Liputan6.com, Garut - Tingginya ancaman kerusakan ekosistem hutan akibat alih fungsi lahan di Garut, Jawa Barat, membuat Perhutani Divisi Regional Jawa Barat dan Banten berbenah. Perhutani terus mengampanyekan gerakan penanaman pohon atau tanaman keras di area lahan warga.
Kepala Perhutani Divisi Regional (Kadivre) Jawa Barat dan Banten Amas Wijaya mengatakan, musibah longsor yang memutuskan arus jalur Darajat Blok Cikupakan, Desa Karyamekar, Kecamatan Pasirwangi, Garut, 19 November lalu, diduga karena kerusakan ekosistem akibat minimnya tanaman keras di wilayah itu.
“Memang topografinya sudah seperti ini dan komoditi yang ditanam holtikultura musiman seperti sayuran,” ujar dia di sela-sela penanaman di Petak 38G, Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Simpang, Bayongbong, Selasa (12/12/2021).
Baca Juga
Advertisement
Menurutnya, kehadiran tanaman atau pohon keras di area perhutanan masyarakat dinilai penting dalam upaya menjaga ekosistem hutan, termasuk serapan air saat musim hujan tiba.
"Kita berupaya mengembalikan fungsi lingkungan ini dengan cara melakukan penanaman pohon atau tanaman relatif keras," kata dia.
Untuk itu, lembaganya mengajak masyarakat untuk mulai melakukan perbaikan pola tanam salah satunya dengan pola Multipurpose Tree Species (MPTS) atau tanaman kehutanan yang menghasilkan buah sebagai hasil hutan, di luar kayu.
"Mudah-mudahan dengan gerakan ini kesadaran masyarakat timbul lagi, bahwa fungsi hutan sebagai ekologi, ekonomi dan sosial harus berjalan," kata dia.
Pola MPTS, ujar dia, dinilai efektif dalam menjaga ekosistem alam, termasuk meningkatkan daya serap air oleh tanaman serta memiliki nilai keekonomian bagi petani.
"Jangan hanya ekonomi saja, jangan hanya ekologi atau lingkungan saja, tapi juga masyarakat juga harus bisa hidup di sela-sela hutan itu," dia mengingatkan.
Simak video pilihan berikut ini:
Ubah Pola Tanam
Untuk mendukung rencana perluasan tanam pohon atau tanaman keras di area milik tanah warga, ia terus mengampanyekan perlunya mengubah pola tanam yang dilakukan masyarakat, untuk mengembalikan ekosistem alam.
“Yang kami dorong bahwa tanah milik pun selain menanam tanaman holtikultura ada juga tanaman hutannya,” kata dia.
Dengan upaya itu, tingginya intensitas hujan yang membawa material butiran air cukup banyak, mampu diserap dengan baik oleh tanaman, hingga mengikatnya dengan baik dalam tanah.
“Air itu tidak semuanya di permukaan tapi ada yang terserap terinfiltrasi oleh pohon sehingga tersimpan,” kata dia.
Khusus tahun ini lembaganya menargetkan ratusan hektare lahan yang ditanami pohon keras di samping tanaman holtikultura milik petani. “Total sekitar 700 hektare di Garut yang akan kita lakukan penanaman,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, sebanyak 500 bibit tanaman berhasil ditaman di area seluas 64,29 hektare Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Bayongbong, KPH Garut tersebut.
“Saya harapkan berkelanjutan dari kesadaran masyarakat, mudah-mudahan masyarakat bisa mengalihkan komoditinya dari sayuran ke tanaman tahunan minimal kopi,” kata dia.
Advertisement