PANDI Akan Daftarkan Aksara Lampung dan Pegon ke BSN

PANDI berencana mendaftarkan aksara Lampung dan Pegon ke Badan Standardisasi Nasional (BSN).

oleh Iskandar diperbarui 13 Des 2021, 13:30 WIB
PANDI Siap Gelar Kompetisi Pembuatan Website dengan Aksara Jawa. Dok: PANDI

Liputan6.com, Jakarta - Sukses mendapatkan sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk aksara Sunda, Jawa, dan Bali, kini Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) berencana mendaftarkan aksara Lampung dan Pegon ke Badan Standardisasi Nasional (BSN).

Kedua Aksara tersebut dinilai PANDI paling potensial dalam penetapan SNI melalui amandemen.

Wakil Ketua Bidang Pengembangan Usaha, Kerjasama dan Pemasaran PANDI, Heru Nugroho, mengatakan nantinya BSN akan membuat amandemen yang akan disepakati bersama dalam pengajuan aksara Lampung dan Pegon.

"Nantinya akan digelar kegiatan sekelas Kongres bagi kedua aksara tersebut dalam rangka menyepakati pembakuan," ungkap Heru melalui keterangan resminya, Senin (13/12/2021).

Menurut Heru, ada sejumlah aksara nusantara yang masih diupayakan agar bisa ditransformasikan ke ranah digital, berdasarkan hasil kesepakatan dengan para pegiat aksara nusantara.

Antara lain Jawa, Sunda, Bali, Pegon, Lampung, Lontaraq, Serang, Batak, Rejang, Kawi, Incung, Lota, Bima, Arab Melayu, Jontal, Buda, dan Palawa.

"Tiga di antaranya yakni Jawa, Sunda, dan Bali sudah memperoleh SNI untuk kemudian bisa dibangkitkan kembali pemanfaatannya di masa mendatang," papar Heru.

Ia menambahkan meskipun beberapa aksara seperti Lontaraq dan Batak sudah tercantum dalam daftar konsorsium Unicode, tetapi masih perlu langkah kesepakatan pembakuan secara nasional, agar punya peluang untuk tahapan digitalisasi.

 

 


Digitalisasi untuk Cegah Kepunahan

Di sisi lain, Sekretaris Yayasan Budaya Nusantara Digital Dadan Sutisna, yang sejauh ini ikut mengamati perkembangan digitalisasi Aksara Nusantara menilai jika tidak segera beradaptasi dengan teknologi digital, beberapa aksara nusantara berada di ambang kepunahan.

Aksara tersebut pernah hadir di masa lalu, akan tetapi tidak lagi digunakan oleh masyarakat digital dan hanya menjadi artefak.

"Ada beberapa kekeliruan di masyarakat tentang digitalisasi aksara itu sendiri. Misalnya, dengan dapat digunakan untuk mengetik di perangkat lunak pemroses kata, aksara tersebut dinyatakan sudah memenuhi digitalisasi. Padahal esensi digitalisasi bukan itu, melainkan ada standarnya sehingga dapat diterapkan di semua platform, termasuk bahasa pemrograman,” tutur Dadan.

Menurut Dadan, hal pertama yang perlu dilakukan menuju digitalisasi aksara adalah mempersempit kontroversi di antara pemilik aksara tersebut.

Jika dalam satu aksara terdapat beberapa varian, maka harus dibakukan, salah satunya melalui hasil musyawarah di antara komunitas. Kesepakatan bentuk Aksara merupakan modal penting untuk mencapai tahap awal digitalisasi.

"Saat ini ada 17 Aksara Nusantara yang berpotensi untuk didigitalisasikan. Beberapa di antaranya sudah memenuhi standar Unicode, misalnya aksara Batak, Lontaraq dan Rejang. Namun masih memerlukan tahapan pembakuan pada papan ketik, transliterasi, selain tentunya bentuk fon aksara tersebut pada media digital," tambah Dadan.

 


Pendaftaran Unicode Harus Jadi Prioritas

Bagi yang belum masuk dalam daftar di Unicode, dituntut keseriusan dan kesepakatan dari berbagai pihak, terutama komunitas pegiat aksara, untuk segera didaftarkan. Aksara-aksara tersebut antara lain Pegon, Lampung, Serang, Kawi, Incung, Lota, Bima, Arab Melayu, Jontal, Buda, dan Palawa.

"Bagi Aksara yang berpotensi untuk didigitalitasikan, pendaftaran ke Unicode mesti menjadi prioritas. Unicode merupakan gerbang menuju digitalisasi, karena lama-kelamaan bukti-bukti keberadaan aksara tersebut dapat hilang," ucap Dadan menegaskan.

Masih menurut Dadan, hal lain yang cukup prinsip adalah persoalan adaptasi aksara. Secara umum, aksara nusantara awalnya hanya digunakan untuk menuliskan bahasa setempat.

Oleh karena itu, aksara nusantara memiliki variasi huruf yang berbeda-beda. Namun, saat ini dunia digital sudah lintas bahasa. Hal ini akan menjadi kendala jika aksara dengan keterbatasan jumlah karakter tidak beradaptasi dengan kebutuhan dunia digital.

"Oleh karena itu, berkaitan dengan pengembangan aksara nusantara, sebenarnya kita hanya punya dua pilihan, mau beradaptasi atau mati dengan sendirinya," pungkas Dadan.


Infografis Era Teknologi 5G di Indonesia

Infografis Era Teknologi 5G di Indonesia (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya