Upaya Pembunuhan Sukarno di Perguruan Cikini pada 30 November 1957

"Saya tidak terlupa karena korbannya dari kawan saya ada 100-an orang, baik meninggal, luka parah, atau luka kecil. Ada beberapa yang cacat seumur hidup," kata Megawati.

oleh Ika Defianti diperbarui 30 Nov 2021, 07:32 WIB
Kata mutiara dari sang Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno bikin kamu makin semangat menjalani hidup. (via: jassmerah.org)

Liputan6.com, Jakarta - Perguruan Cikini di Jalan Cikini Raya Nomor 76, Menteng, Jakarta Pusat menjadi salah satu lokasi sejarah yang tidak akan terlupakan. Sabtu, 30 November 1957 gedung Perguruan Cikini tampak ramai. Berbagai pameran digelar untuk perayaan ulang tahun ke-15 Yayasan Perguruan Cikini.

Sejumlah pejabat penting pun datang, salah satunya Presiden Sukarno atau Bung Karno. Kehadirannya karena menerima undangan dari Kepala Perguruan Cikini Sumadji Muhammad Sulaimani dan Direktur Percetakan Gunung Sari, Johan Sirie.

Selain itu, putra-putri Sukarno juga mengenyam pendidikan milik Yayasan Perguruan Cikini. Yakni Guntur Sukarnoputra, Megawati Sukarnoputri, Rachmawati Sukarnoputri, Sukmawati Sukarnoputri, dan Guruh Sukarnoputra.

Saat perayaan itu, Guntur dan Megawati kecil ikut serta dan kegiatan perayaan itu. "Saat itu saya bertugas menjaga pameran, kakak dan adik-adik saya juga. Lalu Bung Karno mengunjungi kami sebagai orangtua," jelas Megawati saat menghadiri peluncuran tiga buku seri sejarah Sukarno di Museum Nasional, Jakarta, Kamis 30 November 2017.

Bung Karno datang ke Perguruan Cikini dengan menumpang mobil kepresidenan jenis Chrysler Crown Imperial. Mobil tersebut merupakan hadiah dari Raja Arab Saudi, Saud bin Abdul Aziz. Sebagai presiden, kedatangan Bung Karno diiringi dengan pangawalan polisi militer hingga pengawal pribadi kepresidenan.

Warga, tamu undangan, hingga para murid Yayasan Perguruan Cikini menyambut kedatangan Bung Karno dengan penuh suka cita. Presiden pertama itu pun langsung berkeliling selama 25 menit di SD Perguruan Cikini.

Namun, keramain dalam acara itu berubah menjadi peristiwa tragis dan mencekam. Dalam buku Bung Karno Panglima Revolusi karya Peter Kasenda disebutkan sejumlah komplotan penyerang melempar granat ke arah Bung Karno.

Akibat ledakan granat aktif itu sebagian mobil kepresidenan rusak. Selain itu korban pun berjatuhan. Tujuh orang dinyatakan meninggal di lokasi dan puluhan orang terluka. Dua dari beberapa korban tewas yakni brigadir pengawal voorijders presiden, yakni Muhammad dan Ahmad bin Udi.

Sedangkan Bung Karno selamat dari kejadian itu. Pengawalnya pun sigap memberikan komando dan perlindungan saat peristiwa itu terjadi.

"Saya tidak terlupa karena korbannya dari kawan saya ada 100-an orang, baik meninggal, luka parah, atau luka kecil. Ada beberapa yang cacat seumur hidup," kata Megawati.

Presiden Sukarno pun dengan para pengawal dan putra-putrinya langsung meninggalkan lokasi dan menuju Istana Merdeka dengan mobil berkecepatan tinggi. Bung Karno dalam buku The Remarkable Story of Soekarno karya Aditmitra Nursalim disebutkan bahwa sebenernya dirinya telah melihat sendiri pelaku dari gerak-geriknya yang mencurigakan. Berselang beberapa hari para pelaku teror ditangkap.


Dalang Pemberontakan

Upaya pembunuhan Sukarno itu didalangi oleh anggota pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Jusuf Ismail. Dalam menjalankan aksinya, Jusuf dibantu oleh beberapa temennya. Yaitu Saadon bin Mohamad, Tasrif bin Hoesain, dan Mohamad Tasim bin Abubakar.

Keempat orang tersebut merupakan penghuni Asrama Sumbawa di Gang Ampiun nomor 21 Cikini, Jakarta Pusat. Percobaannya pembunuhan itu diduga ketidakpuasan beberapa atas kpemimpinan Sukarno.

Jusuf Ismail merupakan warga kelahiran Tente, Bima, NTB, pada 1933. Jusuf datang ke Jakarta melalui wadah Persatuan Pemuda dan Pelajar Pulau Sumbawa (P3S). Jusuf juga terlibat dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), organisasi sayap Partai Masyumi, sebagai anggota cabang Cikini.

Lalu, Tasrif Husein lahir di Tente, Bima, pada April 1934. Dia berprofesi sebagai guru pembantu instruktur pendidikan SR Talabiu, setelah lulus dari SGB di Raba, Bima. Saat merantau ke Jakarta pada 1954 dia mengajar di SR Cidurian Petang. Dia mulai menjadi kader GPII cabang Gambir pada awal 1957.

Sedangkan Saadon berstatus mahasiswa, kelahiran Langa, Pinrang, Sulawesi Selatan, tahun 1939 ini kuliah di Akademi Bahasa Arab, Jalan Menteng Nomor 58. Selanjutnya Tasim Abubakar saat itu sedang mengganggur.

Akibatnya, keempat pelaku kemudian diajukan ke Pengadilan Tentara Tinggi Jakarta yang dipimpin Letkol R Gunawan. Persidanganpun diselenggarakan mulai 28 April 1958. Saadon, Tasrif dan Jusuf Ismail divonis hukuman mati.

Namun, ketiganya baru dieksekusi pada 30 Mei 1960. Sedangkan Tasim dihukum penjara 20 tahun. Saat itu peran Tasim hanya menyimpan dan mengeluarkan granat.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya