Liputan6.com, Jakarta - Polemik arti dari pengulangan suatu tindak pidana mencuat ke publik usai Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung (Kejagung) menuntut pidana mati terhadap terdakwa kasus korupsi PT Asabri, Heru Hidayat.
Jaksa menilai terdakwa melakukan pengulangan tindak pidana karena juga terlibat dalam kasus korupsi Jiwasraya.
Baca Juga
Advertisement
Guru Besar Ilmu Hukum Pidana, Andi Hamzah mengatakan, suatu perbuatan dinyatakan sebagai pengulangan tindak pidana jika seseorang melakukannya kembali setelah sebelumnya dinyatakan terbukti bersalah dalam putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Misalnya seperti seseorang yang pernah melakukan tindak pidana korupsi dan telah diputuskan bersalah oleh pengadilan, kemudian malah melakukan korupsi lagi.
"Itu pengulangan, sudah diputus, korupsi lagi. Itu namanya melakukan pengulangan. Sudah melakukan korupsi, sudah diputus, korupsi lagi," tutur Andi kepada wartawan, Sabtu (11/12/2021).
Sementara Pakar Hukum Pidana Korupsi, Nur Basuki Minarno menambahkan, tindak pidana korupsi Heru Hidayat dalam kasus Asabri tidak masuk dalam kategori pengulangan. Sebab, kasus Jiwasraya hampir bersamaan dengan penanganan kasus korupsi Asabri.
"Apakah bisa dikatakan perbuatan terdakwa Heru Hidayat pada kasus Asabri, itu merupakan pengulangan dari tindak pidana yang telah dilakukan Heru Hidayat pada kasus Jiwasraya. Jadi, kalau saya perhatikan, tempusnya hampir bersamaan. Artinya waktu kejadian perkara itu terjadi bersamaan. Hanya saja proses penuntutannya berbeda. Jadi ini bukan merupakan pengulangan tindak pidana," ujar Nur.
Nur menilai tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya dan Asabri masuk dalam kategori konkursus realis atau meerdaadse samenloop, yang artinya seseorang melakukan sejumlah tindak pidana sekaligus dalam waktu yang bersamaan dan masing-masing tindak pidana itu berdiri sendiri.
"Ini merupakan konkursus, dalam ilmu hukum namanya konkursus realis. Jadi melakukan beberapa perbuatan pidana, yang masing-masing perbuatan itu diancam dengan pidananya sendiri-sendiri. Jadi, tidak tepat kalau jaksa memberikan pemberatan kepada Heru Hidayat dengan alasan bahwa Heru Hidayat itu telah melakukan pengulangan tindak pidana," kata Nur menjelaskan.
Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati
Sebelumnya diberitakan, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung (Kejagung). Jaksa menuntut Heru dalam perkara korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Sosial Bersenjata Republik Indonesia (Asabri).
Jaksa meyakini Heru melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Menuntut majelis menyatakan Terdakwa (Heru Hidayat) terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang," ujar jaksa dalam tuntutannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (6/12/2021) malam.
"Menghukum Terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati," jaksa menambahkan.
Jaksa juga menuntut hakim memberikan hukuman pidana berupa uang pengganti sebesar Rp 12,6 triliun ke Heru dengan ketentuan harus dibayar dalam jangka waktu satu bulan setelah vonis berkekuatan hukum tetap atau inkracht.
Jika tidak dibayat dalam jangka waktu satu bulan, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk menutupi kekurangan uang pengganti. Jika harta bendanya tak mencukupi, maka tak ada pidana tambahan lantaran tuntutan mati.
Jaksa meyakini Heru Hidayat mendapat keuntungan tidak sah dari pengelolaan saham PT Asabri sebesar Rp 12,6 triliun. Keuntungan itu disamarkan oleh Heru Hidayat dengan pembelian aset. Atas dasar itu jaksa meyakini Heru terbukti melakukan TPPU.
Jaksa menilai hukuman mati pantas diterima Heru Hidayat lantaran juga terlibat dalam tindak pidana korupsi di PT Asuransi Jiwasraya. Dalam kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya, Heru dihukum penjara seumur hidup karena kerugian negaranya lebih dari Rp 16 triliun.
Advertisement