Pakar Hukum: Tuntutan Mati untuk Terdakwa Korupsi Asabri Tak Tepat

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga itu memberikan dua alasan mengapa tuntutan tersebut dinilainya tak tepat.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 08 Des 2021, 02:22 WIB
Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat tiba di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (17/3/2020). Heru diperiksa sebagai tersangka terkait dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dengan kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 13,7 T. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta Pakar Hukum Pidana Korupsi Nur Basuki menilai tuntutan mati terhadap Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Angkatan Bersenjata Indonesia (Asabri) tidak tepat.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga itu memberikan dua alasan mengapa tuntutan tersebut dinilainya tak tepat.

"Yang pertama alasannya karena Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tidak masuk di dalam surat dakwaan (dari JPU)," ujar Nur dalam keterangannya, Selasa (7/12/2021).

Dalam dakwaan terhadap Heru Hidayat, jaksa hanya mencantumkan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Dalam pasal tersebut tidak ada ancaman pidana hukuman mati terhadap terdakwa. Ancaman pidana hukuman mati terdapat pada Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Namun pasal ini tidak disertakan jaksa dalam dakwaan Heru Hidayat.

Menurutnya, jika penuntut umum ingin menuntut mati, maka harus menyertakan Pasal 2 ayat (2) itu dalam surat dakwaan.

"Menurut pendapat saya, Pasal 2 ayat (2) harus dicatumkan dalam surat dakwaan, baru bisa jaksa itu menuntut pidana mati. Karena di dalam Pasal 2 ayat (2), nanti JPU itu harus membuktikan bahwa korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu. Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, keadaan tertentu itu adalah keadaan di mana terjadi bencana alam, di mana terjadi krisis ekonomi atau melakukan pengulangan tindak pidana," kata dia.

Alasan kedua, kata Nur, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Asabri tidak masuk dalam kategori pengulangan tindak pidana. Pasalnya, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya hampir bersamaan dengan tindak pidana dalam kasus Asabri.

Menurut Nur, yang berbeda dari keduanya hanya waktu penuntutan di mana kasus Jiwasraya lebih dahulu diproses dari kasus Asabri.

"Apakah bisa dikatakan perbuatan terdakwa Heru Hidayat pada kasus Asabri itu merupakan pengulangan dari tindak pidana yang telah dilakukan Heru Hidayat pada kasus Jiwasraya? Jadi, kalau saya perhatikan, tempusnya hampir bersamaan, artinya waktu kejadian perkara itu terjadi bersamaan. Hanya saja proses penuntutannya berbeda. Jadi, ini bukan merupakan pengulangan tindak pidana," kata dia.

Menurut Nur, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya dan Asabri masuk dalam kategori konkursus realis atau meerdaadse samenloop. Hal ini berarti seseorang melakukan sejumlah tindak pidana sekaligus dalam waktu yang bersamaan dan masing-masing tindak pidana berdiri sendiri.

"Ini merupakan konkursus, dalam ilmu hukum namanya konkursus realis. Jadi, melakukan beberapa perbuatan pidana, yang masing-masing perbuatan itu diancam dengan pidananya sendiri-sendiri. Jadi, tidak tepat kalau jaksa memberikan pemberatan kepada Heru Hidayat dengan alasan bahwa Heru Hidayat itu telah melakukan pengulangan tindak pidana," kata dia.

Konkursus realis ini, kata Nur berbeda dengan pengulangan tindak pidana atau residive. Menurut dia, residive terjadi jika seseorang melakukan tindak pidana lagi setelah sebelumnya dinyatakan bersalah berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.

"Kalau pengulangan tindak pidana atau residive begini, dia diputus pidana, setelah diputus pidana, dia melakukan perbuatan pidana lagi. Kasusnya Heru Hidayat kan tidak, perbuatan pidananya sudah dilakukan semua, hanya diproses tidak dalam waktu yang bersamaan. Jadi, antara kasus Jiwasraya dengan Asabri kan hampir bersamaan, hanya penuntutannya didahulukan Jiwasraya, kemudian Jiwasraya selesai kemudian baru kasus Asabri," kata Nur.

 


Dituntut Hukuman Mati

Heru Hidayat dituntut hukuman mati dalam perkara korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Sosial Bersenjata Republik Indonesia (Asabri). Jaksa meyakini Heru melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Menuntut majelis menyatakan Terdakwa (Heru Hidayat) terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang," ujar jaksa dalam tuntutannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (6/12/2021) malam.

"Menghukum Terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati," jaksa menambahkan.

Jaksa juga menuntut hakim memberikan hukuman pidana berupa uanh pengganti sebesar Rp 12,6 triliun ke Heru dengan ketentuan harus dibayar dalam jangka waktu satu bulan setelah vonis berkekuatan hukum tetap atau inkracht.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya