3 Rekomendasi Optimalkan Pariwisata di Danau Toba

Pemerintah sebaiknya tidak menghadirkan sektor pariwisata di Danau Toba yang seolah-seolah berlawanan dan bertentangan dengan sektor perikanan, terutama Keramba Jaring Apung (KJA).

oleh Tira Santia diperbarui 02 Des 2021, 12:00 WIB
Kuliner Danau Toba Samosir. (Foto: pixabay)

Liputan6.com, Jakarta Ekonom  Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita, menyarankan Pemerintah sebaiknya tidak menghadirkan sektor pariwisata di Danau Toba yang seolah-seolah berlawanan dan bertentangan dengan sektor perikanan, terutama Keramba Jaring Apung (KJA).

"Karena bagaimana pun,  dari berbagai data dan hasil riset,  selama ini usaha KJA dan industri pengolahan ikan tilapia di Danau Toba telah terbukti mampu menjadi salah satu sumber kesejahteraan masyarakat setempat," kata Ronny, Kamis (2/12/2021).

Selain itu, KJA  mampu memberi kontribusi nyata pada PDRB daerah,  mampu menyediakan cukup banyak lapangan pekerjaan, dan mampu memberikan sumbangan fiskal pada pemerintah,  rasanya menjadi pendekatan yang kurang tepat dan etis untuk sebuah kebijakan baru.

"Artinya,  pemerintah sebaiknya tidak memola persepsi publik bahwa seolah-olah hanya sektor pariwisata yang layak dipertahankan di Danau Toba,  karena alasan lingkungan dan alasan prospek sektor pariwisata yang jauh lebih menjanjikan di masa depan," ucapnya.

Oleh karena itu, Ronny menyarankan 3 hal yang perlu dilakukan Pemerintah. Pertama, mengingatkan publik tentang betapa pentingnya kelestarian lingkungan dengan tetap menjaga kualitas dan kehigenisan air danau. 

Kedua, Pemerintah juga perlu menghitung manfaat ekonomi yang telah diterima oleh masyarakat dari usaha KJA di sekitar Danau Toba selama ini dan kontribusinya kepada ekonomi daerah,  baik langsung maupun tidak langsung. 

Ketiga, Pemerintah perlu melakukan diplomasi pariwisata dengan pendekatan yang lebih "win-win solution" alias perlu beradaptasi dengan situasi yang ada.

Cara Lakukan Diplomasi Pariwisata

Caranya adalah dengan terus membuka peluang, bahkan membiayai, riset dan penelitian terkait dengan teknologi pemeliharaan ikan nila (tilapia)  yang lebih ramah lingkungan untuk kemudian bisa diadopsi oleh masyarakat dan pelaku usaha KJA di Danau Toba di satu sisi,  sembari membantu dan mendorong kawasan-kawasan KJA untuk beradaptasi dengan sektor pariwisata di sisi lain. 

Dengan lain perkataan,  bukan tidak mungkin kawasan KJA juga bisa dijadikan destinasi yang menarik untuk wisata edukasi peternakan ikan tilapia atau kuliner ikan tilapia yang langsung dipanen dari lokasi peternakannya," ujarnya.

"Saya yakin,  pendekatan semacam itu jauh lebih manusiawi dan masuk akal, terutama bagi masyarakat pelaku usaha KJA di Danau Toba,  yang selama ini menggantungkan hidupnya pada bisnis ikan tilapia, mulai dari hilir sampai hulu," yakinnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Diplomasi Pariwisata

Gambar pada 3 April 2019 menunjukkan sebuah kapal wisata tiba di Pulau Samosir, pulau vulkanik di tengah Danau Toba, provinsi Sumatera Utara, 3 April 2019. Di kalangan masyarakat Batak sendiri, Danau Toba ibaratnya inang atau ibu yang akan selalu menanti dengan keindahannya. (GOH CHAI HIN / AFP)

Menurutnya, diplomasi pariwisata yang lebih humanis dan kooperatif sangat dibutuhkan,  ketimbang mengatasnamakan kelestarian lingkungan hidup di Danau Toba dan mengharamkan usaha ikan nila dan KJA yang telah terbukti mampu mendatangkan kesejahteraan, seolah-olah sektor pariwisata tidak punya celah pencemaran lingkungan hidup sedikitpun.

Padahal semua sektor usaha,  berpeluang mencemari lingkungan,  termasuk aneka ragam bisnis di sektor pariwisata,  mulai dari hancur dan porak-porandanya destinasi akibat terlalu dieksploitasi, sampai pada sampah-sampah pengunjung yang berkeliaran di mana-mana. 

Intinya,  pemerintah perlu menghadirkan sektor pariwisata di Danau Toba dengan wajah yang lebih bersahabat,  lebih manusiawi,  dan lebih komunikatif-kooperatif terhadap sektor lain yang terlebih dahulu telah eksis di Danau toba dan terbukti berhasil menyejahterakan masyarakat yang menggelutinya.

Bagi masyarakat,  ada ribuan perusahaan-perusahaan besar di seluruh Indonesia yang mencemari lingkungan atau merusak hutan,  sehingga tak etis bagi mereka jika hanya usaha mereka saja yang dicap sebagai perusak lingkungan. 

Bukan berarti melupakan asas pelestarian lingkungan,  tapi pemerintah harus memberikan solusi yang masuk akal dan bisa diterima oleh semua pihak yang terkait dengan sektor perikanan di Danau Toba.

"Apakah itu tentang teknologi baru untuk KJA yang lebih ramah lingkungan,  atau kebijakan zonasi yang lebih adil antara sektor pariwisata dan sektor perikanan,  atau kebijakan lainya yang sama-sama bisa diterima oleh semua pihak. Begitulah seharusnya pemerintah hadir di Danau Toba," pungkas Ronny.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya