Saham IATA Menguat 13,64 Persen Selama Sepekan Usai Teken Akuisisi Tambang

Penguatan saham IATA pada pekan ini terjadi setelah perseroan teken perjanjian untuk akuisisi perusahaan induk dari sembilan perusahaan batu bara pada 1 Desember 2021.

oleh Agustina Melani diperbarui 04 Des 2021, 17:01 WIB
Pengunjung melintas dilayar pergerakan saham di BEI, Jakarta, Senin (30/12/2019). Pada penutupan IHSG 2019 ditutup melemah cukup signifikan 29,78 (0,47%) ke posisi 6.194.50. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Saham PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk (IATA) menguat signifikan pada periode 29 November-3 Desember 2021. Saham IATA menguat setelah dikabarkan akan disuntik aset sekitar USD 181,9 juta atau Rp 2,64 triliun (asumsi kurs Rp 14.518 per dolar AS).

Mengutip data RTI, saham IATA naik 13,64 persen ke posisi Rp 75 per saham pada 29 November-3 Desember 2021. Saham IATA berada di level tertinggi Rp 85 dan terendah Rp 64 per saham. Total volume perdagangan 1.994.192.000 saham dengan nilai transaksi Rp 151,4 miliar. Total frekuensi perdagangan 60.244 kali.

Pada pekan ini, saham IATA alami kenaikan pada 29 November 2021 dengan menguat 6,06 persen ke posisi Rp 70 per saham. Kemudian alami koreksi 1,43 persen pada perdagangan 30 November 2021 ke posisi Rp 69.

Saham IATA melonjak 13,04 persen ke posisi Rp 78 per saham pada 1 Desember 2021. Saham IATA turun 5,13 persen ke posisi Rp 74 pada perdagangan 2 Desember 2021. Saham IATA kembali naik 1,35 persen ke posisi Rp 75 pada 3 Desember 2021.

Penguatan saham IATA pada pekan ini terjadi setelah perseroan teken perjanjian untuk akuisisi perusahaan induk dari sembilan perusahaan batu bara pada 1 Desember 2021.

Mengutip keterbukaan informasi ke Bursa Efek Indonesia (BEI), ditulis Sabtu (4/12/2021), PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk (IATA) telah teken perjanjian pengikatatan jual beli (PPJB) dengan PT MNC Investama Tbk (BHIT).

PPJB ini berkaitan dengan akuisisi 99,33 persen saham PT Bhakti Coal Resources (BCR), perusahaan induk dari sembilan perusahaan batu bara dengan izin usaha pertambangan (IUP) yang berlokasi di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

 


IUP yang Dimiliki

Aktivitas pekerja saat mengolah batu bara di Pelabuham KCN Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Berdasarkan data ICE Newcastle, ekspor batu bara Indonesia menurun drastis 33,24 persen atau mencapai 5,33 juta ton dibandingkan pekan sebelumnya 7,989 ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

IUP yang dimiliki BCR antara lain PT Bhumi Sriwijaya Perdana Coal (BSPC) dan PT Putra Muba Coal (PMC), sudah dalam tahap produksi, dengan perkiraan produksi sebesar 2,5 juta metrik ton tahun ini.

Sedangkan PT Indonesia Batu Prima Energi (IBPE) dan PT Arthaco Prima Energi (APE) akan mulai memproduksi batu bara pada 2022. Lima IUP lainnya, PT Energi Inti Bara Pratama (EIBP), PT Sriwijaya Energi Persada (SEP), PT Titan Prawira Sriwijaya (TPS), PT Primaraya Energi (PE), dan PT Putra Mandiri Coal (PUMCO) akan mulai beroperasi dalam satu atau dua tahun mendatang. Total luas area pertambangan untuk sembilan IUP tersebut adalah 74.004 Ha.

Estimasi total sumber daya BSPC dan PMC yaitu sebesar 130,7 juta MT dan 76,9 juta MT dengan perkiraan total cadangan masing-masing sebesar 83,3 juta MT dan 54,8 juta MT. Kisaran GAR BSPC dan PMC adalah 2.800 – 3.600 kkal/kg.

Berdasarkan data internal BCR, tujuh IUP lainnya memiliki estimasi total sumber daya hingga lebih dari 1,4 miliar MT Valuasi gabungan 100 persen BSPC dan 53,84 persen PMC dari KJPP Kusnanto & Rekan adalah USD 181,9 juta atau Rp 2,6 triliun.

“IATA dan BHIT menyepakati harga transaksi pembelian 99,33 persen BCR sebesar USD 140 juta, 23 persen lebih rendah dari valuasi BSPC dan PMC,” tulis Head of Investor Relations PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk, Natassha Yunita dalam keterbukaan informasi BEI.


Biaya Akuisisi dari Rights Issue

Pengunjung tengah melintasi layar pergerakan saham di BEI, Jakarta, Senin (13/2). Pembukaan perdagangan bursa hari ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat menguat 0,57% atau 30,45 poin ke level 5.402,44. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ia menuturkan, harga pembelian sebesar USD 140 juta ini sudah mencakup tujuh IUP lainnya yang telah dijelaskan di atas. Hingga akhir 2021, pendapatan BCR diperkirakan mencapai USD 74,8 juta dengan EBITDA USD 33 juta.

BCR akan meningkatkan produksinya menjadi 8 juta metrik ton pada 2022 dan 12 juta metrik ton pada 2023. BCR juga memiliki infrastruktur pendukung seperti dermaga dan jalan angkut sepanjang 12 km.

BCR akan membangun dermaga dan jalan angkut baru untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Dengan jarak angkut yang pendek 12-17 km dari pit pertambangan ke dermaga dan rasio pengupasan yang rendah, biaya produksi BSPC dan PMC cukup rendah, sehingga memberikan margin yang besar pada harga jual batubara saat ini.

“Karena akuisisi tersebut merupakan transaksi material, IATA harus memenuhi semua aturan yang dipersyaratkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bursa Efek Indonesia (BEI), dan peraturan terkait lainnya, terutama untuk mengalihkan izin usaha penerbangan IATA ke anak perusahaan baru,” ujar dia.

Natassha mengatakan, IATA akan membiayai akuisisi tersebut melalui Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau rights issue. Natassha menuturkan, seluruh proses transaksi akan selesai pada semester 1 2022.

Untuk mendapatkan momentum dari kenaikan harga batu bara, eksplorasi pertambangan lebih lanjut akan dilakukan untuk menemukan lebih banyak sumber daya dan cadangan batu bara baru, terutama di PT Indonesia Batu Prima Energi (IBPE) dan PT Arthaco Prima Energi (APE) yang diyakini memiliki cadangan batu bara yang melimpah.


Kinerja Keuangan hingga Kuartal III 2021

Pengunjung mengabadikan papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta, Rabu (15/4/2020). Pergerakan IHSG berakhir turun tajam 1,71% atau 80,59 poin ke level 4.625,9 pada perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Hingga kuartal III 2021, perseroan mencatat pendapatan usaha naik 15,01 persen menjadi USD 7,23 juta dari periode sama tahun sebelumnya USD 6,28 juta. Beban langsung naik dari USD 5,56 juta hingga kuartal III 2020 menjadi USD 5,79 juta hingga kuartal III 2021.

Perseroan mencatat laba bruto naik 100,13 persen dari USD 719.750 menjadi USD 1,44 juta hingga kuartal III 2021. Perseroan mencatat rugi bersih periode berjalan meningkat 117,81 persen menjadi USD 4,67 juta hingga kuartal III 2021 dari periode sama tahun sebelumnya USD 2,14 juta.

Total liabilitas naik menjadi USD 39,12 juta hingga kuartal III 2021 dari Desember 2020 sebesar USD 38,91 juta. Total ekuitas turun dari USD 14,97 juta hingga Desember 2020 menjadi USD 11,88 juta hingga September 2021.

Total aset turun dari USD 53,89 juta hingga Desember 2020 menjadi USD 51,01 juta hingga September 2021. Perseroan kantongi kas dan bank USD 287.107 hingga kuartal III 2021 dari Desember 2020 sebesar USD 266.357.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya