Cerita Kapopanga, Ritual Kuno Nelayan Muna di Pasikolaga

Kapopanga, merupakan ritual nelayan Muna di Pasikolaga sebelum menangkap ikan pada musim barat dan timur.

oleh Ahmad Akbar Fua diperbarui 12 Des 2021, 08:00 WIB
Kapopanga, merupakan ritual nelayan Muna di Pasikolaga sebelum menangkap ikan pada musim barat dan timur.(Liputan6.com/dok PAAP Muna)

Liputan6.com, Kendari - Rizal (20), mengarahkan tangannya ke tonggak berbentuk miniatur menara di sisi kanan masjid tua pesisir pantai Desa Kolese Kecamatan Pasikolaga, Kabupaten Muna. Seorang tokoh pemuda kampung, meminta anak nelayan itu membawa kami ke lokasi warga desa berkomunikasi dengan mahluk halus penjaga pesisir Pantai Pasikolaga.

Dia menunjuk tiang-tiang kecil berbahan buluh sepanjang 2,5 meter. Beberapa hari lalu, katanya, warga menggelar ritual Kapopanga.

Kata dia, jika kami datang lebih cepat beberapa hari, akan menyaksikan puluhan nelayan di depan masjid tua. Mereka menggelar Kapopanga, ritual turun temurun warga setempat, meminta izin pada mahluk tak kasat mata sebelum turun melaut.

Ritual Kapopanga, masih awam bagi kebanyakan warga di Muna. Namun, sudah hidup sejak ratusan tahun lalu di lingkungan kelompok nelayan yang mendiami sepanjang perairan seluas 33.569 hektar di pesisir Selat Buton itu.

Warga meyakini, ritual kuno ini, mampu menolak bala. Keyakinan warga makin mengakar, ketika kepercayaan soal mahluk halus memiliki kehidupan sama seperti manusia, punya rumah di laut dan daratan.

Rasa penasaran tentang Kapopanga, terpuaskan saat kami bertemu seorang tokoh pemuda Pasikolaga, La Ode Sidiq Idzan (46). Petani rumput laut itu bercerita, ritual dilakukan saat pergantian musim angin barat dan timur.

Sidiq menuturkan, Kapopanga menjadi 'pegangan' nelayan di Muna agar tak lupa diri saat menangkap ikan di lautan. Jika melanggar, hal-hal tak masuk akal kerap terjadi mengancam nyawa.

Kapopanga ditandai ketika seorang tetua kampung, memimpin puluhan hingga ratusan warga di pesisir pantai. Mereka berkumpul, khusyuk menunggu sang tetua duduk berkomat-kamit merapal mantera.

Mereka meyakini, tetua adat sedang mengadu kepada 'empunya' samudera. Memintakan izin agar warganya, supaya tak mengalami hal-hal aneh saat melaut.

Ada beberapa jenis sesajen seperti tembakau lokal dari pohon enau, daun sirih, telur, ketupat dan daun lapi, sebutan masyarakat lokal untuk sejenis daun lebar yang hanya terdapat di pinggir hutan Pasikolaga.

"Konon, dedaunan itu kesukaan mahluk halus. Setiap Kapopanga harus ada itu," cerita Sidiq.

Upacara berlangsung sekitar setengah jam lebih. Sepanjang ritual, tokoh adat membaca mantera. Beberapa kali nampak seperti sedang berbicara, lalu diam menyimak entah kepada siapa. Saat upacara selesai, warga kembali ke rumah. Mereka, bersiap melaut seperti biasa.

Sidik menambahkan, tanda jika Kapopanga berhasil, nelayan Pasikolaga Muna akan baik-baik saja selama melaut. Hasilnya juga, tak tanggung-tanggung, cukup membiayai makan keluarga dan kebutuhan dapur.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

saksikan juga video pilihan berikut ini:


Konflik Dengan Nelayan Luar

Nelayan Pasikolaga Muna memperlhatkan tangkapan kerang di pesisir.(Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)

Ritual Kapopanga, tidak menyelesaikan masalah ketika nelayan dari luar kampung, masuk dalam areal tangkap nelayan Pasikolaga. Oleh warga setempat, mereka tak menghargai adat, menangkap ikan asal-asalan dan dianggap serakah.

Nelayan yang berasal kabupaten tetangga, mengabaikan imbauan warga agar tak menangkap ikan di wilayah Pasikolaga dengan cara-cara kotor."Mereka bawa bom dan bius ikan, kami tak pernah pakai itu," cerita Sidiq.

Bom racikan berbahan pupuk matahari, sudah meluluhlantakkan wilayah pesisir Pasikolaga sejak era 90-an. Sidiq mengeluh, di sekitar perairan Pasikolaga Kabupaten Muna, para pembom malah mendapat hasil yang lebih banyak.

Yang paling bikin membuat kesal, setelah beraksi, mereka pulang tanpa beban ke kampung halaman. Sedangkan warga sekitar tak mendapatkan apa-apa.

Menurut Sidiq, bom ikan menjadi salah satu momok bagi nelayan Pasikolaga yang mencari nafkah di sepanjang 82 kilometer garis pantai di wilayah itu. Hampir setiap hari, nelayan mendengar dan menyaksikan pembom datang mengobrak-abrik wilayah mereka.

"Kita kadang melapor ke polisi, tapi mereka lebih cepat kabur. Hampir begitu terus setiap kali terjadi," ujarnya.

Pernah, sidiq berusaha menghalau kawanan pembom ikan. Namun, ternyata mereka lebih nekat jika merasa terancam.

"Kadang, kalau kami tegur, mereka sudah siap dengan bom di tangan, mau lempar ke arah kita," ungkapnya.

Dampak bom dan kapal dengan pukat besar, menurut Sidiq sangat luar biasa merusak. Kadang, ikut merusak tanaman rumput laut nelayan. Selain itu, sejak bom mulai marak, tangkapan ikan mulai berkurang sejak bom.

"Setelah bom ikan, hama juga mengganggu rumput laut kami," ujar Sidiq.

Dia menduga, berkurangnya ikan-ikan yang memakan ganggang, menjadi penyebab hama rumput laut tumbuh subur. Menurutnya hal ini cukup beralasan, sebab kadang mereka menemukan anak-anak ikan mencari makan diantara tanaman rumput laut.

Bom ikan, diduga penyebab berkurangnya anak-anak ikan yang memakan lumut rumput laut. Tumbuhan mikro organisme ini, jika tak cepat dibersihkan ikan-ikan kecil melalui proses alamiah, akan menjadi hama bagi rumput laut.

Kondisi maraknya bom ikan, dibenarkan Kasubdit Gakkum Dit Polairud Polda Sulawesi Tenggara AKBP Ruly Indra Wijayanto, Selasa (14/9/2021) membenarkan soal informasi ini. Ada jumlah signifikan penggunaan bom ikan di wilayah sekitar Tiworo Kepulauan, termasuk Pasikolaga.

"Itu salah satu daerah yang beberapa kali ada laporan. Nelayan yang menggunakan bom, kadang nekat-nekat makanya kami tegas soal pelaku bom ikan," ujar Ruly Wijayanto.

Namun, masih ada masalah lainnya yang kadang nyaris memulai konflik. Kapal nelayan luar yang menangkap ikan di wilayah mereka, kerap menggunakan pukat besar lalu mengeruk rata semua ikan kecil dan ikan besar.

Lalu, ada pula nelayan luar yang membawa bius ikan yang berbahaya bagi perairan. Saat menebar bius di lokasi tertentu, ikan-ikan besar pingsan, sedangkan yang kecil mati.

"Kalau sudah begini, kami kadang kecewa. Kami capek jaga lautan di sekitar kami, mereka dari luar yang ambil hasilnya," keluh Sidiq.


Solusi Bagi Nelayan

Nelayan Muna di Pasikolaga.(Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)

Sekelompok petugas penyuluh dari Dinas Perikanan masuk ke wilayah itu pada 2019 lalu. Setelah pihak DKP Kabupaten Muna bersama lembaga RARE menjamah wilayah ini, ada beberapa solusi awal.

RARE diketahui menjadi salah satu organisasi internasional yang getol menyuarakan revitalisasi ekosistem perairan berbasis masyarakat di wilayah-wilayah pelosok dengan potensi kelautan yang besar.

Warga kemudian diberikan bantuan mesin katinting. Mesin berkapasitas cukup besar, mampu membawa perahu mengitari perairan dengan cepat.

"Mesinnya perahu juga bersaing, jadi kami tak ketinggalan lagi," kata Sidik.

Pihak RARE menjanjikan, akan memberikan teropong khusus yang bisa menjangkau areal perairan di pesisir pasikolaga. Namun, hingga hari ini bantuan belum datang.

"Kalau sudah ada itu, kami hanya tinggal menyetel teropong dari rumah, lalu bergerak kalau ada perusuh (tukang bom ikan)," ujarnya samblil tertawa.

Bukan cuma Sidiq yang mendapatkan perhatian, namun RARE juga berusaha memfasilitasi kaum kaum perempuan berperan menjaga wilayah Pasikolaga. Salah seorang ibu rumah tangga, Hikmah (31), menyatakan, selama ini dia mendapatkan pengetahuan, mengelola laut dari pihak DKP dan RARE.

Hikmah menuturkan, bukan masalah mudah saat berusaha memberikan pemahaman kepada warga soal bahaya bom ikan dan bius. Apalagi, soal penambangan pasir ilegal yang menjadi penopang ekonomi sementara bagi warga sekitar.

"Namun, kami mulai pelan-pelan. Terutama pada anak-anak dan generasi muda, mereka mesti memahami dari hal-hal kecil," ujar Hikmah.

Hikmah juga ikut aktif memberikan pemahaman kepada nelayan. Terutama, kaum perempuan, tentang pengetahuan mengenai ikan yang bisa ditangkap dan tidak, juga soal wilayah perairan yang dilarang menangkap ikan.

"Warga kini mulai memahami, kalau dapat kakap merah, ukuran yang bisa ditangkap dan tak boleh ditangkap itu seperti apa," kata Hikmah.

Sebelumnya, warga asal-asalan menangkap ikan. Namun, kata Hikmah, mereka kini paham dan rela melepas kembali tangkapan ikan kakap dibawah panjang 42 sentimeter.

Sebab, dibawah ukuran itu, menandakan ikan belum bertelur. Sedangkan, diatas ukuran itu, ikan sudah bertelur 2 sampai 3 kali.

"Kami tahu hal-hal kecil namun bermanfaat ini, dari program PAAP yang diinisiasi RARE dan DKP Kabupaten Muna," ujar Hikmah.


RARE Masuk Desa

Nelaya Muna di Pasikolaga menjemur rumput laut.(Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)

Sekitar akhir 2019 lalu, warga juga mulai mendapatkan ilmu baru tentang mengelola perairan. Bukan itu saja, mereka juga memiliki senjata baru, setelah Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi masuk dan menyosialisasikan pengetahuan mengenai Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP).

RARE diketahui menjadi lembaga yang menginisiasi program ini. proses masuknya program tidak secara instan diterima dan diterapkan pada warga setempat.

Pihak DKP Kabupaten Muna, awalnya melakukan monitoring soal kondisi demografi, tingkat ekonomi penduduk, taraf pendidikan, kondisi laut, potensi perikanan dan karang bahkan hingga sarana infrastruktur pendukung desa.

Kadis DKP Muna La Kusa melalui Pendamping program PAAP Wilayah Pasikolaga, Ramadan menyatakan, mereka bahkan melakukan survei melalui tokoh-tokoh masyarakat hingga ke tingkat pemuka agama.

"Supaya, menyampaikan kesadaran menjaga laut kepada masyarakat bisa lebih terstruktur dan setiap orang dengan bidang yang dikuasai bisa memberikan pemahaman.

Dia memaparkan, setelah kelompok terbentuk, pihak DKP Kabupaten Muna didampingi pihak RARE bersama notaris, membuatkan sebuah badan hukum bagi warga. Tujuannya, ada kekuatan hukum tetap dan sah dalam mengelola kawasan perairan.

"Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP) merupakan pendekatan pengelolaan perikanan berkelanjutan yang mengintegrasikan pendekatan konservasi berbasis masyarakat, dari itu kami memperkuat mereka dengan dengan kemampuan manajemen spasial untuk memulihkan dan melindungi perikanan skala kecil di Indonesia," papar Ramadan.

Menurutnya, sebelum PAAP masuk, masyarakat sebenarnya sudah memahami dasar-dasar melestarikan ekosistem laut. Meskipun secara pengetahuan dan teknologi, mereka belum mendapatkan ilmunya.

"Sejak masuknya PAAP, lebih menguatkan mereka agar konsisten menjaga perairan demi kehidupan generasi selanjutnya," ujar Ramadan.

Menurutnya, hal ini cukup beralasan. Sebab, PAAP mengatur nelayan bagaimana memaksimalkan rencana pengelolaan, mulai dari pengawasan sumber daya perikanan, pengaturan pengawasan penangkapan ikan, jenis ikan yang boleh dan tak boleh ditangkap, perlindungan ikan langka, konflik dengan nelayan lain serta bagaimana mengatur nelayan lain masuk menangkap ikan dalam wilayah konservasi mereka.

"Intinya, kami buatkan jejaring sesama mereka, sehingga mereka cukup punya pengetahuan tentang perairan," katanya.

Dia melanjutkan, aspek utama tujuan PAAP adalah, aspek kelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat. Dua hal ini, DKP bersama RARE melalui PAAP selalu menekankan agar warga tidak melakukan hal beresiko bagi laut.

"Mereka kami ajak berpikir dan bersikap, kalau mereka mencoba lakukan ini dan itu di laut, apa ruginya dan untungnya kami berusaha buka pemahaman mereka dengan pengetahuan," pungkasnya.

La Ode Sidiq Ihzan, tokoh nelayan Desa Pasikolaga, mengatakan, sebenarnya ritual Kapopanga telah mengajarkan nilai-nilai yang dimaksud PAAP sejak dahulu. PAAP mengajarkan menghargai laut dan ekosistemnya dengan alasan logis dan sesuai dengan program perlindungan lingkungan perairan zaman modern. Sedangkan Kapopanga, mengajarkan nilai-nilai itu secara tradisional dengan membuka mata mata dan hati warga Pasikolaga agar lebih menghargai laut meski belum mengerti penjelasannya secara sains.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya