Obesitas, Pintu Masuk untuk Diabetes Berkawan dengan Hipertensi

Salah satu cara mencegah diabetes adalah dengan tidak obesitas.

oleh Aditya Eka Prawira diperbarui 09 Des 2021, 16:00 WIB
Ilustrasi Diabetes Credit: pexels.com/PhotoMix

Liputan6.com, Jakarta - Seseorang tidak dapat divonis mengidap diabetes hanya dengan melihat gejala atau tanda yang sedang terjadi saja. Lagipula untuk menjadi diabetes melitus perlu melewati 'perjalanan panjang', yang sebaiknya dihindari.

Perjalanan panjang tersebut dimulai dari normal menjadi pre-diabetes yang kemudian menjadi DM apabila tidak ada perubahan perilaku yang dilakukan.

Dijelaskan dokter spesialis penyakit dalam dari Good Doctor, Rulli Rosandi, dalam sebuah webinar bersama LSPR Communication and Business Institute belum lama ini bahwa seseorang dikatakan diabetes apabia gula darah puasa (GDP) lebih dari 126 mg/dl, gula darah post pembebanan glukosa (GDPP) 200 mg/dl, dan HbA1C lebih besar dari 6,5 persen.

Akan tetapi semua kondisi tersebut dapat dicegah agar tidak menjadi diabetes melitus. Menurut Rulli, pencegahannya ada tahapannya.

"Untuk pre-diabetes dilakukan pencegahan primer. Orang yang gula darahnya meningkat, tidak normal lagi, tetapi belum diabetes ada kemungkinan bisa kembali normal," kata dia.

"Namun, kalau sudah diabetes melitus tipe 2, maka panahnya ke arah kanan, sangat sulit untuk berbalik ke belakang," Rulli menambahkan.

Itu mengapa disarankan untuk melakukan pola hidup sehat dengan mulai berolahraga, mengurangi berat badan jika kegemukan, dan perbanyak makan sayuran dan buah-buahan.

 


Hubungan Kegemukan dan Diabetes

Dalam kesempatan tersebut Rulli menjelaskan bahwa hubungan kegemukan dan diabetes sudah dibicarakan sejak 100 tahun lalu dalam The Journal of the American Medical Association pada 8 Januari 1921.

Artikel itu menyatakan bahwa kegemukan merupakan predisposisi untuk diabetes. Sehingga penting untuk memertahankan berat badan agar tidak meningkat.

"Peningkatan berat badan merupakan pintu masuk untuk diabetes. Kalau sudah diabetes, ada kawannya, yaitu hipertensi, kolesterol, dan diabetes. Keempat unsur itu merupakan sindroma metabolik dengan obesitas yang menjadi bosnya. Kalau ada orang diabetes, pasti ada kolesterolnya, kalau ada kolesterolnya pasti tekanan darahnya tinggi," katanya.

"Semuanya berawal dari obesitas atau peningkatan berat badan," Rulli menekankan.

Studi-studi besar telah menunjukkan bahwa pencegahan diabetes dengan memodifikasi gaya hidup, yakni menjaga asupan makanan dan berolahraga 150 menit per minggu atau 30 menit per hari sudah terbukti efektif.

Menurut dia, obat-obatan yang diberikan untuk pre-diabetes pun kalah dibandingkan dengan gaya hidup yang termonitor, terutama aktivitas fisik.

"Aktivitas fisik yang teratur akan memperbaiki resistensi insulin. Resistensi insulin membaik, obesitas menurun. Obesitas menurun, hipertensi menurun, kolesterol menurun, risiko thrombosis menurun, dan peradangan sistemik menurun. Artinya, dengan beraktivitas fisik secara reguler ada banyak manfaat positif yang kita peroleh," ujarnya.

 


Bagaimana dengan Keturunan

Lebih lanjut dijelaskan Rulli bahwa keturunan merupakan salah satu faktor risiko pada diabetes, tetapi tidak bersifat satu gen. Berbeda dengan hemofilia yang diturunkan dari kromosom X ke X.

Pola keturunan pada diabetes bersifat poligenik. Jadi, banyak gen yang terlibat, tetapi kita belum bisa mengidentifikasi yang mana yang paling dominan.

"Sekalipun ada faktor keturunan, kita yang menentukan apakah faktor keturunan itu jadi bermanifestasi. Artinya, secara gen memang diturunkan, tetapi apabila kita menjaga pola makan yang baik dan berolahraga secara teratur, genetik itu tidak akan terbuka, tetap terkunci, tidak bermanifestasi menjadi diabetes. Itulah yang disebut dengan epigenetik," kata Rulli.

Pola makan yang baik berarti proporsi yang seimbang antara karbohidrat, lemak, dan protein sehingga berat badan tetap terkontrol.

Dia lalu menyinggung perihal mi instan yang menjadi salah satu makanan favorit orang Indonesia. Data World Instant Noodles Association (WINA) pada 11 Mei 2021 menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan kedua dalam daftar negara pengonsumsi mi instan terbanyak di dunia. Jumlahnya mencapai 12.640 juta porsi pada tahun 2020.

Mi instan mengandung karbohidrat tinggi dan bisa menyebabkan kenaikan gula darah secara cepat. Mi instan juga tinggi sodium. Sodium dapat menaikkan tekanan darah. Apabila diabetesi ingin makan mi instan, Rulli menyarankan pilih mi yang berbahan dasar biji-bijian utuh karena secara umum tepung yang menjadi bahan dasar mi instan memiliki indeks pati yang tinggi.

Selain itu, jangan memasak mi terlalu lama karena akan mempengaruhi indeks glikemiknya dan makan 1/3 mangkok saja.


Infografis 4 Tips Penderita Diabetes Hindari Penularan Covid-19

Infografis 4 Tips Penderita Diabetes Hindari Penularan Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya