Kata Menag Yaqut hingga KPAI Atas Kekerasan Seksual yang Marak di Tengah Pandemi

Kasus kekerasan seksual belum lama ini jadi sorotan banyak publik, terutama dalam lembaga pendidikan agama. Salah satunya seperti yang terjadi di pondok pesantren di Bandung, Jabar.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Des 2021, 18:54 WIB
Ilustrasi pelecehan / kekerasan seksual. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Kasus kekerasan seksual yang belakangan ini sering terungkap di Tanah Air dan kian meresahkan publik. Jumlah kasus kekerasan seksual dilaporkan kian meningkat selama pandemi Covid-19. Hal ini diketahui berdasarkan laporan yang diterima Komnas Perempuan sejak 2020 lalu.

Catatan Komnas Perempuan, jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sepanjang 2020 sebanyak 299.911 kasus.

Terdiri dari kasus yang ditangani oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama sejumlah 291.677 kasus. Oleh Lembaga Layanan Mitra Komnas Perempuan sejumlah 8.234 kasus.

Kemudian oleh Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sebanyak 2.389 kasus. Dengan catatan 2.134 kasus merupakan kasus berbasis gender dan 255 kasus di antaranya adalah kasus tidak berbasis gender atau memberikan informasi.

Menyikapi banyaknya kasus kekerasan seksual di masa pandemi, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziah meminta agar masyarakat mewaspadai merebaknya fenomena kekerasan seksual dalam lingkungan kerja.

"Ini harus menjadi kewaspadaan kita fenomena akhir-akhir ini luar biasa kita. Yang ada trauma itu perempuan sebenarnya, meskipun sebenarnya korban kekerasan seksual itu tidak hanya perempuan tapi mayoritas itu perempuan," kata Ida Fauziyah dalam acara Konferensi Pers ILO dan AJI Indonesia: Pelatihan dan Kompetisi Media untuk Meningkatkan K3 dan Budaya Tempat Kerja yang Bebas Kekerasan di Jakarta, Selasa, 14 Desember 2021.  

Tak cuma di lingkungan pekerjaan, kasus kekerasan seksual belum lama ini jadi sorotan banyak publik, terutama dalam lembaga pendidikan agama. Seperti yang terjadi di pondok pesantren salah satunya.

Mengetahui hal ini, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas akan melakukan sederet langkah agar kekerasan seksual dalam lingkungan pendidikan agama dapat dicegah. Yaqut mengaku pihaknya terlebih dulu akan melakukan investigasi.

Berikut sederet pernyataan sejumlah tokoh atas kasus kekerasan yang banyak terjadi di tengah pandemi dihimpun Liputan6.com


1. Menag Yaqut Cholil Qoumas

Menag Yaqut Cholil Qoumas mengatakan pihaknya telah menyiapkan langkah strategis untuk mencegah dan mengantisipasi kasus kekerasan dan pelecehan seksual di lembaga pendidikan agama. 

Dia tak mau kasus serupa kembali terjadi di lembaga pendidikan agama.Menurut dia, langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan investigasi.

Yaqut mengaku telah memerintahkan jajarannya untuk melakukan investigasi di sekolah dan boarding yang diduga terjadi pelecehan dan kekerasan seksual.

"Kasus ini sangat tidak baik bagi anak bangsa dan juga tentu agama. Karena ini mengatasnamakan agama semua lembaga pendidikannya," jelas Yaqut dikutip dari siaran pers, Selasa, 14 Desember 2021.

Langkah kedua, Kemenag menjalin kerja sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), aparat kepolisian, dan pihak terkait lainnya dalam penanganan masalah ini, termasuk dalam proses investigasi. Yaqut khawatir kasus pelecehan seksual yang belakangan mencuat di lembaga pendidikan itu merupakan fenomena gunung es.

"Kita mau selesaikan ini. Mudah-mudahan tidak ada lagi kasus. Kita mohon dukungan, kita bisa tuntaskan permasalahan ini dengan cepat. Ini bukan hanya merugikan Islam, tapi juga anak-anak yang menjadi korban dan keluarga mereka, kasihan sekali," kata dia.

