Pesantren Lebih Riskan Jadi Tempat Terjadinya Pemerkosaan? Ini Kata Kriminolog

Belasan santriwati di Pondok Pesantren jadi korban pemerkossan

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 13 Des 2021, 20:01 WIB
Ilustrasi Kekerasan Seksual Credit: pexels.com/pixabay

Liputan6.com, Jakarta Masyarakat dikejutkan dengan kasus pemerkosaan belasan santriwati di Bandung yang pelakunya tak lain adalah pengurus pondok pesantren.

Dari kasus tersebut, beberapa korban bahkan hamil dan melahirkan tanpa dinikahi oleh oknum guru ngaji itu.

"Yang sudah lahir itu ada delapan bayi. Kayaknya ada yang hamil berulang. Tapi saya belum bisa memastikan," ucap Kepala Seksi Penerangan dan Hukum (Kasipenkum) Kejati Jabar Dodi Gozali Emil mengutip News Liputan6.com, Senin (13/12/2021).

Belum usai masalah tersebut, kasus pemerkosaan di lingkungan pesantren kembali dilaporkan. Kasus ini terjadi pada dua santriwati di Tasikmalaya, Jawa Barat. Keduanya mengaku dicabuli oknum pengurus pondok pesantren.

Terkait kasus-kasus ini, Kriminolog Haniva Hasna, M. Krim mengaku miris dan kesal. Ia pun angkat bicara terkait kasus pemerkosaan di lingkungan pendidikan khususnya pesantren.

Menurutnya, jika dilihat dari tempat terjadinya, kejahatan bisa terjadi di mana saja. Saat ini tidak ada tempat yang aman untuk terhindar dari kejahatan, bahkan di rumah yang seharusnya aman tetap bisa terjadi kejahatan.

“Namun ada beberapa hal yang membuat pesantren menjadi tempat yang sangat rentan terhadap pencabulan,” kata Iva kepada Health Liputan6.com melalui pesan tertulis, Minggu (12/12/2021).

Simak Video Berikut Ini


Mengapa Pesantren Lebih Riskan?

Iva pun menjelaskan alasan mengapa lingkungan pesantren disebut lebih berisiko terjadinya pemerkosaan.

“Anak atau santri yang berada di pesantren kehilangan attachment dengan orangtua, dituntut mandiri dan menyerahkan hidup kepada pengurus atau guru. Perintah untuk tunduk dan patuh ini saja sudah membuat posisi anak menjadi powerless,” katanya.

Tindak pencabulan ini biasanya dilakukan menggunakan ancaman, pemaksaan perkawinan atau memasukkan Ilmu tertentu, ancaman mendapat azab bila tidak nurut atau ancaman-ancaman lain sehingga siswa atau santri berada dalam tekanan, lanjutnya.

Di sisi lain, terbatasnya komunikasi dengan orangtua membuat anak atau santri tidak bisa mengungkapkan perasaannya ketika dalam keadaan terancam. Selain itu, lemahnya sistem perlindungan dalam pesantren itu sendiri membuat kasus-kasus yang terjadi seolah terkubur kembali.


Faktor Pendukung Terjadinya Pemerkosaan

Faktor pendukung terjadinya pemerkosaan di pesantren jika dari sisi pelaku adalah relasi kuasa atas keberadaan korban dalam suatu hubungan.

Relasi kuasa ini yang pertama bersifat hierarkis, yaitu adanya kondisi powerfull dan powerless. Dalam hal ini murid merasa ada kewajiban tunduk dan patuh terhadap guru atau ustaz. Pelaku merasa memiliki kekuatan lebih tinggi untuk berperilaku sewenang-wenang, memberikan perintah bahkan mengancam.

 Seperti yang sudah disampaikan dalam penyidikan, pelaku mengancam dengan kata-kata “kamu harus taat pada guru,” dan diancam untuk dihukum bila tidak mengikuti kehendak pelaku dan lain-lain.

Faktor lainnya adalah sifat ketergantungan, sehingga menimbulkan kondisi yang berpotensi disalahgunakan. Seorang remaja akan merasa tergantung dengan orangtua saat di rumah, ketika berada di pesantren mereka menggantungkan hidup pada pemilik pesantren sehingga dalam kondisi ini akan menciptakan kepatuhan tersendiri.

Bila tidak mengikuti kemauan pelaku maka tidak bisa melanjutkan sekolah, tidak akan dibiayai pendidikan jenjang selanjutnya. Walaupun hanya dalam bentuk janji, tapi pelaku berhasil membuat korban sangat tergantung pada janjinya.

“Hal ini berkembang setelah terjadi persetubuhan, janji pemenuhan kebutuhan korban dan bayi cukup membingungkan korban, karena bila dia mengaku kepada orangtuanya pun belum tentu mendapatkan penerimaan.”

Dari sisi korban, faktor pendukung kasus seperti ini terjadi adalah ketidakberdayaan dalam melakukan penolakan bahkan pelaporan. Hal ini disebabkan oleh ancaman yang diberikan oleh pelaku.

Hubungan dengan orangtua yang berjarak serta kurangnya intensitas pertemuan, komunikasi serta ancaman pelaku membuat korban memilih diam.

Faktor lainnya adalah rusaknya Moral. Moral merupakan suatu instrumen penting yang di dalamnya mengajarkan tentang kebaikan-kebaikan dan merupakan suatu hal yang sangat sentral dalam menentukan tingkah laku. Apabila seseorang tidak memiliki moral yang baik maka orang tersebut memiliki kecenderungan untuk berbuat jahat, tutup Iva.

 


Infografis Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual

Infografis Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya