Liputan6.com, Kendari - Orang di Buton Selatan menyebutnya kapal boti. Dianggap kapal legendaris dan memiliki nilai sejarah. Pemda dan masyarakat mengabadikan bentuk kapal sebagai logo daerah bersama gambar benteng, langit, dan laut biru.
Boti, berukuran sedang, sepanjang 15 hingga 30 meter lebih. Umumnya memiliki dua layar, satu layar utama berada di tengah. Sisanya, menggantung di bagian haluan.
Bentuk kapal, lebar pada bagian lambung. Bagian buritan dan haluan, agak lebih pipih dari bagian tengah. Fungsinya, kapal akan tetap kokoh ketika gelombang besar dan lebih tahan ketika terombang-ambing di tengah laut.
Baca Juga
Advertisement
Dahulu, Boti menjadi alat transportasi dan penangkap ikan. Kapal ini, meskipun tak bisa dikatakan kapal besar, kisahnya bahkan sudah sampai ke negara tetangga, mulai dari Timor Leste hingga Singapura.
Menurut warga setempat, jauh sebelum Belanda menjajah nusantara, Boti sudah membawa pelaut-pelaut asal Buton Selatan menjelajah. Saat itu, para pelaut Buton Selatan membawa bahan-bahan berupa kopra, ikan kering, hingga jeruk asal siompu ke sejumlah wilayah di Pulau Jawa.
Cerita seorang warga asal Pulau Siompu, La Siara, orang Buton ada di mana-mana di Indonesia. Tak terlepas dari peran kapal Boti yang mengantar mereka sebagai pelaut dan pedagang ulung sejak dahulu.
"Kalau sudah tiba di Surabaya, kita biasa muat garam dari Madura lalu kita pulang kembali dan menuju Pulau Buru di Ambon, menjual garam-garam itu," ujar La Siara.
Menurutnya, untuk menuju Nusantara bagian barat, mereka mengandalkan angin Timur. Lalu, untuk pulang kembali ke Buton Selatan, mereka menunggu angin Barat. Begitu pun sebaliknya.
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Jadi Lambang Daerah
Boti kini menjadi logo Kabupaten Buton Selatan. Kapal itu dianggap sebagai kapal ikonik dan memiliki nilai sejarah terhadap kabupaten yang berdiri sejak 2014 silam.
Kadis Kebudayaan Buton Selatan, La Ode Haerudin, menjelaskan, salah satu alasan Boti diambil menjadi logo, karena peran Boti sebagai alat hidup masyarakat.
"Sejarah masyarakat Buton Selatan, merupakan warga pesisir yang dahulu dan saat ini masih menguntungkan hidup dari laut," ujar Haerudin, Senin (07/12/2021).
Menurutnya, Boti juga memiliki nilai-nilai filosofis. Mulai dari buritan, haluan, layar dan lambung kapal, dibangun memiliki nilai dan peran yang sama dengan tubuh manusia.
"Semua yang ada di dalam Boti, dipercaya nenek moyang kami, memiliki fungsi dan nilai-nilai yang tinggi, mulai dari dekke, kancudei, tangara, uli, tambera, galagunci, dapura, gade-gade. Nama-nama bentuk perahu ini sudah mulai dilupakan generasi saat ini, namun memiliki fungsi yang saling menyeimbangkan satu dengan lainnya," tambah Haerudin.
Advertisement
Terbuat dari Jenis Kayu Keras
Perahu Boti dibuat dari beberapa dua jenis kayu, kayu putih, kayu Wola atau masyarakat setempat mengenalnya sebagai kayu kuning dan saat ini dari kayu jati.
Boti zaman dahulu, tak dibuat dengan paku. Lem perekatnya, terbuat dahulu dari satu jenis kulit pohon khusus yang diambil di di kepulauan Buru, Maluku.
Amiruddin, mengatakan, kulit pohon dikupas kemudian dibakar. Lalu, dimasukkan dalam celah-celah papan perahu.
"Dibuat padat, sampai tak ada celah," ujarnya.
Namun, mulai sekitar tahun 90-an, lem perekat kapal, memakai kapur. Kapur digoreng dengan minyak, dibuat seperti lem, lalu direkatkan di antara papan.
"Saat ini sudah jarang sekali, warga pesisir batauga, sudah mulai memakai kapal fiber. Boti masih didapat di wilayah Sampolawa," ujarnya.