68 Ribu Pekerja Industri SKT Kena PHK dalam 10 Tahun Terakhir

Jumlah pekerja SKT yang mengalami PHK selama 10 tahun terakhir mencapai lebih dari 68 ribu orang.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Des 2021, 14:03 WIB
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau di pabrik rokok di Jember (13/2/2012). (AFP / ARIMAC WILANDER)

Liputan6.com, Jakarta Pekerja industri rokok berharap pemerintah tidak menaikkan tarif cukai tembakau, khususnya untuk sigaret kretek tangan (SKT) pada 2022. Pasalknya, kenaikan tarif cukai ini dikhawatirkan akan membuat memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri rokok.

Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Sudarto mengungkap jumlah pekerja SKT yang mengalami PHK selama 10 tahun terakhir mencapai lebih dari 68 ribu orang.

Menurutnya, pertimbangan pemerintah yang tidak menaikkan cukai hasil tembakau khususnya SKT adalah upaya yang tepat untuk menyelamatkan pekerja perempuan di sektor SKT.

“Kami memohon kepada pemerintah, mohon bantu agar pekerja di sektor padat karya tetap bisa bekerja di masa pandemi, dengan cara tidak menaikkan cukai SKT pada 2022,” kata Sudarto dalam ketengan tertulis di Jakarta, Sabtu (4/12/2021).

Di Indonesia, Sigaret Kretek Tangan (SKT) merupakan salah satu sektor industri yang banyak mempekerjakan perempuan. Jika kenaikan cukai dilakukan, maka dikhawatirkan akan mengancam nasib para pekerja perempuan tersebut.

Dari Laporan terbaru dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengungkap bahwa jumlah pekerja perempuan yang bisa kembali bekerja di masa pemulihan pandemi di 2021 berkurang sebanyak 13 juta orang dibandingkan dengan tahun 2019. Sementara jumlah pekerja pria diperkirakan sama seperti 2019.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Proyeksi Pertumbuhan Pekerjaan Perempuan

Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau memproduksi rokok kretek di Malang Jawa Timur, (24/6/2010). (AFP/AMAN RAHMAN)

ILO menyatakan, secara global, hanya 43 persen perempuan produktif di tahun 2021, sementara laki-laki 68,6 persen. Fakta lainnya, dalam laporan yang dipublikasikan Oxfam International pada 2021 menyebutkan krisis COVID-19 menyebabkan perempuan di seluruh dunia kehilangan pendapatan setidaknya 800 miliar USD sepanjang 2020 atau setara dengan PDB 98 negara.

Walaupun proyeksi pertumbuhan pekerjaan perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, namun ternyata hal ini tidak cukup mengembalikan jumlah pekerja perempuan seperti sebelum pandemi pada 2019. Hal ini terjadi karena kebanyakan perempuan bekerja di sektor-sektor yang paling terpukul akibat pandemi COVID-19.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya