Liputan6.com, Jakarta Di tengah pandemi COVID-19 yang terus menunda perayaan Natal tahun ini banyak orang menemukan bahwa menonton film menjadi salah satu cara menikmati liburan.
Meskipun tidak ada perubahan berarti dalam persentase kemunculan penyandang disabilitas dari film-film terlaris ini dalam lima tahun terakhir, namun kini tampak penyandang disabilitas pun berpeluang lebih baik dari sebelumnya untuk bisa tampil di layar.
Baca Juga
Advertisement
Dilansir dari Variety, berikut beberapa daftar film yang mengikutsertakan difabel di dalamnya yang mungkin bisa menghibur Anda di liburan natal kali ini bersama keluarga meskipun tengah terjebak pandemi COVID-19.
1. "Christmas Ever After"
Film ini dibintangi oleh pemenang penghargaan Tony, Ali Stroker dalam peran utama Izzi Simmons. Sebagai seorang penulis, Simmons merupakan pengguna kursi roda. Sementara plotnya mengingatkan pada kebanyakan perayaan natal.
Stroker sendiri memang seorang pengguna kursi roda di kehidupan nyata yang memerankan karakter yang menggunakan kursi roda. Namun film ini bukan tentang disabilitasnya, tetapi lebih pada karier dan kehidupan cintanya, dua aspek kehidupan yang sering tidak ditampilkan di layar untuk karakter penyandang disabilitas.
2. “Last Christmas” (2020)
Film bergenre komedi romantis ini didasarkan pada lagu George Michael yang terkenal yang menampilkan Emilia Clarke dan Henry Golding. Skenarionya ditulis oleh Emma Thompson, yang memiliki riwayat depresi hampir sepanjang hidupnya.
Thompson juga memproduseri film tersebut, dan memainkan karakter dalam film tersebut, Petra, yang juga mengalami depresi kronis dalam film tersebut karena trauma yang dialami selama Perang Yugoslavia. Sementara plot utama film ini berpusat pada romansa Natal yang khas, dengan dilapisi depresi, dan bagaimana Petra mencari perawatan. Yang berperan penting dalam membantu menormalkan stigma seputar kondisi kesehatan mental seperti depresi.
Simak Video Berikut Ini:
3. “Noel” (2019)
Film Natal keluarga ini dibintangi oleh Anna Kendrick dan Bill Hader sebagai putri dan putra Kris Kringle, yang meninggal lima bulan sebelum acara film tersebut. Film ini terkenal dari perspektif disabilitas karena secara otentik menampilkan aktris Shaylee Mansfield sebagai karakter tunarungu, dan perannya sangat penting.
Mansfield yang memerankan Michelle, merupakan seorang gadis tunarungu yang tinggal di penampungan tunawisma Phoenix bersama ibunya. Michelle membantu Noelle tidak hanya belajar bahwa ia dapat mempelajari bahasa apa pun, termasuk Bahasa Isyarat Amerika, tetapi juga membantu Noelle menerima perannya sehingga memungkinkan karakter utama menemukan kesuksesannya.
4. “Carol of the Bells” (2019)
RJ Mitte, seorang aktor dengan cerebral palsy, memainkan seorang pemuda yang diadopsi sebagai bayi dan memiliki masa lalu yang bermasalah. Ia mencari ibu kandungnya dan justru menemukan bahwa ia memiliki Down Syndrome.
Ibunya diperankan oleh Andrea Fay Friedman, seorang aktris yang memang memiliki Down Syndrome. Film ini disutradarai oleh Joey Travolta dan diproduksi oleh Inclusion Films, yang dimulai pada 2007 oleh Travolta untuk mengajarkan pembuatan film kepada individu dengan disabilitas perkembangan.
“'Carol of the Bells' adalah kisah yang luar biasa tentang keibuan dan cinta,” kata Gail Williamson, produser film yang juga mewakili lebih dari 400 aktor penyandang disabilitas sebagai agen pencari bakat di KMR.
“Film ini mencakup begitu banyak aspek tentang bagaimana menjadi seorang ibu dan bagaimana mereka mencintai anak-anak mereka; termasuk cinta seorang ibu penyandang disabilitas, sebuah kisah yang jarang diceritakan. Terkadang menjadi ibu berjalan dengan baik dan terkadang tidak, bahkan jika itu dimaksudkan dengan baik. Bukankan merayakan hari ibu lebih baik lagi saat natal?" tambahnya.
Penggambaran disabilitas yang baik di layar sering terjadi karena ada penulis dan anggota kru disabilitas lainnya yang terlibat. Faktanya, "Carol of the Bells" adalah film pertama di dunia dengan 70 persen kru mengalami disabilitas perkembangan.
Menariknya, pembuatan film ini bahkan bisa membantah stigma yang orang-orang kira akan memakan waktu lama dalam proses pembuatannya karena kebanyakan kru hingga aktor adalah penyandang disabilitas perkembangan. Namun siapa sangka bahwa film ini selesai hanya dalam waktu dua minggu di Bakersfield, California.
Advertisement
Kontena otentik
Menurut Lauren Appelbaum, seorang advokat RespectAbility sekaligus yang merekomendasikan film-film tersebut, inklusi disabilitas dalam perfilman adalah win-win solutionn, karena selain mendorong ekuitas juga profitabilitas.
Alasannya karena satu dari lima orang memiliki disabilitas dan penonton mendambakan konten otentik, inklusi disabilitas dapat menjadi bagian dari kesuksesan finansial dan profitabilitas. Bahkan menurut Nielsen, faktanya, pasar disabilitas bernilai lebih dari $1 triliun.
Namun sebaiknya memasukkan karakter disabilitass bukan hanya karena sebagai sampingan. Sebab saat pembaut film memilih untuk memasukkan karakter penyandang disabilitas, mereka juga membantu menghilangkan stigma yang ada saat ini minimal soal berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Itulah mengapa representasi disabilitas layak dirayakan dengan penggambaran otentik seperti yang ada di film-film ini, saran Lauren.
Infografis 8 Tips Liburan Akhir Tahun Minim Risiko Penularan Covid-19.
Advertisement