Perjuangkan Upah, Buruh di Jabar Kembali Bergerak Kepung Gedung Sate

Buruh se-Jawa Barat dari berbagai kabupaten/kota kembali bergerak menggelar unjuk rasa di Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (29/11/2021).

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 29 Nov 2021, 13:00 WIB
Para buruh menggelar aksi unjuk rasa menolak penetapan upah minimum dengan formula PP 36 Tahun 2021 di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Kamis (25/11/2021). (Foto: Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung - Buruh se-Jawa Barat dari berbagai kabupaten/kota kembali bergerak menggelar unjuk rasa di Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (29/11/2021). Para buruh mendesak agar Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sesuai rekomendasi bupati/wali kota se-Jabar.

Selain itu, mereka meminta agar Pemerintah Provinsi Jabar menetapkan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) pasca pembacaan putusan uji formil dan materiil oleh Mahkamah Konstitusi.

“Massa buruh mulai berkumpul di titik kumpul di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, 29 November 2021 pukul 09.00. Sekitar pukul 12 long march menuju Gedung Sate,” Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jabar Roy Jinto Ferianto, Senin (29/11/2021).

Roy menuturkan, unjuk rasa kali ini diikuti oleh berbagai serikat buruh pasca putusan Mahkamah Konstitusi, Kamis (25/11/2021) yang menyatakan bahwa, UU Cipta Kerja No 11 tahun 2020 cacat formil dan bertentangan dengan UUD 1945.

Berdasarkan amar putusan Mahkamah Konstitusi angka (7) yang pada pokoknya menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Serta tidak dibenarkan pula untuk menerbitkan peraturan pelaksana baru berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

“Oleh karena pengupahan merupakan program strategis nasional sebagaimana dinyatakan dalam PP No 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan metode formula pengupahan akan berdampak luas kepada para pekerja atau Buruh di Indonesia, maka dalam penetapan upah minimum tahun 2022 tidak didasarkan pada PP No 36 Tahun 2021,” ungkap Roy.

Lebih lanjut Roy Jinto menjelaskan bahwa, Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Barat telah melakukan rapat pleno UMK 2022 terhadap rekomendasi bupati/wali kota se-Jabar pada 26 November 2021. Di mana mayoritas rekomendasi UMK 2022 yang disampaikan oleh bupati/wali kota Se-Jabar kepada Gubernur Jabar tidak lagi berdasarkan atau mengacu pada perhitungan formula PP No 36/2021 tentang Pengupahan.

Maka, lanjut Roy, berdasarkan hal tersebut pihaknya menyatakan sikap menolak penetapan UMK 2022 berdasarkan PP No 36/2021 tentang Pengupahan.

Kedua, meminta Gubernur Jawa Barat menetapkan UMK 2022 sesuai dengan rekomendasi atau usulan bupati/wali kota Se-Jabar yang telah disampaikan kepada Gubernur Jawa Barat. Ketiga, meminta kepada Gubernur Jabar untuk kembali menetapkan UMSK.

Keempat, bahwa kaum buruh di Jabar khususnya anggota KSPSI Jabar akan mengawal penetapan UMK 2022 baik dengan cara aksi unjuk rasa maupun mogok kerja pada 29 dan 30 November 2021, yang dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Mohon Maaf

Sejumlah buruh saat melakukan aksi di depan Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (26/10/2021). Pada aksi tersebut massa buruh menuntut kenaikan UMP 2022 sebesar 10 persen, berlakukan UMSK 2021 dan mencabut UU Omnibus Law. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sementara itu, Ketua DPD FSP LEM SPSI Jawa Barat Muhamad Sidarta mengatakan, sesungguhnya buruh Jawa Barat hanya meminta penyesuaian upah berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi serta masih dalam koridor regulasi yang berlaku pasca putusan Mahkamah Konstitusi.

“Oleh karenanya, saya meminta Bapak Gubernur Jawa Barat memenuhi harapan kaum buruh untuk mempertahankan daya beli warga masyarakat agar tidak jatuh supaya pertumbuhan ekonomi pada masa pandemi ini cepat pulih,” katanya.

Sidarta juga menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya pada seluruh warga masyarakat pada 29-30 November 2021, apabila terganggu oleh massa buruh yang memperjuangkan hak dan kepentinganya yang terus dikurangi secara sistemik dapat diperjuangkan kembali dengan adil untuk kesejahteraan bagi seluruh warga masyarakat.

“Karena upah buruh dibelanjakan kembali kepada pelaku usaha lainnya, sehingga diharapkan bisa saling menguatkan untuk menghidupkan kembali perekonomian yang sempat terpuruk," ujarnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya