah investasi itu ada di besarnya ICOR yang menembus level 8 pada 2021. Semakin tinggi ICOR semakin boros investasi di Indonesia.
"Faktor nya mulai dari masalah biaya logistik mahal sampai korupsi. Lalu kenapa yang ditekan buruh?" katanya.
Pemerintah harusnya adil dan punya logika yang lurus. Di saat ekonomi masuk fase pemulihan, komponen upah penting untuk menciptakan konsumsi rumah tangga yang lebih baik.
"Lihat janji kampanye Joe Biden kan menaikan upah buruh di AS menjadi 15 USD per jam. Kenapa? Biar ekonomi cepat berputar. Jadi Menaker ini logikanya masih logika zaman dulu," tandas Bhima.
Advertisement