 


2. Menaker Ida Fauziah

Sementara itu, Menaker Ida Fauziah mengaku tak bisa menoleransi adanya kekerasan seksual dalam lingkungan kerja. Kekerasan dalam dunia kerja, menurut Ida bukan hanya fisik tetapi juga psikologis, termasuk perampasan hak dan martabat pekerja.

"Martabat itu mahal ya harganya dan ini berdampak bagi pekerja secara individu. Jangan salah ini dampaknya kepada perusahaan juga," kata dia.

Kekerasan ini dapat menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak aman. Bahkan bila terungkap akan mencoreng nama baik perusahaan. Buntutnya perusahaan akan kehilangan kepercayaan publik.

"Kekerasan dan pelecehan seksual tidak sejalan dengan prinsip program decent work (kerja layak) sebagaimana yang tertulis dalam Konvensi ILO C190 dan Rekomendasi ILO Nomor 206," ujar Ida.

 


3. Pemerintah Dorong RUU TPKS Segera Disahkan

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengapresiasi langkah Badan Legislasi (Baleg) DPR yang menyutujui Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

Pemerintah, kata dia, berharap RUU TPKS segera disahkan agar dapat menjadi payung hukum untuk memberantas kekerasan seksual. Terlebih, belakangan ini kasus kekerasan seksual semakin marak.

Hal ini menunjukkan urgensinya pembaruan instrumen hukum yang dapat memberikan kerangka pengaturan tindak pidana kekerasan seksual secara spesifik, perlindungan bagi korban, serta langkah pencegahan terhadap kekerasan seksual.

"Baleg DPR telah berhasil menangkap aspirasi yang berkembang di masyarakat serta menerjemahkan realita dan data seputar kekerasan seksual ke dalam komitmen yang kuat untuk mencegah dan memberantas kekerasan seksual dengan disetujuinya RUU TPKS," kata Moeldoko dikutip dari siaran pers, Sabtu, 11 Desember 2021. 

 


4. Polri Siap Deteksi Dini Berbagai Kasus Kekerasan Seksual

Polri menyatakan kesiapannya melakukan deteksi dini terhadap berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pesantren. Tentunya hal tersebut memerlukan kerja sama dengan instansi terkait, termasuk Kementerian Agama (Kemenag).

"Polri dapat secara dini melaksanakan kolaborasi dengan Kemenag untuk mencegah kejadian serupa dengan mengaktifkan koordinasi dengan level Polsek dan Polres untuk deteksi dini," tutur Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo saat dikonfirmasi Liputan6.com, Sabtu, 11 Desember 2021. 

Dedi menegaskan, Polri bekerja profesional dan memastikan penegakan hukum secara maksimal atas kasus pemerkosaan yang terjadi di lingkungan pesantren.

"Serta akan laksanakan proses hukum setiap ada kejadian kasus tersebut," kata Dedi.


5. KPAI

Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2018-2019 dilaporkan, anak sekolah dasar (SD) menjadi korban paling banyak dalam kasus kekerasan seksual.

Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan, anak jenjang sekolah dasar menjadi korban kekerasan seksual sebesar 64,7 persen, diikuti anak SMP 25,53 persen, dan SMA atau sederajat 11,77 persen.

"Untuk total kasus yang berdasarkan jenjang pendidikan, paling tinggi adalah SD yaitu 64,7%, kasus kekerasan seksual yang kedua adalah di SMP dan sederajat dengan kasus 23,53%, sedangkan di jenjang SMA atau sederajat itu kasusnya 11,77%," ujar dalam diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 13 Desember 2021. 

Lokasi kekerasan seksual di lingkungan sekolah biasanya terjadi di ruang kelas, ruang kepala sekolah, kebun sekolah, ruang laboratorium komputer, ruang ganti pakaian, ruang perpustakaan.

Ada juga kasus pelecehan seksual terjadi di tempat ibadah pada tahun 2018.

"Bahkan pada tahun 2018 ada kasus yang terjadi di di ruang mushola, ini adalah tempat-tempat dimana ketika kami datang, rata-rata tidak ada CCTV, mungkin ini penting juga untuk melihat ruang ruang atau tempat tempat yang bisa dipakai oleh pelaku," ujar Retno.

 

Taufik Akbar Harefa

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya