Polemik Hukuman Mati, Pakar Sebut Tuntutan dan Vonis Harus Sesuai Dakwaan

Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Trisaksi Andi Hamzah menyebut tuntutan dan putusan dalam suatu perkara sejatinya harus sesuai dengan dakwaan tim jaksa penuntut umum.

oleh Ika Defianti diperbarui 13 Des 2021, 03:19 WIB
Ilustrasi. Palu sidang (Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Trisaksi Andi Hamzah menyebut tuntutan dan putusan dalam suatu perkara sejatinya harus sesuai dengan dakwaan tim jaksa penuntut umum.

Pernyataan Andi Hamzah ini menyusul polemik tuntutan hukuman mati terhadap Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri).

"Yang dituntut berdasarkan surat dakwaan, apa yang didakwakan. Iya, harus. Hakim harus memutuskan berdasarkan surat dakwaan, putusan hakim didasarkan surat dakwaan kalau terbukti," ujar Andi dalam keterangannya, Minggu (12/12/2021).

Dia mengatakan, jaksa KPK dalam dakwaan terhadap Heru Hidayat menggunakan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

"Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor ini memuat ancaman pidana mati bagi terdakwa perkara kasus korupsi dalam kondisi tertentu, seperti bencana nasional, krisis moneter, atau pengulangan tindak pidana," papar Andi.

Sementara jaksa mendakwa Heru Hidayat dengan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang tak menyematkan tuntutan mati.

Atas dasar itu, menurut Andi Hamzah, jaksa atau hakim tidak bisa menuntut dan memvonis terdakwa di luar pasal yang didakwakan.

"Enggak bisa, itu namanya ultra petitum. Sama saja seperti perdata, dia menggugat ganti kerugian Rp 10 miliar, tidak bisa nanti dia maunya (nuntut) Rp 20 miliar. Itu namanya ultra petitum," kata dia.

 


Putusan Bisa Dianggap Keliru

Ilustrasi sidang. (dok. Unsplash.com/Bill Oxford/@bill_oxford)

Menurut Andi Hamzah, jika nantinya hakim memutus perkara di luar dakwaam, maka putusan akan dianggap keliru.

Andi mengatakan, sejatinya hakim bisa menilai tuntutan yang dilayangkan jaksa sesuai kaidah hukum atau tidak. Namun jika nantinya hakim sepakat dengan jaksa, maka bisa diajukan upaya hukum lanjutan.

"Tidak bisa diputuskan begitu oleh hakim, kalau hakim putuskan begitu, ya, banding. Itu putusan keliru, ultra petitum namanya, tidak boleh lebih dari surat dakwaan," kata dia.

Pendapat Andi Hamzah ini diperkuat oleh Pakar Hukum Tindak Pidana Korupsi yang sekaligus menjadi Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Nur Basuki Minarno.

Menurut Nur, tuntutan pidana mati terhadap Heru Hidayat dalam kasus Asabri tidak tepat karena Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tidak masuk di dalam surat dakwaan.

Nur mengatakan jaksa hanya mencantumkan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dalam surat dakwaannya. Dalam pasal tersebut, kata dia, tidak ada ancaman pidana hukuman mati terhadap terdakwa. Ancaman pidana hukuman mati justru terdapat pada Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang tidak disertakan dalam surat dakwaan.

"Apakah Pasal 2 ayat (2) itu harus dicantum di dalam surat dakwaan? Menurut pendapat saya, Pasal 2 ayat (2) harus dicatumkan dalam surat dakwaan, baru bisa jaksa itu menuntut pidana mati. Karena di dalam Pasal 2 ayat (2), nanti JPU itu harus membuktikan bahwa korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu," kata Nur.

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor disebutkan korupsi dalam keadaan tertentu bisa dituntut pidana mati.

Keadaan tertentu yang dimaksud di antaranya terjadi bencana alam, krisis ekonomi, atau melakukan pengulangan tindak pidana.

 


Jaksa Dianggap Keliru

Ilustrasi jaksa. (iStockphoto)

Pendapat yang sama juga disampaikan Pakar Pidana Universitas Trisakti Dian Adriawan yang menilai jaksa keliru dengan menuntut pidana hukuman mati kepada Heru Hidayat.

Pasalnya, surat dakwaan yang dibuat jaksa terhadap Heru Hidayat sama sekali tidak memuat Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Menurut Dian, seharusnya tuntutan jaksa harus merujuk pada surat dakwaan.

"Kalau tidak ada dalam surat dakwaan, berarti kekeliruan yang dilakukan jaksa ketika dia mencantumkan itu (pidana hukum mati) di dalam tuntutan pidana," ujar Dian.

Dian mengatakan poin-poin dalam surat dakwaan merupakan hal yang penting karena menjadi koridor bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan perkara. Selain itu, kata dia, surat dakwaan menjadi batasan bagi jaksa dalam pengajuan tuntutan pidana bagi seorang terdakwa.

"Kalau tidak ada dalam surat dakwaan, kemudian dalam tuntutan-tuntutan pidana ada Pasal 2 ayat (2), itu sesuatu kekeliruan JPU. Karena begini, apa yang ada dalam surat dakwaan, diantisipasi juga oleh terdakwa di dalam pembuktian. Nah, bagaiman dia (terdakwa) mengantisipasi Pasal 2 ayat (2) kalau tidak ada dalam surat dakwaan," kata Dian.

Diketahui, Jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung (Kejagung) menuntut terdakwa perkara dugaan korupsi Asabri, Heru Hidayat dengan pidana hukuman mati.

Jaksa meyakini Heru terbukti bersama-sama sejumlah pihak lainnya telah melakukan korupsi dalam pengelolaan dana PT Asabri (Persero) yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 22,78 triliun.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya