ICW Sindir Kejagung soal Hukuman Mati Heru Hidayat dengan Jaksa Pinangki

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung yang menuntut pidana hukuman mati terhadap Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 08 Des 2021, 13:04 WIB
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana. (Merdeka.com/Ahda Bayhaqi)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung yang menuntut pidana hukuman mati terhadap Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat.

Menurut Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, hukuman mati bukan pemidanaan ideal bagi pelaku korupsi. Heru diketahui dituntut hukuman mati dalam dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri).

"ICW beranggapan hukuman mati bukan merupakan jenis pemidanaan yang ideal bagi pelaku korupsi," ujar Kurnia dalam keterangannya, Rabu (8/12/2021).

Menurut Kurnia, hingga saat ini belum ada kajian ilmiah yang membuktikan hukuman mati dapat menurunkan angka korupsi di suatu negara. Menurut dia, justru negara-negara yang menempati posisi puncak dalam Indeks Persepsi Korupsi atau dianggap paling bersih dari praktik korupsi, tidak memberlakukan hukuman mati.

Menurut Kurnia, hukuman ideal bagi pelaku korupsi yakni pidana badan dan pemiskinan.

"Bagi ICW, hukuman ideal bagi pelaku korupsi adalah kombinasi antara pemenjaraan badan dengan perampasan aset hasil kejahatan atau sederhananya dapat diartikan pemiskinan. Sayangnya, dua jenis hukuman itu masih gagal diterapkan maksimal. Dalam catatan ICW, rata-rata hukuman koruptor hanya 3 tahun 1 bulan penjara. Begitu pula pemulihan kerugian keuangan negara yang sangat rendah," kata dia.

Tidak hanya itu, kata Kurnia, perbaikan mendasar sebagai penunjang kerja penegak hukum agar bisa menghukum maksimal pelaku korupsi juga enggan ditindaklanjuti oleh pemerintah dan DPR. Dia mencontohkan RUU Perampasan Aset dan revisi UU Tipikor yang tidak diproses secara serius oleh pembuat undang-undang.

"Dua regulasi itu selalu menjadi tunggakan, bahkan perkembangan terbaru juga tidak dimasukkan dalam daftar prolegnas prioritas 2022," kata dia.


Dibandingkan dengan Jaksa Pinangki

Di sisi lain, Kurnia menemukan keanehan dalam tuntutan-tuntutan yang dilakukan jaksa penuntut umum Kejagung. Dia mencontohkan, dalam perkara Jiwasraya dan Asabri, Kejagung menuntut terdakwa dengan hukuman pidana tinggi. Sementara dalam kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari, Kejagung malah menuntut dengan hukuman sangat rendah.

"Di luar itu, ICW cukup kaget dengan sikap Jaksa Agung, kenapa perkara-perkara seperti Jiwasraya dan Asabri tuntutannya sangat tinggi, sedangkan terhadap Pinangki yang notabene berprofesi sebagai penegak hukum, melakukan banyak kejahatan, dan bekerjasama dengan buronan, malah sangat rendah," Kurnia menandaskan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya