Kemenag Didesak Buat Aturan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Agama

Regulasi PMA (Peraturan Menteri Agama) sangat urgent dibuat, mengingat angka kekerasan seksual di satuan pendidikan agama cukup tinggi.

oleh Yopi Makdori diperbarui 10 Des 2021, 18:16 WIB
Ilustrasi pelecehan / kekerasan seksual. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mendesak Kementerian Agama (Kemenag) untuk mengikuti langkah Kemendikbudristek untuk membuat aturan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan agama.

Hal itu menyusul maraknya kekerasan seksual yang menimpa pelajar di satuan pendidikan keagamaan di bawah naungan Kemenag seperti madrasah, pesantren, seminari, pasraman, dan dhammasekha, serta lembaga pendidikan berbasis agama lainnya.

"Regulasi PMA (Peraturan Menteri Agama) sangat urgent dibuat, mengingat angka kekerasan seksual di satuan pendidikan agama cukup tinggi. P2G menilai Gus Menteri akan cepat tanggap dengan aspirasi ini," ujar Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim dalam keterangan tulis, Jumat (10/11/2021).

Menurut Satriwan, melalui PMA negara bertanggung jawab mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual di satuan pendidikan agama. Madrasah, pesantren, seminari dan guru pengasuh dibekali pemahaman serta keterampilan bagaimana cara mencegah dan menanggulangi jika kekerasan terjadi.

Apalagi ada kepercayaan keagamaan tertentu di satuan pendidikan berbasis agama, yang dapat disalahgunakan oleh oknum guru menjadi pintu masuk tindakan kekerasan seksual yang korbannya peserta didik. 

"Kita tengah mengalami darurat kekerasan seksual di satuan pendidikan, lahirnya PMA menjadi bukti negara tidak melakukan pembiaran," cetus Satriwan. 

Untuk itu dia meminta peserta didik dan orang ua jangan takut melaporkan indikasi kekerasan seksual di tempatnya belajar. Peserta didik dapat melaporkan kalau ada ritual-ritual tertentu yang mengarah pada kekerasan seksual dari guru atau teman.

Pihak kepolisian hendaknya juga bersikap responsif jika ada laporan indikasi kekerasan seksual dari masyarakat. Jangan menunggu viral di media sosial, baru kemudian diperhatikan.

"Kami mendesak Kemenag, Kementerian PPPA, dan KPAI membuka hot line pengaduan masyarakat perihal tindak kekerasan di satuan pendidikan berbasis agama, sehingga lebih cepat ditindaklanjuti," pinta Satriwan. 


Kemenag Beri Pemahaman yang Baik soal Hak Anak

P2G juga berharap Kemenag dan Kemdikbudristek memberikan pemahaman yang baik tentang konsep dan regulasi mengenai: Hak-hak Anak; UU Perlindungan Anak; Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan; dan Pendidikan Hukum dan HAM bagi para guru atau pengasuh satuan pendidikan.

"Para guru dan tenaga kependidikan hendaknya punya pemahaman, sikap sesuai aturan serta prinsip-prinsip penghargaan terhadap hak asasi anak. Sehingga ekosistem satuan pendidikan berbasis agama benar-benar melindungi dan aman bagi tumbuh kembang anak, bukan sebaliknya," tuturnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri mengatakan, pihaknya mencatat paling tidak ada kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan agama terjadi di 27 kota/kabupaten.

Yaitu Jombang, Bangkalan, Mojokerto, Trenggalek, Ponorogo, Lamongan, dan Sidoarjo (Jatim); Kubu Raya (Kalbar); Lebak dan Tangerang (Banten), Bantul (Yogyakarta), Padang Panjang dan Solok (Sumbar); Aceh Tamiang (Aceh); Ogan Komering Ilir dan Musi Rawas (Sumsel); Bintan (Kepri); Tenggamus, Way Kanan, Tulang Bawang dan Pringsewu (Lampung); Pinrang (Sulsel); Balikpapan (Kaltim); Kotawaringin Barat; Jembrana (Bali); Cianjur dan Garut (Jabar). 

Data 27 kabupaten/kota belum termasuk kekerasan seksual yang terjadi di luar satuan pendidikan agama formal, seperti kasus pencabulan terhadap belasan anak laki-laki oleh guru mengaji di Padang dan Ternate.

Iman menambahkan, rata-rata korban kekerasan seksual di satuan pendidikan agama adalah anak di bawah umur, usia di bawah 18 tahun bahkan ada yang usia 7 tahun, seperti kasus di Pondok Pesantren Jembrana.

Umumnya kekerasan seksual dilakukan berkali-kali dalam kurun waktu lebih dari 1 tahun. Bahkan untuk kasus di Trenggalek, korbannya sangat banyak sampai 34 santriwati.

"Korban kekerasan seksual tidak selalu santri perempuan, juga santri laki-laki seperti kasus Bantul, Sidoarjo, Jembrana, Solok, dan korban pedofilia terbesar hampir 30 santri di pesantren Ogan Komering Ilir," pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya